Penulis: Musa Weliansyah Anggota DPRD Kabupaten Lebak Fraksi PPP Intimidasi Terhadap TKSK Di Kabupaten Lebak, pada Oktober 2019 gegar...
Penulis: Musa Weliansyah
Anggota DPRD Kabupaten Lebak
Fraksi PPP
Intimidasi Terhadap TKSK
Di Kabupaten Lebak, pada Oktober 2019 gegara ada ketidaksepahaman dengan PT Aam Artha Prima (APA), agen BNPT di lima kecamatan yaitu Kecamatan Cihara,Panggarangan, Bayah, Cibeber dan Cilograng, dengan dukungan TKSK setempat, memutuskan berpindah ke perusahaan supplier lainnya. Walaupun, para TKSK tersebut mengetahui didalam manajemen PT APA ada sosok Ketua Fornas TKSK, yang sangat mereka kenal.
Akhirnya, pada bulan November 2019 semua agen BPNT di lima wilayah kecamatan tersebut betul-betul berpindah ke PT KenziOne. Akibatnya, pada saat itu, kelima TKSK tersebut harus berurusan dengan hukum.
Tak berhenti disitu, para TKSK yang menyetujui kepindahan agen BPNT (e-warong) ke KenziOne, akhirnya mendapatkan intimidasi hingga dihadapkan dengan salah satu ketua ormas, yang juga dihadiri Direktur dan Wakil Direktur PT AAM PRIMA ARTHA. Pasalnya, agen tersebut masih dalam ikatan perjanjian atau MoU, hingga bulan Desember tahun 2019. Kemudian, pada bulan Desember akhirnya semua agen di lima kecamatan tersebut, kembali lagi kepada PT AAM PRIMA ARTHA.
Bukti Monopoli tersebut, sangatlah nampak dan bukan menjadi rahasia umum lagi. Bahkan, diketahui oleh pejabat Dinas Sosial Kabupaten Lebak, begitu pula dengan pejabat dinas sosial kabupaten yang lainya.
Karena sudah tak sepaham dengan PT Aam Prima Artha, pada bulan Januari 2020 agen BPNT di lima kecamatan tersebut, tetap memutuskan untuk keluar dan pindah pada supplier lain, yaitu CV ASTAN. Perusahaan ini (CV ASTAN,red) merupakan salah satu supplier yang berdiri setelah adanya perogram BPNT dan beralamat di Kecamatan Cihara Kabupaten Lebak. Hingga bulan Mei 2020, ada sekitar 59 agen e-warong yang melakukan MoU dengan CV Astan. Kemudian, dua agen e-warong MoU dengan Perum Bulog, yaitu RPK Desa Pondok Panjang dan RPK Desa Barunai. Dua Agen yang mandiri yaitu e-Warong Desa Ciparahu dan Desa Cihara.
Selanjutnya, pada bulan Juni 2020, di Kecamatan Bayah ada dua agen yang ikut mandiri, yaitu agen BPNT Desa Bayah Barat dan Agen BPNT Desa Bayah Timur. Pada bulan Juni pula, bertambah kembali ada tujuh agen yang mandiri di Kecamatan Bayah.
Dari data yang dihimpun, total agen yang mandiri di lima wilayah kecamatan ini, per Juli 2020 menjadi sembilan Agen BPNT.
Dalam perkembangan terkini, adari beberapa agen e-warong yang memilih mandiri dan tiga perusahaan supplier yang beroperasi di Kabupaten Lebak, PT AAM PRIMA ARTHA masih mendominasi lebih dari 50 %, dari total 403 agen e-warong di kabupaten Lebak.
Serang dan Pandeglang
Lain di Lebak lain pula di Kabupaten Serang. Di wilayah Kabupaten Serang, penulis mendapatkan informasi, bahwa dari total 200 Agen BPNT yang tersebar di 29 Kecamatan, dikuasai oleh PT AAM PRIMA ARTHA dari tahun 2019 hingga sekarang.
Sementara di Kabupaten Pandeglang, dari total 337 agen BPNT yang tersebar di 35 Kecamatan, tahun 2019 dikuasai PT AAM PERIMA ARTHA sebanyak 240 agen yang tersebar di 25 Kecamatan atau diatas 70%. Sisanya, sebanyak 97 agen yang tersebar di 11 Kecamatan oleh PT KenziOne.
