Selama masa kecemasan yang meluas karena pandemi COVID-19 ini, pemerintah Korea Selatan melakukan penindasan agama, hak asasi manusia, dan...
Selama masa kecemasan yang
meluas karena pandemi COVID-19 ini, pemerintah Korea Selatan melakukan
penindasan agama, hak asasi manusia, dan perdamaian terhadap kelompok keagamaan
' Gereja Yesus Shincheonji ' (selanjutnya disebut Shincheonji). Ini mendorong
seluruh dunia memperdengarkan suara peringatan atas hal ini.
Ketika warga Korea Selatan menjadi tidak puas dengan kegagalan pemerintah untuk bertanggung jawab menanggapi pencegahan awal COVID-19, pemerintah mulai menujukan kesalahan pada Shincheonji di wilayah Daegu, di mana wabah besar terjadi, sebagai sumber penyebaran. Pemerintah Korea Selatan, politisi, dan Dewan Kristen Korea Selatan bekerja sama untuk memfitnah dan mengorbankan Shincheonji melalui media.
Sejak Februari, yaitu puncak dari COVID-19, sampai pada Pemilihan Majelis Nasional pada bulan April, pemerintah Korea Selatan melarang semua pertemuan sosial dan menganjurkan orang tinggal di dalam rumah. Selama periode ini, berita palsu dan bias secara luas tersebar setiap hari melalui media yang menyatakan bahwa penyebaran virus COVID-19 itu karena Shincheonji. Akibatnya, 200.000 anggota Shincheonji di Korea Selatan menderita, di mana 7.500 yang ditemukan telah menjadi korban penindasan serius terhadap hak asasi manusia.
Telah dilaporkan bahwa anggota Shincheonji telah mengalami serangan, kekerasan, perceraian, pemaksaan pindah keyakinan, penganiayaan di kantor akibat kebocoran informasi pribadi, pengunduran diri paksa, penolakan perawatan medis, dan penolakan fasilitas yang digunakan hanya karena mereka adalah anggota Shincheonji. Penganiayaan ini bahkan menyebabkan kematian 2 orang perempuan. Tindakan buruk kepada para perempuan di Shincheonji, pelanggaran hak asasi manusia yang ditutupi, menjadi semakin parah terjadi.
Penulis: Mila
Ketika warga Korea Selatan menjadi tidak puas dengan kegagalan pemerintah untuk bertanggung jawab menanggapi pencegahan awal COVID-19, pemerintah mulai menujukan kesalahan pada Shincheonji di wilayah Daegu, di mana wabah besar terjadi, sebagai sumber penyebaran. Pemerintah Korea Selatan, politisi, dan Dewan Kristen Korea Selatan bekerja sama untuk memfitnah dan mengorbankan Shincheonji melalui media.
Sejak Februari, yaitu puncak dari COVID-19, sampai pada Pemilihan Majelis Nasional pada bulan April, pemerintah Korea Selatan melarang semua pertemuan sosial dan menganjurkan orang tinggal di dalam rumah. Selama periode ini, berita palsu dan bias secara luas tersebar setiap hari melalui media yang menyatakan bahwa penyebaran virus COVID-19 itu karena Shincheonji. Akibatnya, 200.000 anggota Shincheonji di Korea Selatan menderita, di mana 7.500 yang ditemukan telah menjadi korban penindasan serius terhadap hak asasi manusia.
Telah dilaporkan bahwa anggota Shincheonji telah mengalami serangan, kekerasan, perceraian, pemaksaan pindah keyakinan, penganiayaan di kantor akibat kebocoran informasi pribadi, pengunduran diri paksa, penolakan perawatan medis, dan penolakan fasilitas yang digunakan hanya karena mereka adalah anggota Shincheonji. Penganiayaan ini bahkan menyebabkan kematian 2 orang perempuan. Tindakan buruk kepada para perempuan di Shincheonji, pelanggaran hak asasi manusia yang ditutupi, menjadi semakin parah terjadi.
