Penulis: Frans al Rifai (Sejarawan Garmuba) dan Haidar Ch Widodo (Penyuka Teologi) Menyimak opini tulisan Hamdan Suhaemi tentang ...
Penulis:
Lalu, anti-tesa lain ialah lahirnya Khawarij, yakni dari sekelompok pasukan Ali bin Abi Thalib Ra. Mereka menyalahkan keputusan Ali bin Abi Thalib Ra, ketika memaafkan Mu'awiyah bin Abu Sofyan, karena tidak membunuhnya ketika Mu'awiyah telah kalah berperang. Sebab Khawarij menilai pernyataan menyerah dari Mu'awiyah dengan mengibarkan panji putih dinilai tipu muslihat belaka. Jadi fase awal ini lahir empat kelompok yang bertikai.
Dalam ruang lain dan sebetulnya tidak ada hubungan dengan perihal peristiwa-peristiwa tersebut, lahir pula paham Qadariyah dan Jabbariyah. Ini bisa dinilai murni dialektika pemikiran dalam ilmu kalam (teologi atau tauhid). Qadariyah berpandangan, bahwa manusia menentukan dirinya sendiri dan tidak ada takdir melainkan apa-apa yang diusahakan oleh manusia itu sendiri sebagai takdirnya. Sedangkan Jabbariyah berpandangan bahwa Allah dengan keperkasaan-Nya, Maha Kuasa menentukan seratus persen takdir manusia. Manusia dipandang sebagai wayang dan Allah adalah dalang. Dalam pandangan lain, paham ini diprediksi lahir karena kaum Arab Jahiliyah yang hidup di Gurun Pasir yang tandus sehingga membuat hidup mereka pasrah kepada alam dan Tuhan. Mereka tidak kuasa mengubah takdir. Hari demi hari, harus mengalami hidup seperti itu dan tidak ada perubahan.
Fase selanjutnya, ialah lahirnya Mu'tazilah yakni diyakini paham rasionalisme Islam, yang dipelopori Washil bin Atho'. Washil bin Atho' ini adalah murid seoranh Syekh Agung, yakni Syekh Hasan Basri. Syekh Hasan Basri sendiri adalah pengikut Sayyidina Ali RA. Dia dilahirkan dari pasangan budak milik salah satu istri Rasulullah. Namun, pada suatu saat Washil bin Atho' berbeda pandangan dengan gurunya, soal kedudukan manusia yang berdosa. Washil bin Atho' berpandangan, bahwa seorang yang berdosa besar tidak masuk kepada muslim atau pun kafir. Maka keluarlah istilah al Manzilah bain al manzilah taini (posisi diantara dua posisi).
Banyak doktrin yang kontroversial dan bertentangan dengan pemahaman ulama dan umat pada saat itu, diantara Al Quran adalah makhluk dan sesungguhnya Al Quran adalah akal. Karena perbedaan waktu yang sangat panjang, sebetulnya sulit memahami apa yang dimaksud oleh Mu'tazilah dengan kedua hal tersebut. Tetapi, kontroversi alam dipahami sebagai reaksi luar atas statemen-statemen mu'tazilah, yang dipandang dari sisi luar sebagai suatu isu saja.
Namun demikian perhelatan atas Mu'tazilah terus didalami oleh para teolog pada saat ini. Banyak yang beranggapan bahwa Mu'tazilah adalah Neo Qadariyah karena pandangan akal. Padahal Qadariyah tidak berhubungan dengan soal rasionalisme atau cara pandang akal atas agama. Pada sisi lain, kita menemukan bahwa Mu'tazilah adalah menganut paham Jabbariyah soal takdir, ini bisa dipahami dari dialog Al Jubba'i ---ulama Jabbariyah yang masyhur saat itu dengan Abu Hasan al Asy'ari. Abu Hasan Al Asy'ari itu kelak menjadi pendiri paham Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Perdebatan Abu Hasan saat itu dengan gurunya Al Jibba'i ialah pada tema kedudukan antara orang beriman, orang kafir dan orang yang meninggal pada saat bayi. Al Jubbai menjawab, bahwa ketika orang beriman dimasukan di surga, orang kafir masuk neraka dan yang meninggal pada saat bayi terlepas dari api neraka.