Di Pandeglang, pada tahun 2020 perusahaan yang menyuplai kebutuhan agen e-warong bertambah menjadi tiga perusahaan, Aam Artha Prima, KenziOne dan PD Berkah. PD Berkah merupakan perusahaan milik Pemkab Pandeglang (BUMD). Namun demikian, jumlah agen BPNT diatas 60% masih dikuasai PT Aam Prima Artha, karena agen terikat oleh MoU.
Sistem Paket Langgar Pedum
Buntut dari surat perjanjian kerjasama atau Memorandum of Understanding (MoU) antara pihak supplier, membuat agen e-warong harus menerima sistem paket yang ditentukan pihak supplier. Akibatnya, pesanan tak lagi sesuai dengan selera atau keinginan keluarga penerima manfaat (KPM). Mau tak mau, KPM harus menerima komodity yang sudah dikemas oleh agen BPNT, seperti 10 kg Beras, 15 butir Telur, 1/4 kacang Hijau, satu ekor ayam broiller hidup/beku, satu bungkus sayuran atau buah-buahan untuk paket BSP dengan harga Rp 200.000/KPM.
Apabila diuangkan, harga yang dijual agen BPNT yang MoU dengan semua supplier, baik PT Aam Prima Artha, PT KenziOne, CV Astan, Pandeglang Berkah Mandiri (PD Berkah), dan Perum BULOG, semua komidity diatas harga pasar.
Sebut saja, telur rata-rata diberi harga Rp 29.000 per 15 Butir. Beras Rp. 11.99 per kg. Kacang Hijau Rp. 26.000 per kg. Ayam broiller Hidup Rp. 32.000 per kg, Ayam Broiller beku Rp. 39.000 perkg. Begitu pula dengan Tempe, Tahu, Sayuran dan Buah-Buahan semuanya dihargai, diatas harga pasar.
Prinsip 6T, Tak terlaksana
Sesuai dengan ketentuan yang dikeluarkan Kemensos RI, Program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) atau Program sembako, semestinya mengedepankan Prinsip 6 T ((tepat waktu, tepat sasaran, tepat jumlah, tepat harga, tepat administrasi dan tepat kualitas).
Kenyataan dilapangan ternyata berlainan. Penyaluran komiditi kerap kali terjadi keterlambatan, diatas tangal 10 setiap bulannya. Bahkan, sering terjadi melewati pertengahan bulan hinga tgl 18-20 pada setiap bulan. Selain itu, komodity busuk tidak layak konsumsi, hingga penjualan telur infertil atau hatched egg (HE) terjadi pada agen BPNT yang MoU dengan supplier PT Aam Prima Artha, yang ditemukan di Kabupaten Lebak dan Pandeglang. Harga Beras Premium, namun kenyataanya KPM menerima beras medium atau beras IR lokal yang harga pasar cuma Rp 9.000-10.000 per kg.
Fenomena ini, sudah sangat jelas adanya upaya memanfaatkan program fakir miskin, untuk memperkaya diri sendiri, kelompok dan golongan, tanpa mengedepankan azas keadilan dan sangat merugikan masyarakat miskin penerima manpaat. Diduga, mengakibatkan kerugian negara diatas Rp 2 Miliar hingga Rp 3 miliar setiap bulannya di setiap kabupaten, dengan pola mark up harga sembako, seperti beras medium dijual harga premium. Persoalan tersebut terjadi dan dikakukan oleh hampir semua agen BPNT yang MoU dengan supplier.
Beda halnya dengan beberapa agen mandiri, yang menjual beras Rp 10.000 per kg, padahal sumber dan kualitas beras sama. Begitu pula pada harga sembako lainya, jauh terjadi perbedaan dan mereka kebih memperdayakan pengusaha lokal yang ada di desa masing-masing. Kendati ada juga e-warong mandiri cuma kedok saja. Padahal mereka masih bekerjasama dengan supplier, sehingga menjual komodity diatas harga pasar sesuai dengan e-warong lainnya.
