Memahami Hidup Kiai. Melihat ini (kehidupan kiai) sulit sekali saya menirunya dan atau mengikutinya. Dengan demikian gelar kiai tentunya harus disesua
Bantenekspose.com - Sosok kiai yang kita kenali adalah laki-laki yang sehari-hari mengajar ilmu agama kepada para santri di lembaga pendidikan bernama pondok pesantren, keseharian yang berkutat pada ibadah, ta'lim (pengajaran), membimbing santri, dan hidmat (melayani) serta menjawab persoalan umat.
Potret itu, sering kita jumpai di pesantren, terutama pesantren yang berbasis NU. Kesederhanaan yang tampak kita lihat, seringnya menerima tamu dari berbagai kalangan, strata sosial yang berbeda, bahkan kepada yang berbeda agama pun, kiai begitu ramah dan terbuka. Pakian yang acapkali dikenakan begitu sederhana, tanpa melepas kebiasan memakai sarung, ciri orang Nusantara. Peci hitam yang terkadang miring, dan sesekali kopyah putih, dengan wajah yang teduh namun kharismatik. Segan dan takutnya kita ketika berjumpa dengan sang kiai, seakan kiai hendak mengatakan "kamu kotor, keluar". Namun bukan itu yang terucap, tapi " kamu darimana? Apa sudah makan?". Figur orang tua kita seperti terwakili oleh kiai yang kecendrungannya tak membeda-bedakan siapapun yang bersilaturahmi.
Kiai, itu tipikal muslim yang menguasai keseluruhan ilmu agama secara detil dan sanad keilmuannya jelas. Menguasai ilmu tauhid higga sampai pada penguasaan ma'rifatullah (mengenali Tuhan). Mendalami ilmu tafsir, hingga berpuluh-puluh kitab tafsir sudah dikaji, tafsir dengan perspektif hadits seperti tafsir Ibnu Jarir al-Thobary, Tafsir dalam persepketif linguistik seprti Jalalain, tafsir dalam perspektif filsafat seperti tafsir al-Baidhowi, tafsir dalam perspektif hukum seperti tafsir ayat al-Ahkam, dan lainya hingga semuanya sudah dikajinya. Memahami ilmu Fiqih secara komprehensif dari kitab fathul qorib, fathul muin hingga pada kitab asna al-matholib dan seluruh kitab-kitab fiqih yang berjenjang itu. Semuanya berdasarkan sanad dengan guru kiainya terus bersambung pada fiqih madzhab Imam Mujtahid Muthlaq al-Imam al-Asyafei.
Dalam memahami ilmu hadits pun, kiai sekurang-kurangya telah menghatamkan kajian 4 kitab shoheh, seperti Shoheh Bukhori, Shoheh Muslim, Shoheh Abu Dawud hingga Musnad Imam Ahmad. Bahkan memahami ilmu tasawuf, kebanyakan kiai sudah menghatamkan pendalamannya atas Syarah Hikam, Minhaju al-Abidin, Ihya Ulumiddin, al-Mafakhir al-Aliyah, hingga Tanbih al-Mughtarin. Dalam memahami sastra Arab, kebanyakan kiai sudah menguasai ilmu Nahwu dan Shorof secara detil, ilmu Balagah, ilmu Manthiq, hingga ilmu al-Arudl telah dilampaui, hingga pada penguasaan ilmu nahwu pada kitab Mughni Labib dan Qothru al-Nada.
Paham kepada ilmu ushul fiqh pun, kita bisa lihat pada penguasaan kiai atas ilmu tersebut, beberapa kajian yang kiai ajarkan mulai dari kitab al-Waroqot, al-Bayan, hingga al-Mustasfa Imam al-Ghozali.
Semua ilmu-ilmu agama yang tertulis di beberapa kitab kuning tersebut semuanya berdasarkan sanad yang jelas. Hingga mengkaji kitab-kitab tersebut berdasarkan belajar langsung pada gurunya yang kiai juga. Hampir kita pastikan semua kiai dan benar-benar kiai, mereka yang tahu thobaqotnya seluruh kitab yang dikajinya.
Imam al-Ghozali, dalam kitabnya Ihya Ulumiddin (Juz 1 : 32). Telah mengidentifikasi sosok kiai tersebut sebagai yang al-Afqoh.