Dikotomi lainnya, adalah dia menolak kedudukan antara dua posisi yang tidak jelas, dimana ada entitas selain Allah dan selain makhluk. Jadi, Al Quran sebagai kalamullah harus ditegaskan posisinya. Apakah dia Allah, apakah dia makhluk, maka Mu'tazilah menegaskan bahwa Al Quran adalah makhluk. Pada ruang yang lain, dia menegaskan posisi orang berdosa besar berada pada Al Manzilah Bain Al Manzilah Taini (posisi diantara dua posisi). Hanya, perbedaannya ini pada posisi dosa sedangkan yang dia tolak adalah Ilahiyah Al Quran, memang bukan entitas Tuhan dan bukan makhluk, namun dia adalah bagian dari diri Allah sebagai kalam atau firman-Nya.
Jelaslah, bahwa Mu'tazilah adalah paham rasionalis dalam Islam. Kendati demikian, dia tidak bisa dihubungkan dengan paham rasionalis Islam modernis, belum lagi kita kepada ruang post modernisme. Mu'tazilah pernah tumbuh pada zaman Dinasti Abbasiyah. Kemudian redup dimakan zaman seiring keruntuhan Dinasti Abbasiyah itu sendiri.
Perhelatan demi perhelatan terus berlangsung sepanjang zaman. Namun jangan pula kita keliru, yakni terjebak menghubungkan dialektika ilmu kalam itu, kepada ranah Mazhab yang berorientasi kepada pembenahan hukum agama. Padahal keberadaan mazdhab adalah ranah terpisah dari ilmu kalam. Mazhab, awalnya tidak terlibat dengan aneka konflik-konflik tersebut, bahkan seperti kaum Murji'ah yang mengambil ruang netral. Namun, ketika Al Asyariyah dan Al Maturidiyah sebagai basis ahlul sunnah wal jama'ah banyak dianut ulama sebagai basis pemahaman tauhid ketiga, yang lebih bisa diterima secara aqidah, maka secara berangsur ulama madzhab dan umatnya mengintegrasikan diri kepada ahlus sunnah wal jama'ah, kendati secara kedudukan madzhab lahir lebih tua dari paham ahlus sunnah wal jama'ah itu sendiri.
Lalu bagaimana Mu'tazilah dalam melakukan peribadahan pada saat itu? Sebetulnya mereka tetap mengikuti ahli-ahli hukum, para fuqaha pada saat itu. Jadi, tidak benar juga bahwa Mu'tazilah adalah anti sunnah. Umat mereka tetap terintegrasi kepada ajaran hukum yang dianut oleh ulama fiqih saat itu. Terbukti, sampai saat ini tidak ada fiqih secara khusus yang menjelaskan tentang tata cara beribadahnya kaum mu'tazilah. Tidak seperti Syi'ah yang menganut Fiqih Ja'fariyah atau Wahabi sebagai firqoh termuda yang menganut ghairu mazhab. Jadi, penerapan rasionalitas Mu'tazilah hanya diterapkan kepada ranah ilmu kalam dalam menjelaskan al Qur'an, Qadha, Qadar, Akal dan sebagainya.
Rasionaliame Islam di Abad Ini
Nah, pada fase ini, diskusi ala Mu'tazilah sudah tidak lagi populer. Rasionalisme agama lebih diarahkan kepada fungsi-fungsi agama secara luas, sebagaimana fungsi agama di dunia dan bukan hanya untuk akhirat. Sebagaimana Nurcholis Madjid sempat memunculkan istilah sekuleritas dan sekulerisme.
Jadi, tampaknya perhelatan Islam sampai kapan pun tetap rumit dalam memandang agama karena berprinsip kepada perbedaan adalah rahmat. Namun persoalannya bagaimana perbedaan ini berimbas kepada konflik-konflik fisik yang panjang. (*)
Frans al Rifai
(Sejarawan Garmuba)
dan Haidar Ch Widodo
(Penyuka Teologi)
Menyimak opini tulisan Hamdan Suhaemi tentang mempertanyakan
apa itu ajaran ahlusunnah, ada
baiknya saya berdua memiliki pandangan yang berbeda dengan beliau. Disini kami
melihat, perbedaan pandangan dalam Islam itu sebagai sesuatu yang wajar dan
keharusan, karena dari sisi ilmu Teologi
Islam akan semakin tergali secara ilmiah.
Dalam tulisan Hamdan Suhaimi, kami membaca ada paradoks
tekstual yang subyektif, karena madzhab ahlusunnah dipandangnya hanya dari satu
sudut pemikiran mu'tazilah yang agak ekstrem saja. Padahal kalau merunut pada
kontemplasi dialektika pada saat itu, justru ulama-ulama Islam tengah berburu
mencari nash yang hakiki dan tidak
nyleneh dari ajaran Islam yang sesungguhnya.