Komisi Amerika Serikat pada
Kebebasan Beragama Internasional (United States Commission on International
Religious Freedom/ USCIRF) baru-baru ini menyatakan bahwa komisi tersebut
"prihatin dengan laporan bahwa anggota Gereja Shincheonji disalahkan atas
penyebaran virus" dan mendesak "pemerintah Korea Selatan berhenti
melakukan tindakan berupa pengambinghitaman dan pengutukan terhadap kelompok
tertentu dan sebaliknya untuk menghormati kebebasan beragama dalam situasi
COVID-19 ini."
Selain itu, para ahli
COVID-19 menyarankan agar masyarakat waspada pada kebencian dan kecurigaan
terhadap agama tertentu, namun, pemerintah Korea Selatan mengatakan bahwa
meluasnya COVID-19 adalah karena Shincheonji. Semua fasilitas Shincheonji
secara paksa ditutup di bawah tuduhan pelanggaran terhadap pencegahan penyakit
menular. Lima pejabat Shincheoji ditangkap di bawah kepura-puraan obstruksi
keadilan. Juga, memanfaatkan situasi dari fakta bahwa Ketua Shincheonji adalah
sama dengan Ketua "Budaya Surgawi, Perdamaian Dunia, dan Pemulihan
Terang" (Heavenly Culture, World Peace, Restoration of Light/
HWPL), sebuah kelompok perdamaian internasional, pemerintah telah berulang kali
menindas perdamaian dunia dengan membatalkan pendaftaran HWPL.
Meskipun terjadi penindasan
ini, sekitar 4.000 orang di antara anggota Shinchonji yang merupakan pasien
COVID-19 terkonfirmasi dan sudah sembuh telah sepakat untuk menyumbangkan
plasma darah mereka secara cuma-cuma untuk pengembangan vaksin. Sejak 13 Juli
sampai 17 Juli, sebanyak 500 anggota telah menyumbangkan plasma darah
mereka.
Pasal 20, paragraf 1 dan 2
dari Konstitusi Republik Korea menyatakan bahwa semua warga negara memiliki kebebasan
beragama. Hal ini juga menyatakan bahwa agama terpisah dari politik. Selain
itu, "jaminan dasar hak
asasi manusia" (Pasal 10
dari Konstitusi) dan 'larangan diskriminasi di semua bidang yaitu jenis
kelamin, agama, politik, ekonomi, sosial dan kehidupan budaya' (Pasal 11
Konstitusi) juga ditentukan dalam konstitusi tersebut.
Namun, berita mengenai
penindasan agama, hak asasi manusia, dan perdamaian yang terjadi atas
Shincheonji meskipun sudah tertulis dalam Konstitusi, menyebabkan tokoh-tokoh
agama, tokoh-tokoh kemanusiaan, tokoh- tokoh politik dan sosial serta LSM di
seluruh dunia menyatakan bahwa, "penindasan perdamaian, agama, dan hak
asasi manusia terhadap mereka harus segera dihentikan." Dan, "kita
harus menghentikan kebijakan yang salah dan berhenti menginjak-injak hak asasi
manusia dari rakyat mereka sendiri." Mereka memperingatkan bahwa
ekslusivisme pemerintah dapat membuat Korea Selatan dalam keadaan
berbahaya.
Selain itu, kritikus terus
mengkritik bahwa pemerintah, yang harus memberikan informasi objektif dalam hal
krisis dan menunjukkan sikap netral untuk meminimalkan kebingungan sosial,
justru menunjukkan tujuan politik melalui tindakan bias terhadap agama dan
melimpahkan seluruh tanggung jawab penyebaran virus ke satu organisasi.