Keterlibatan TKSK
Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) yang sekaligus sebagi Pendamping Sosial Banso Pangan Kecamatan (PSBK), harusnya menjadi lomomotif dalam melakukan pendampingan dan membingbing para agen BPNT di kecamatan masing-masing, bukan kebalikanya. Kebanyakan, mereka seakan masa bodo dengan komoditi apa, sumbernya dari mana, kualitasnya bagaimana dan berapa harganya?
Persoalan ini, diduga kuat akibat conflict of interest, terlebih adanya keterlibatan ketua Fornas TKSK yang menjadi wakil Direktur PT Aaam Prima Artha. Ironisnya, di Kabupaten Lebak ternedus adanya indikasi pemberian jatah bulanan yang diterima oleh para oknum TKSK, sebesar Rp 2.500.000,- dari PT APA. Dan ini, bisa saja terjadi di kabupaten Lainnya, seperti Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang dan Kota Tangerang.
Selaku wakil rakyat, tidak jarang saya memberikan saran, masukan dan teguran baik kepada TKSK maupun agen BPNT, atas temuan-temuan dilapangan dan pengaduan dari KPM. Namun selalu saja diabaikan.
Pengaduan juga kerap datang dari agen yang ingin mandiri, namun selalu diintimidasi dan ditakut-takuti, agar mereka tetap bekerjasama dengan supplier tersebut sesuai MoU.
Konflik Kepentingan berujung Monopoli
Program BPNT atau BSP, sangat erat kaitanya antara monopoli dan konflik kepentingan (Conflict of Interest). Alasannya adalah agen BPNT didominasi pelaksana program sosial seperti oknum Perangkat Desa (Prades), Kepala Desa, Istri Kepala Desa, Anak Kepala Desa, Istri Prades, Keluarga Kades dan Prades, Pendamping PKH, Pendamping Desa, oknum PNS dan Istri PNS.
Bukan hanya sebatas menjadi agen, tidak sedikit oknum Kepala Desa, Prades, TKSK yang direkrut menjadi penyedia atau supplier komoditi oleh PT APA.
Agen BPNT MoU dengan PT APA, seharusnya mereka terima komodity langsung sesuai PO dan kesepakatan. Namun kenyatannya, PT APA seringkali menyuruh orang (pihak) ketiga, untuk memenuhi pesanan sembako agen tersebut, namun agen diwajibkan menjual kebutuhan pokok tersebut sesuai dengan harga yang telah ditentukan oleh PT Aam Prima Artha, yang berlaku pada seluruh agen yang melakukan MoU dengan perusahaan tersebut.
Nantinya, agen memperoleh keuntungan Rp 9000 - Rp. 13.000 per kpm, tergantung kesepakatan. Itupun diluar keuntungan bisnis komoditi, seperti beras, telur, ayam, kacang hijau, buah-buahan dan sayuran, bagi agen BPNT yang ikut menyediakan atau menyuplai bahan pokok kepada agen-agen lainnya.
Baca Juga: Karut-Marut Program Sembako.............
Ada beberapa oknum kades yang juga sebagai agen BPNT menjadi penyuplai beras dan telur serta komodity lainya kepada PT APA, yang dibeli dari para pengusaha lokal di wilayahnya, seharga Rp 8.300 per kg kemudian dijual ke PT APA dengan harga rata-rata Rp 9.000 per kg, dengan mengunakan kemasan yang disiapkan oleh PT APA, yaitu Cahaya Berkah (CB).
Ironisnya, praktek ini tanpa dilakukan uji mutu, kandungan kadar air, derajat sosoh, dan prosedur lainnya. Beras tersebut dari pengolahan (pengilingan) langsung dikirim kepada masing-masing agen dan beras dihasilkan dari varietas padi campuran yang dibeli dari para petani langsung, serta para pengepul padi kering.
Dari selisih harga pembelian dan penjualan kepada KPM inilah, keuntungan dari beras sebesar Rp. 2.900 per kg, yang PT APA dan supplier lain terima. Itu belum termasuk keuntungan dari komoditi lain yang mengambil keuntungan diluar batas kewajaran. Seperti kacang hijau lokal yang dibeli dengan harga Rp 18.000 per kg, namun dijual oleh agen BPNT kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) seharga Rp 26.000 perkilonya.