Berbicara soal paparan kajian agama, khususnya Islam akan
selalu sarat dengan penomena dialektika, kadang harus berbenturan antara
rasionalitas dengan kepastian tekstual, antara taqlid dengan teks. Namun, itu
tentunya akan bermuara pada khasanah penggalian ilmu agama yang lebih matang
dan lebih referentif, disana banyak pertimbangan hasil kajian yang bisa
memperluas wawasan beragama.
Pada perkembangan awal Islam, memang banyak sekali konflik-konflik terjadi. Konflik pertama adalah konflik kekuasaan antara Syi'ah dan Bani Umayyah. Secara singkat konflik ini bermuatan konflik antara Bani Hasyim / Bani Mutholib dengan Bani Umayyah---yang sebetulnya gesekan politik telah terjadi pada masa pra Islam. Namun implikasi konflik ini, Bani Umayyah melahirkan paham kekuasaan dengan mendompleng agama. Sedangkan Syi'ah melahirkan ajaran khas Islam, yang menitik-beratkan kepada kedudukan ahlul bait dalam agama, sebagai yang ditakjimi. Ini adalah konflik tertua dalam sejarah Islam. Sifatnya dialektis yang bersifat negasi. Dan pada posisi ini, lahir golongan ketiga yang netral yakni Murji'ah --- yang berpegang kepada penangguhan kebenaran atas semua prinsip-prinsip yang dianut manusia dan Murji'ah tidak mau terlibat di dalam kancah kekuasaan (politik).
Pada perkembangan awal Islam, memang banyak sekali konflik-konflik terjadi. Konflik pertama adalah konflik kekuasaan antara Syi'ah dan Bani Umayyah. Secara singkat konflik ini bermuatan konflik antara Bani Hasyim / Bani Mutholib dengan Bani Umayyah---yang sebetulnya gesekan politik telah terjadi pada masa pra Islam. Namun implikasi konflik ini, Bani Umayyah melahirkan paham kekuasaan dengan mendompleng agama. Sedangkan Syi'ah melahirkan ajaran khas Islam, yang menitik-beratkan kepada kedudukan ahlul bait dalam agama, sebagai yang ditakjimi. Ini adalah konflik tertua dalam sejarah Islam. Sifatnya dialektis yang bersifat negasi. Dan pada posisi ini, lahir golongan ketiga yang netral yakni Murji'ah --- yang berpegang kepada penangguhan kebenaran atas semua prinsip-prinsip yang dianut manusia dan Murji'ah tidak mau terlibat di dalam kancah kekuasaan (politik).
Lalu, anti-tesa lain ialah lahirnya Khawarij, yakni dari sekelompok pasukan Ali bin Abi Thalib Ra. Mereka menyalahkan keputusan Ali bin Abi Thalib Ra, ketika memaafkan Mu'awiyah bin Abu Sofyan, karena tidak membunuhnya ketika Mu'awiyah telah kalah berperang. Sebab Khawarij menilai pernyataan menyerah dari Mu'awiyah dengan mengibarkan panji putih dinilai tipu muslihat belaka. Jadi fase awal ini lahir empat kelompok yang bertikai.
Dalam ruang lain dan sebetulnya tidak ada hubungan dengan perihal peristiwa-peristiwa tersebut, lahir pula paham Qadariyah dan Jabbariyah. Ini bisa dinilai murni dialektika pemikiran dalam ilmu kalam (teologi atau tauhid). Qadariyah berpandangan, bahwa manusia menentukan dirinya sendiri dan tidak ada takdir melainkan apa-apa yang diusahakan oleh manusia itu sendiri sebagai takdirnya. Sedangkan Jabbariyah berpandangan bahwa Allah dengan keperkasaan-Nya, Maha Kuasa menentukan seratus persen takdir manusia. Manusia dipandang sebagai wayang dan Allah adalah dalang. Dalam pandangan lain, paham ini diprediksi lahir karena kaum Arab Jahiliyah yang hidup di Gurun Pasir yang tandus sehingga membuat hidup mereka pasrah kepada alam dan Tuhan. Mereka tidak kuasa mengubah takdir. Hari demi hari, harus mengalami hidup seperti itu dan tidak ada perubahan.
Fase selanjutnya, ialah lahirnya Mu'tazilah yakni diyakini paham rasionalisme Islam, yang dipelopori Washil bin Atho'. Washil bin Atho' ini adalah murid seoranh Syekh Agung, yakni Syekh Hasan Basri. Syekh Hasan Basri sendiri adalah pengikut Sayyidina Ali RA. Dia dilahirkan dari pasangan budak milik salah satu istri Rasulullah. Namun, pada suatu saat Washil bin Atho' berbeda pandangan dengan gurunya, soal kedudukan manusia yang berdosa. Washil bin Atho' berpandangan, bahwa seorang yang berdosa besar tidak masuk kepada muslim atau pun kafir. Maka keluarlah istilah al Manzilah bain al manzilah taini (posisi diantara dua posisi).
