Karut-Marut Program Sembako, Konflik Kepentingan Berujung Monopoli (bag-1)
0 menit baca

Penulis: Musa Weliansyah
Anggota DPRD Kabupaten Lebak
Fraksi PPP
Program beras untuk
rakyat miskin (Raskin) yang diubah menjadi program beras rakyat sejahtera
(rastra), pada 2019 dirubah lagi menjadi program bantuan pangan non tunai
(BPNT) dan pada 2000 disempurnakan menjadi Program bantuan sosial pangan (BSP)
atau dikenal dengan program Sembako.
Untuk menekan angka
stunting di Indonesia, nilai bantuan, yang semula Rp 110 ribu per KPM (keluarga
penerima manfaat) ditambah menjadi Rp 150 ribu per KPM. Belum genap empat bulan
program sembako berjalan, wabah covid-19 melanda negeri ini. Bantuan Sembako
pun nilainya bertabah Rp 50 ribu, hingga total yang diterima perKPM menjadi Rp
200 ribu. KPM pun bisa menikmati komoditi, minimal 4 jenis yang disediakan di
agen e-warong, yang ada ditiap desa dengan pecairan tanggal 5-10, setiap
bulannya, dengan membawa Kartu Indonesia Sejahtera (KIS).
Di Banten, khususnya
di Kabupaten Lebak dan Pandeglang, pelaksanaan penyaluran program sembako
selalu menimbulkan masalah, karena sarat dengan kepentingan. Mereka yang
seharusnya bertugas mengawasi agar pelaksanaan program sembako berlangsung
sesuai pedoman umum, malah ikut nyemplung didalamnya –entah sebagai supplier
ataupun pengendali agen e-warong.
Karut-marut memang, namun sedikit saja yang mau membenahinya. Kebanyakan, bukannya mengawasi dan membenahi tetapi malah ikut terjun langsung dalam praktek bisnis, dengan meraup kelebihan dari haknya keluarga miskin atau KPM (keluarga penerima manfaat).
Dalam penelusuran
penulis --sebagai pribadi maupun sebagai anggota DPRD Lebak, akhirnya terkuak
juga. Kenapa karut marut program sembako ini terus berlangsung. Salah satu
perusahaan ternyata mendominasi, kegiatan suplay bahan (komodity) untuk dijual
di agen e-warong.
Tanpa dinyana,
dominannya salah satu satu perusahaan tersebut, ternyata melibatkan salah
seorang pengurus (Ketua) Forum Nasional TKSK (tenaga kesejahteraan Sosial
Kecamatan), yang mengaku kepada kalangan wartawan, sudah mengundurkan diri pada
2017 lalu.
Ironis memang. Disaat
TKSK harus mengawal program dengan benar, ini malah ikut dalam perkeliruan.
Terlibatnya, Ketua FORNAS TKSK pada salah satu Perusahaan yang bergerak
dibidang pengadaan komoditi, pada program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) di
Provinsi Banten pada tahun 2019, yang kini menjadi Bantuan Sosial Pangan (BSP)
2020, turut menyumbang parahnya sengkarut sembako di Banten.
Betapa tidak, seorang
Ketua Fornas TKSK yang juga TKSK disebuah Kecamatan di Kota Tangerang dan
menjadi Ketua TKSK Provinsi Banten, menjabat sebagai Wakil Direktur pada PT AAM
Prima Artha (APA). Pada posisi inilah, timbul konflik kepentingan dan
berpotensi timbulnya praktek Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) hingga tingkat
agen e-warong.
Tak sampai disitu.
Kepiawaian seorang Ketua Fornas TKSK itu pula, yang dominan melahirkan praktek
monopoli yang dilakukan oleh PT APA di Kabupaten Lebak pada tahun 2019-2020. Perusahaan
yang dikendalikan Ketua Forum Nasional TKSK tersebut, dibantu oknum Kordinator
Teknis TKSK (Kortek), ini sangat mudah melancarkan kegiatan bisnis komoditi
sembako, dengan melibatkan para TKSK ditingkat kecamatan. Tentu saja, mengumpulkan
403 agen BPNT (e-warong) di Kabupaten Lebak, tak memerlukan waktu lama. Mereka (agen
BPNT/e-warong) didorong melakukan MoU dalam jangka waktu hinga akhir desember
2019 dan diperpanjang kembali pada tahun 2020.
Indikasi praktek
monopoli bukan hanya di Lebak. Didapat informasi, di Kabupaten Serang pun tak
jauh beda. Pun demikian dengan Kabupaten Pandeglang, adanya MoU hingga terjadi
‘pemaketan’ yang terjadi hampir di seluruh agen.
Lahirnya Agen BPNT
calo dan supplier-supplier calo dari berbagai kalangan (Oknum Kades, Tksk,
Ormas, Lsm Hinga Oknum Wartawan), bahkan tidak tertutup kemungkinan adanya
keterlibatan para oknum pejabat di dinas sosial kabupaten atau kota.
Kegiatan bisnis
sembako program BPNT ini dikuasai PT APA, bukan hanya terjadi pada beberapa
kabupaten atau kota di Provinsi Banten, tapi terjadi juga di beberapa kabupaten
atau kota di Jawa Barat seperti di Bogor.
Kelancaran bisnis
sembako yang didalamnya ada petinggi TKSK ini kerap kali mendapat dukungan yang
sangat serius dari oknum pejabat ditingkat kabupaten atau kota. Seperti yang
terjadi di Kabupaten Lebak PT APA memakai Gudang Rice Miling Plan Milik Pemda
Lebak dibawah pertangungjawaban Dinas Perindustrian dan Perdagangan, dengan
dalih sewa. Disayangkan, aturan main sewa terebut, amun tanpa dasar dan aturan
yang jelas, bahkan harga sewapun sangat murah. (bersambung)