Persoalan lebih serius, terjadi hampir pada semua agen BPNT. Agen tidak mengumumkan secara transparan daftar penerima BPNT. Ada lagi agen BPNT, Sehari-hari mereka tidak menjual kebutuhan pokok seperti beras, telur, sayuran dan lainya, namun mereka hanya buka pada saat penyaluran program BPNT, apabila paket komoditi sudah dikirim supplier setiap satu bulan sekali. KPM tidak menerima struk atau nota pembelanjaan, yang mencantumkan nilai harga satuan dan volume.
Selain itu, akibat sistem paket, kebanyakan agen tidak melakukan penimbangan terhadap komodity yang diberikan kepada KPM, sehingga kekurangan volume sering terjadi. Misalnya saja, harusnya beras 10 kg terkadang ada 9 kg, telur hanya 0,9 kg. Bahkan untuk ayam hidup masing-masing KPM menerima bobot yang berbeda-beda.
Simpulan
Penulis menyimpulkan, apabila persoalan ini terus dibiarkan, maka secara tidak langsung program BPNT atau BSP, mendidik para pelaksana program hingga tim kordinasi tingkat desa, untuk berprilaku koruptif. Bahkan ekstrimnya, menjadikan program sosial penanganan fakir miskin ini menjadi ajang bisnis, mencari keuntungan pribadi dan memperkaya diri sendiri, kelompok dan golongan serta akan terus menjadi conflict of interest, yang berpotensi terjadinya KKN hinga tingkat e-Warong.
Dan ini, merupakan bentuk pelangaran dan penghianatan terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin, serta mencederai nilai-nila Pancasila dan UUD 1945. Bahkan sangat bertentangan dengan ajaran agama manapun yang berada di NKRI.
Untuk itu penulis berharap, agar Ketua, Wakil Ketua dan seluruh Angota Tim Pengendali Program BPNT dan BSP, yaitu 1) Koordinator Bidang pembangunan manusia dan kebudayaan selaku Ketua, 2) Mentri Perencanan Pembangunan Nasional atau Kepala Bapenas selaku wakil Ketua dan 3) Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penangulangan Kemiskinan (TNP2K)
Serta Para Angota TIM PENGENDALI PROGRAM SEMBAKO, yaitu:
Untuk segera melakukan evaluasi dan mengkaji kembali perogram BSP ini. Penulis berpendapat, dengan program sembako kurang tepat dan hanya dijadikan ajang kepentingan bisnis oknum-oknum yang tidak bertangungjawab, serta hanya akan melahirksn perilaku-perilaku koruptif. Praktek menyimpang yang terjadi ini, jauh lebih buruk dari program raskin dan rastra.
Kedepan, penulis berharap agar program ini diganti dengan uang Tunai melalui Rekenig KPM seperti PKH. Sehingga KPM bisa belanja komodity sesuai kebutuhanya pada warung tetangga. Ini jauh lebih efektif serta meningkatkan pedapatan pengusaha kecil di tingkat desa, sebagai upaya penerintah dalam upaya mengurangi angka kemiskinan. Penulis berkeyakinan, bila diganti dengan uang tunai, akan lebih efektif dan berhasil. Program penanganan fakir miskin akan betul-betul bisa dirasakan Keluarga penerima manfaat (KPM)
Penulis berharap kepada aparatur penegak hukum (APH) yaitu unsur Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepala Kepolisian Republik Indonesia (KAPOLRI), Kepala Kejaksaan Agung (Kejagung) RI, agar segera melakukan koordinasi dan melakukan upaya penegakan hukum, sesuai dengan kewenangan dan tingkatanya. Usut tutas siapapun yang terlibat dalam program sosial penanganan fakir miskin ini, tanpa terkecuali termasuk bila ditemukan adanya keterlibatan oknum APH dari tingkat pusat hinga daerah. Ini harus segera dilakukan, semata-mata untuk keadilan hukum. Karena yang menjadi korban adalah jutaan rakyat miskin. (*)
Anggota DPRD Kabupaten Lebak
Fraksi PPP
Intimidasi Terhadap TKSK
Di Kabupaten Lebak, pada Oktober 2019 gegara ada ketidaksepahaman dengan PT Aam Artha Prima (APA), agen BNPT di lima kecamatan yaitu Kecamatan Cihara,Panggarangan, Bayah, Cibeber dan Cilograng, dengan dukungan TKSK setempat, memutuskan berpindah ke perusahaan supplier lainnya. Walaupun, para TKSK tersebut mengetahui didalam manajemen PT APA ada sosok Ketua Fornas TKSK, yang sangat mereka kenal.