LSM mengambil tindakan
Berjudul "Coronavirus
dan Shincheonji: Menghentikan Perburuan Penyihir", beberapa LSM di Eropa
pada tanggal 28 Februari mengeluarkan pernyataan bersama bahwa saat ini
COVID-19 di Korea Selatan telah menjadi target kebencian dan krisis hak asasi
manusia sejak kasus pasien ke-31 dikonfirmasi dari anggota Shincheonji.
Dalam pernyataan dinyatakan,
"beberapa politisi Korea mengambinghitamkan Shincheonji atas terjadinya
epidemi virus, mungkin untuk menghindari tuduhan terhadap kesalahan tindakan
mereka sendiri dalam mengatasi krisis," dan "daftar anggota
Shincheonji yang diberikan kepada pihak berwenang telah bocor sebagian,
mengakibatkan anggota Shincheonji dihina dan dipukuli di tempat publik, dan
beberapa orang bahkan telah dipecat dari pekerjaan mereka."
LSM yang berpartisipasi
meliputi CESNUR (Center for Studies on New Religions), ORLIR (International
Observatory of Religious Liberty of Refugees), FOB (European Federaon
for Freedom of Belief), CAP-LC (Co-ordination of Associations and Persons
for Freedom of Conscience), EIFRF (European Inter-religious Forum for
REligious Freedom), FOREF (Forum for Religious Freedom Europe),
LIREC (Center for Studies on Freedom of Belief, Religion, and Conscience),
HRWF (Human Rights Without Frontiers) , dan Soteria International.
Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Korea Selatan
Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Korea Selatan
Beberapa instansi pemerintah
di Korea Selatan menjadi instansi pertama dalam mengidentifikasi apakah para
pejabat mereka adalah anggota Shincheonji. Departemen Kehakiman menginstruksikan
penyelidikan skala nasional atas pegawai pemerintahan di fasilitas
pemasyarakatan untuk melaporkan apakah mereka atau keluarga mereka adalah
anggota Shincheonji.
Pada tanggal 26 Februari,
seorang anggota perempuan Shincheonji dari Ulsan terjatuh hingga meninggal
akibat dari kekerasan dalam rumah tangga karena keyakinan agamanya. Suaminya
mengakui bahwa ia menyerang istrinya selama berbulan-bulan akibat masalah
keyakinan agamanya, dan pada hari kejadian telah dilaporkan sekali lagi bahwa ada
tindakan kekerasan yang dilakukan oleh suaminya untuk memaksa dia melepaskan
keyakinan imannya.
Pada tanggal 10 Maret, satu lagi kematian seorang anggota Shincheonji dilaporkan di Jung-eup di Provinsi Jeolla Utara. Ketika media dibanjiri dengan berita palsu mengenai Shincheonii karena COVID-19, meningkatnya tindakan penganiayaan dari suami mengakibatkan perempuan lain yang jatuh dari apartemennya hingga meninggal dunia.
Pada tanggal 10 Maret, satu lagi kematian seorang anggota Shincheonji dilaporkan di Jung-eup di Provinsi Jeolla Utara. Ketika media dibanjiri dengan berita palsu mengenai Shincheonii karena COVID-19, meningkatnya tindakan penganiayaan dari suami mengakibatkan perempuan lain yang jatuh dari apartemennya hingga meninggal dunia.
Adapun kasus
pasien ke-31 yaitu anggota pertama Shincheonji yang terkonfirmasi positif virus
COVID-19, juga menjadi korban kebocoran identitas akibat berita palsu yang
tersebar di media online yang menyatakan bahwa dia mengganggu tindakan
perawatan dari rumah sakit dengan melawan para perawat. Departemen Kepolisian
daerah Daegu menyatakan bahwa berita mengenai tindakan melawan tenaga medis itu
tidak benar.
Gereja
Shincheonji menyatakan bahwa masalah pelanggaran hak asasi manusia sehubungan
dengan virus ini sudah lebih dari 7.500 kasus dan masih terus meningkat.
Penulis: Mila
COMMENTS