فمن كان اشد تعمقا فيها و اكثر اشتغالا بها يقال هو الافقه و لقد كان اسم الفقه في العصر الاول مطلقا على علم طريق الاخرة و معرفة دقاءق افات النفوس و مفسدات الاعمال و قوة الاحاطة بحقارة الدنيا و شدة التطلع الى نعيم الاخرة و استيلاء الخوف على القلب .
Orang yang punya kecenderungan pendalaman atas ilmu-ilmu, dan lebih banyak konsentrasinya atas ilmu tersebut, dan orang itu disebut orang yang lebih paham atas agama. Penyebutan atasnya itu karena orang tersebut lebih memilih jalan akhirat, dan mengenali halus-halusnya hawa nafsu, yang merusak amaliyah, kuatnya kekewatiran atas tipu daya dunia, serta lebih mementingkan lebihnya nikmatnya akhirat.
Pandangan Imam al-Ghozali tersebut menjadi petunjuk untuk mengenali sosok kiai yang sebenarnya, baik dalam pengamatannya atas ilmunya, ibadahnya dan prinsipnya dalam hidup. Mereka terbiasa dalam kehidupan yang sufistik. Kesehariannya adalah menjalankan tarekat, suluk dan riyadloh. Ini yang kita lihat pada kiai-kiai yang mengasuh pesantren.
Ibadahnya seorang kiai, yang bagi orang awam model saya sulit menirunya. Kebanyakan tidurnya kiai hanya 3 jam dalam 24 jam tersebut, kiai mengisi waktunya dengan sholat, dzikir, wiridan Quran 30 juz setiap hari, sholat sunnah, dan puasa sunnah, disamping hari-harinya disibukkan dengan mengajar ilmu agama pada santri. Kehidupan kiai yang nyaris tanpa jeda waktu yang terbuang.
Segi makan pun, menu makan kiai itu sederhana, tak bikin repot, dan seringnya kita amati tak memakai sendok. Yang disuguhkan itulah yang dimakan. Tak ada permintaan macam-macam.
Melihat ini (kehidupan kiai) sulit sekali saya menirunya dan atau mengikutinya. Dengan demikian gelar kiai tentunya harus disesuaikan dengan orang yang disebut dalam penjelasan di atas. Bagiku, menjadi tukang kuder kopinya kiai sudah senang.
Penulis: Hamdan Suhaemi
Ketua PW Rijalul Ansor Banten
Potret itu, sering kita jumpai di pesantren, terutama pesantren yang berbasis NU. Kesederhanaan yang tampak kita lihat, seringnya menerima tamu dari berbagai kalangan, strata sosial yang berbeda, bahkan kepada yang berbeda agama pun, kiai begitu ramah dan terbuka. Pakian yang acapkali dikenakan begitu sederhana, tanpa melepas kebiasan memakai sarung, ciri orang Nusantara. Peci hitam yang terkadang miring, dan sesekali kopyah putih, dengan wajah yang teduh namun kharismatik. Segan dan takutnya kita ketika berjumpa dengan sang kiai, seakan kiai hendak mengatakan "kamu kotor, keluar". Namun bukan itu yang terucap, tapi " kamu darimana? Apa sudah makan?". Figur orang tua kita seperti terwakili oleh kiai yang kecendrungannya tak membeda-bedakan siapapun yang bersilaturahmi.
Kiai, itu tipikal muslim yang menguasai keseluruhan ilmu agama secara detil dan sanad keilmuannya jelas. Menguasai ilmu tauhid higga sampai pada penguasaan ma'rifatullah (mengenali Tuhan). Mendalami ilmu tafsir, hingga berpuluh-puluh kitab tafsir sudah dikaji, tafsir dengan perspektif hadits seperti tafsir Ibnu Jarir al-Thobary, Tafsir dalam persepketif linguistik seprti Jalalain, tafsir dalam perspektif filsafat seperti tafsir al-Baidhowi, tafsir dalam perspektif hukum seperti tafsir ayat al-Ahkam, dan lainya hingga semuanya sudah dikajinya. Memahami ilmu Fiqih secara komprehensif dari kitab fathul qorib, fathul muin hingga pada kitab asna al-matholib dan seluruh kitab-kitab fiqih yang berjenjang itu. Semuanya berdasarkan sanad dengan guru kiainya terus bersambung pada fiqih madzhab Imam Mujtahid Muthlaq al-Imam al-Asyafei.