Akhirnya, pada bulan November 2019 semua agen BPNT di lima wilayah kecamatan tersebut betul-betul berpindah ke PT KenziOne. Akibatnya, pada saat itu, kelima TKSK tersebut harus berurusan dengan hukum.
Tak berhenti disitu, para TKSK yang menyetujui kepindahan agen BPNT (e-warong) ke KenziOne, akhirnya mendapatkan intimidasi hingga dihadapkan dengan salah satu ketua ormas, yang juga dihadiri Direktur dan Wakil Direktur PT AAM PRIMA ARTHA. Pasalnya, agen tersebut masih dalam ikatan perjanjian atau MoU, hingga bulan Desember tahun 2019. Kemudian, pada bulan Desember akhirnya semua agen di lima kecamatan tersebut, kembali lagi kepada PT AAM PRIMA ARTHA.
Bukti Monopoli tersebut, sangatlah nampak dan bukan menjadi rahasia umum lagi. Bahkan, diketahui oleh pejabat Dinas Sosial Kabupaten Lebak, begitu pula dengan pejabat dinas sosial kabupaten yang lainya.
Karena sudah tak sepaham dengan PT Aam Prima Artha, pada bulan Januari 2020 agen BPNT di lima kecamatan tersebut, tetap memutuskan untuk keluar dan pindah pada supplier lain, yaitu CV ASTAN. Perusahaan ini (CV ASTAN,red) merupakan salah satu supplier yang berdiri setelah adanya perogram BPNT dan beralamat di Kecamatan Cihara Kabupaten Lebak. Hingga bulan Mei 2020, ada sekitar 59 agen e-warong yang melakukan MoU dengan CV Astan. Kemudian, dua agen e-warong MoU dengan Perum Bulog, yaitu RPK Desa Pondok Panjang dan RPK Desa Barunai. Dua Agen yang mandiri yaitu e-Warong Desa Ciparahu dan Desa Cihara.
Selanjutnya, pada bulan Juni 2020, di Kecamatan Bayah ada dua agen yang ikut mandiri, yaitu agen BPNT Desa Bayah Barat dan Agen BPNT Desa Bayah Timur. Pada bulan Juni pula, bertambah kembali ada tujuh agen yang mandiri di Kecamatan Bayah.
Dari data yang dihimpun, total agen yang mandiri di lima wilayah kecamatan ini, per Juli 2020 menjadi sembilan Agen BPNT.
Dalam perkembangan terkini, adari beberapa agen e-warong yang memilih mandiri dan tiga perusahaan supplier yang beroperasi di Kabupaten Lebak, PT AAM PRIMA ARTHA masih mendominasi lebih dari 50 %, dari total 403 agen e-warong di kabupaten Lebak.
Serang dan Pandeglang
Lain di Lebak lain pula di Kabupaten Serang. Di wilayah Kabupaten Serang, penulis mendapatkan informasi, bahwa dari total 200 Agen BPNT yang tersebar di 29 Kecamatan, dikuasai oleh PT AAM PRIMA ARTHA dari tahun 2019 hingga sekarang.
Sementara di Kabupaten Pandeglang, dari total 337 agen BPNT yang tersebar di 35 Kecamatan, tahun 2019 dikuasai PT AAM PERIMA ARTHA sebanyak 240 agen yang tersebar di 25 Kecamatan atau diatas 70%. Sisanya, sebanyak 97 agen yang tersebar di 11 Kecamatan oleh PT KenziOne.
Di Pandeglang, pada tahun 2020 perusahaan yang menyuplai kebutuhan agen e-warong bertambah menjadi tiga perusahaan, Aam Artha Prima, KenziOne dan PD Berkah. PD Berkah merupakan perusahaan milik Pemkab Pandeglang (BUMD). Namun demikian, jumlah agen BPNT diatas 60% masih dikuasai PT Aam Prima Artha, karena agen terikat oleh MoU.
Sistem Paket Langgar Pedum
Buntut dari surat perjanjian kerjasama atau Memorandum of Understanding (MoU) antara pihak supplier, membuat agen e-warong harus menerima sistem paket yang ditentukan pihak supplier. Akibatnya, pesanan tak lagi sesuai dengan selera atau keinginan keluarga penerima manfaat (KPM). Mau tak mau, KPM harus menerima komodity yang sudah dikemas oleh agen BPNT, seperti 10 kg Beras, 15 butir Telur, 1/4 kacang Hijau, satu ekor ayam broiller hidup/beku, satu bungkus sayuran atau buah-buahan untuk paket BSP dengan harga Rp 200.000/KPM.
Apabila diuangkan, harga yang dijual agen BPNT yang MoU dengan semua supplier, baik PT Aam Prima Artha, PT KenziOne, CV Astan, Pandeglang Berkah Mandiri (PD Berkah), dan Perum BULOG, semua komidity diatas harga pasar.
Sebut saja, telur rata-rata diberi harga Rp 29.000 per 15 Butir. Beras Rp. 11.99 per kg. Kacang Hijau Rp. 26.000 per kg. Ayam broiller Hidup Rp. 32.000 per kg, Ayam Broiller beku Rp. 39.000 perkg. Begitu pula dengan Tempe, Tahu, Sayuran dan Buah-Buahan semuanya dihargai, diatas harga pasar.
Prinsip 6T, Tak terlaksana
Sesuai dengan ketentuan yang dikeluarkan Kemensos RI, Program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) atau Program sembako, semestinya mengedepankan Prinsip 6 T ((tepat waktu, tepat sasaran, tepat jumlah, tepat harga, tepat administrasi dan tepat kualitas).
Kenyataan dilapangan ternyata berlainan. Penyaluran komiditi kerap kali terjadi keterlambatan, diatas tangal 10 setiap bulannya. Bahkan, sering terjadi melewati pertengahan bulan hinga tgl 18-20 pada setiap bulan. Selain itu, komodity busuk tidak layak konsumsi, hingga penjualan telur infertil atau hatched egg (HE) terjadi pada agen BPNT yang MoU dengan supplier PT Aam Prima Artha, yang ditemukan di Kabupaten Lebak dan Pandeglang. Harga Beras Premium, namun kenyataanya KPM menerima beras medium atau beras IR lokal yang harga pasar cuma Rp 9.000-10.000 per kg.
Fenomena ini, sudah sangat jelas adanya upaya memanfaatkan program fakir miskin, untuk memperkaya diri sendiri, kelompok dan golongan, tanpa mengedepankan azas keadilan dan sangat merugikan masyarakat miskin penerima manpaat. Diduga, mengakibatkan kerugian negara diatas Rp 2 Miliar hingga Rp 3 miliar setiap bulannya di setiap kabupaten, dengan pola mark up harga sembako, seperti beras medium dijual harga premium. Persoalan tersebut terjadi dan dikakukan oleh hampir semua agen BPNT yang MoU dengan supplier.
Beda halnya dengan beberapa agen mandiri, yang menjual beras Rp 10.000 per kg, padahal sumber dan kualitas beras sama. Begitu pula pada harga sembako lainya, jauh terjadi perbedaan dan mereka kebih memperdayakan pengusaha lokal yang ada di desa masing-masing. Kendati ada juga e-warong mandiri cuma kedok saja. Padahal mereka masih bekerjasama dengan supplier, sehingga menjual komodity diatas harga pasar sesuai dengan e-warong lainnya.
Keterlibatan TKSK
Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) yang sekaligus sebagi Pendamping Sosial Banso Pangan Kecamatan (PSBK), harusnya menjadi lomomotif dalam melakukan pendampingan dan membingbing para agen BPNT di kecamatan masing-masing, bukan kebalikanya. Kebanyakan, mereka seakan masa bodo dengan komoditi apa, sumbernya dari mana, kualitasnya bagaimana dan berapa harganya?