Dalam memahami ilmu hadits pun, kiai sekurang-kurangya telah menghatamkan kajian 4 kitab shoheh, seperti Shoheh Bukhori, Shoheh Muslim, Shoheh Abu Dawud hingga Musnad Imam Ahmad. Bahkan memahami ilmu tasawuf, kebanyakan kiai sudah menghatamkan pendalamannya atas Syarah Hikam, Minhaju al-Abidin, Ihya Ulumiddin, al-Mafakhir al-Aliyah, hingga Tanbih al-Mughtarin. Dalam memahami sastra Arab, kebanyakan kiai sudah menguasai ilmu Nahwu dan Shorof secara detil, ilmu Balagah, ilmu Manthiq, hingga ilmu al-Arudl telah dilampaui, hingga pada penguasaan ilmu nahwu pada kitab Mughni Labib dan Qothru al-Nada.
Paham kepada ilmu ushul fiqh pun, kita bisa lihat pada penguasaan kiai atas ilmu tersebut, beberapa kajian yang kiai ajarkan mulai dari kitab al-Waroqot, al-Bayan, hingga al-Mustasfa Imam al-Ghozali.
Semua ilmu-ilmu agama yang tertulis di beberapa kitab kuning tersebut semuanya berdasarkan sanad yang jelas. Hingga mengkaji kitab-kitab tersebut berdasarkan belajar langsung pada gurunya yang kiai juga. Hampir kita pastikan semua kiai dan benar-benar kiai, mereka yang tahu thobaqotnya seluruh kitab yang dikajinya.
Imam al-Ghozali, dalam kitabnya Ihya Ulumiddin (Juz 1 : 32). Telah mengidentifikasi sosok kiai tersebut sebagai yang al-Afqoh.
فمن كان اشد تعمقا فيها و اكثر اشتغالا بها يقال هو الافقه و لقد كان اسم الفقه في العصر الاول مطلقا على علم طريق الاخرة و معرفة دقاءق افات النفوس و مفسدات الاعمال و قوة الاحاطة بحقارة الدنيا و شدة التطلع الى نعيم الاخرة و استيلاء الخوف على القلب .
Orang yang punya kecenderungan pendalaman atas ilmu-ilmu, dan lebih banyak konsentrasinya atas ilmu tersebut, dan orang itu disebut orang yang lebih paham atas agama. Penyebutan atasnya itu karena orang tersebut lebih memilih jalan akhirat, dan mengenali halus-halusnya hawa nafsu, yang merusak amaliyah, kuatnya kekewatiran atas tipu daya dunia, serta lebih mementingkan lebihnya nikmatnya akhirat.
Pandangan Imam al-Ghozali tersebut menjadi petunjuk untuk mengenali sosok kiai yang sebenarnya, baik dalam pengamatannya atas ilmunya, ibadahnya dan prinsipnya dalam hidup. Mereka terbiasa dalam kehidupan yang sufistik. Kesehariannya adalah menjalankan tarekat, suluk dan riyadloh. Ini yang kita lihat pada kiai-kiai yang mengasuh pesantren.
Ibadahnya seorang kiai, yang bagi orang awam model saya sulit menirunya. Kebanyakan tidurnya kiai hanya 3 jam dalam 24 jam tersebut, kiai mengisi waktunya dengan sholat, dzikir, wiridan Quran 30 juz setiap hari, sholat sunnah, dan puasa sunnah, disamping hari-harinya disibukkan dengan mengajar ilmu agama pada santri. Kehidupan kiai yang nyaris tanpa jeda waktu yang terbuang.
Segi makan pun, menu makan kiai itu sederhana, tak bikin repot, dan seringnya kita amati tak memakai sendok. Yang disuguhkan itulah yang dimakan. Tak ada permintaan macam-macam.
Melihat ini (kehidupan kiai) sulit sekali saya menirunya dan atau mengikutinya. Dengan demikian gelar kiai tentunya harus disesuaikan dengan orang yang disebut dalam penjelasan di atas. Bagiku, menjadi tukang kuder kopinya kiai sudah senang.
Penulis: Hamdan Suhaemi
Ketua PW Rijalul Ansor Banten
COMMENTS