Persoalan ini, diduga kuat akibat conflict of interest, terlebih adanya keterlibatan ketua Fornas TKSK yang menjadi wakil Direktur PT Aaam Prima Artha. Ironisnya, di Kabupaten Lebak ternedus adanya indikasi pemberian jatah bulanan yang diterima oleh para oknum TKSK, sebesar Rp 2.500.000,- dari PT APA. Dan ini, bisa saja terjadi di kabupaten Lainnya, seperti Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang dan Kota Tangerang.
Selaku wakil rakyat, tidak jarang saya memberikan saran, masukan dan teguran baik kepada TKSK maupun agen BPNT, atas temuan-temuan dilapangan dan pengaduan dari KPM. Namun selalu saja diabaikan.
Pengaduan juga kerap datang dari agen yang ingin mandiri, namun selalu diintimidasi dan ditakut-takuti, agar mereka tetap bekerjasama dengan supplier tersebut sesuai MoU.
Konflik Kepentingan berujung Monopoli
Program BPNT atau BSP, sangat erat kaitanya antara monopoli dan konflik kepentingan (Conflict of Interest). Alasannya adalah agen BPNT didominasi pelaksana program sosial seperti oknum Perangkat Desa (Prades), Kepala Desa, Istri Kepala Desa, Anak Kepala Desa, Istri Prades, Keluarga Kades dan Prades, Pendamping PKH, Pendamping Desa, oknum PNS dan Istri PNS.
Bukan hanya sebatas menjadi agen, tidak sedikit oknum Kepala Desa, Prades, TKSK yang direkrut menjadi penyedia atau supplier komoditi oleh PT APA.
Agen BPNT MoU dengan PT APA, seharusnya mereka terima komodity langsung sesuai PO dan kesepakatan. Namun kenyatannya, PT APA seringkali menyuruh orang (pihak) ketiga, untuk memenuhi pesanan sembako agen tersebut, namun agen diwajibkan menjual kebutuhan pokok tersebut sesuai dengan harga yang telah ditentukan oleh PT Aam Prima Artha, yang berlaku pada seluruh agen yang melakukan MoU dengan perusahaan tersebut.
Nantinya, agen memperoleh keuntungan Rp 9000 - Rp. 13.000 per kpm, tergantung kesepakatan. Itupun diluar keuntungan bisnis komoditi, seperti beras, telur, ayam, kacang hijau, buah-buahan dan sayuran, bagi agen BPNT yang ikut menyediakan atau menyuplai bahan pokok kepada agen-agen lainnya.
Baca Juga: Karut-Marut Program Sembako.............
Ada beberapa oknum kades yang juga sebagai agen BPNT menjadi penyuplai beras dan telur serta komodity lainya kepada PT APA, yang dibeli dari para pengusaha lokal di wilayahnya, seharga Rp 8.300 per kg kemudian dijual ke PT APA dengan harga rata-rata Rp 9.000 per kg, dengan mengunakan kemasan yang disiapkan oleh PT APA, yaitu Cahaya Berkah (CB).
Ironisnya, praktek ini tanpa dilakukan uji mutu, kandungan kadar air, derajat sosoh, dan prosedur lainnya. Beras tersebut dari pengolahan (pengilingan) langsung dikirim kepada masing-masing agen dan beras dihasilkan dari varietas padi campuran yang dibeli dari para petani langsung, serta para pengepul padi kering.
Dari selisih harga pembelian dan penjualan kepada KPM inilah, keuntungan dari beras sebesar Rp. 2.900 per kg, yang PT APA dan supplier lain terima. Itu belum termasuk keuntungan dari komoditi lain yang mengambil keuntungan diluar batas kewajaran. Seperti kacang hijau lokal yang dibeli dengan harga Rp 18.000 per kg, namun dijual oleh agen BPNT kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) seharga Rp 26.000 perkilonya.
Persoalan lebih serius, terjadi hampir pada semua agen BPNT. Agen tidak mengumumkan secara transparan daftar penerima BPNT. Ada lagi agen BPNT, Sehari-hari mereka tidak menjual kebutuhan pokok seperti beras, telur, sayuran dan lainya, namun mereka hanya buka pada saat penyaluran program BPNT, apabila paket komoditi sudah dikirim supplier setiap satu bulan sekali. KPM tidak menerima struk atau nota pembelanjaan, yang mencantumkan nilai harga satuan dan volume.
Selain itu, akibat sistem paket, kebanyakan agen tidak melakukan penimbangan terhadap komodity yang diberikan kepada KPM, sehingga kekurangan volume sering terjadi. Misalnya saja, harusnya beras 10 kg terkadang ada 9 kg, telur hanya 0,9 kg. Bahkan untuk ayam hidup masing-masing KPM menerima bobot yang berbeda-beda.
Simpulan
Penulis menyimpulkan, apabila persoalan ini terus dibiarkan, maka secara tidak langsung program BPNT atau BSP, mendidik para pelaksana program hingga tim kordinasi tingkat desa, untuk berprilaku koruptif. Bahkan ekstrimnya, menjadikan program sosial penanganan fakir miskin ini menjadi ajang bisnis, mencari keuntungan pribadi dan memperkaya diri sendiri, kelompok dan golongan serta akan terus menjadi conflict of interest, yang berpotensi terjadinya KKN hinga tingkat e-Warong.
Dan ini, merupakan bentuk pelangaran dan penghianatan terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin, serta mencederai nilai-nila Pancasila dan UUD 1945. Bahkan sangat bertentangan dengan ajaran agama manapun yang berada di NKRI.
Untuk itu penulis berharap, agar Ketua, Wakil Ketua dan seluruh Angota Tim Pengendali Program BPNT dan BSP, yaitu 1) Koordinator Bidang pembangunan manusia dan kebudayaan selaku Ketua, 2) Mentri Perencanan Pembangunan Nasional atau Kepala Bapenas selaku wakil Ketua dan 3) Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penangulangan Kemiskinan (TNP2K)
Serta Para Angota TIM PENGENDALI PROGRAM SEMBAKO, yaitu:
- Mendagri
- Mensos RI
- Mendikbud RI
- Mentri Agama RI
- Mentri ESDM
- Menkeu RI
- Mentri Perdagangan
- Mentri Pertanian
- Menkumham RI
- Menkominfo RI
- Mentri BUMN
- Mentri Riset Teknologi dan Pendidikan Tingi
- Mensesneg RI
- Sekertari Kabinet
- Kepala BPS
- Kepala Staf Kepresidenan
- Gubernur BI
- Ketua Dewan Komisioner OJK
Untuk segera melakukan evaluasi dan mengkaji kembali perogram BSP ini. Penulis berpendapat, dengan program sembako kurang tepat dan hanya dijadikan ajang kepentingan bisnis oknum-oknum yang tidak bertangungjawab, serta hanya akan melahirksn perilaku-perilaku koruptif. Praktek menyimpang yang terjadi ini, jauh lebih buruk dari program raskin dan rastra.
Kedepan, penulis berharap agar program ini diganti dengan uang Tunai melalui Rekenig KPM seperti PKH. Sehingga KPM bisa belanja komodity sesuai kebutuhanya pada warung tetangga. Ini jauh lebih efektif serta meningkatkan pedapatan pengusaha kecil di tingkat desa, sebagai upaya penerintah dalam upaya mengurangi angka kemiskinan. Penulis berkeyakinan, bila diganti dengan uang tunai, akan lebih efektif dan berhasil. Program penanganan fakir miskin akan betul-betul bisa dirasakan Keluarga penerima manfaat (KPM)
Penulis berharap kepada aparatur penegak hukum (APH) yaitu unsur Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepala Kepolisian Republik Indonesia (KAPOLRI), Kepala Kejaksaan Agung (Kejagung) RI, agar segera melakukan koordinasi dan melakukan upaya penegakan hukum, sesuai dengan kewenangan dan tingkatanya. Usut tutas siapapun yang terlibat dalam program sosial penanganan fakir miskin ini, tanpa terkecuali termasuk bila ditemukan adanya keterlibatan oknum APH dari tingkat pusat hinga daerah. Ini harus segera dilakukan, semata-mata untuk keadilan hukum. Karena yang menjadi korban adalah jutaan rakyat miskin. (*)
COMMENTS