Banyak doktrin yang kontroversial dan bertentangan dengan pemahaman ulama dan umat pada saat itu, diantara Al Quran adalah makhluk dan sesungguhnya Al Quran adalah akal. Karena perbedaan waktu yang sangat panjang, sebetulnya sulit memahami apa yang dimaksud oleh Mu'tazilah dengan kedua hal tersebut. Tetapi, kontroversi alam dipahami sebagai reaksi luar atas statemen-statemen mu'tazilah, yang dipandang dari sisi luar sebagai suatu isu saja.
Namun demikian perhelatan atas Mu'tazilah terus didalami oleh para teolog pada saat ini. Banyak yang beranggapan bahwa Mu'tazilah adalah Neo Qadariyah karena pandangan akal. Padahal Qadariyah tidak berhubungan dengan soal rasionalisme atau cara pandang akal atas agama. Pada sisi lain, kita menemukan bahwa Mu'tazilah adalah menganut paham Jabbariyah soal takdir, ini bisa dipahami dari dialog Al Jubba'i ---ulama Jabbariyah yang masyhur saat itu dengan Abu Hasan al Asy'ari. Abu Hasan Al Asy'ari itu kelak menjadi pendiri paham Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Perdebatan Abu Hasan saat itu dengan gurunya Al Jibba'i ialah pada tema kedudukan antara orang beriman, orang kafir dan orang yang meninggal pada saat bayi. Al Jubbai menjawab, bahwa ketika orang beriman dimasukan di surga, orang kafir masuk neraka dan yang meninggal pada saat bayi terlepas dari api neraka.
Lalu ketika Abu Hasan
Al Asyari bertanya kembali, bagaimana apabila bayi menuntut kenapa dia
meninggal saat bayi, sedangkan seandainya dirinya dibiarkan hidup oleh Allah,
bahwa niscaya dia akan bisa beramal saleh seperti orang beriman. Al Jubba'i menjawab, bahwa Allah lebih
mengetahui akan hal itu. Al Asy'ari mengejar jawaban itu dengan pertanyaan,
bagaimana seandainya orang kafir bertanya, apabila Allah mengetahui dirinya
akan masuk neraka, lalu mengapa Allah membiarkan dirinya hidup dan tidak
mencabut nyawanya sewaktu bayi.
Dialog tersebut terkesan ada dikotomis. Satu sisi, memang Mu'tazilah selalu mencoba mencari suatu jawaban dengan akal dan satu sisi dengan dia mengatakan Allah Maha mengetahui, dan oleh karennya bayi diambil nyawanya sebelum dia beranjak besar dan kelak akan menjadi kafir, maka ini sebetulnya statmen golongan Jabbariyah.
Dialog tersebut terkesan ada dikotomis. Satu sisi, memang Mu'tazilah selalu mencoba mencari suatu jawaban dengan akal dan satu sisi dengan dia mengatakan Allah Maha mengetahui, dan oleh karennya bayi diambil nyawanya sebelum dia beranjak besar dan kelak akan menjadi kafir, maka ini sebetulnya statmen golongan Jabbariyah.
Dikotomi lainnya, adalah dia menolak kedudukan antara dua posisi yang tidak jelas, dimana ada entitas selain Allah dan selain makhluk. Jadi, Al Quran sebagai kalamullah harus ditegaskan posisinya. Apakah dia Allah, apakah dia makhluk, maka Mu'tazilah menegaskan bahwa Al Quran adalah makhluk. Pada ruang yang lain, dia menegaskan posisi orang berdosa besar berada pada Al Manzilah Bain Al Manzilah Taini (posisi diantara dua posisi). Hanya, perbedaannya ini pada posisi dosa sedangkan yang dia tolak adalah Ilahiyah Al Quran, memang bukan entitas Tuhan dan bukan makhluk, namun dia adalah bagian dari diri Allah sebagai kalam atau firman-Nya.
Jelaslah, bahwa Mu'tazilah adalah paham rasionalis dalam Islam. Kendati demikian, dia tidak bisa dihubungkan dengan paham rasionalis Islam modernis, belum lagi kita kepada ruang post modernisme. Mu'tazilah pernah tumbuh pada zaman Dinasti Abbasiyah. Kemudian redup dimakan zaman seiring keruntuhan Dinasti Abbasiyah itu sendiri.
Perhelatan demi perhelatan terus berlangsung sepanjang zaman. Namun jangan pula kita keliru, yakni terjebak menghubungkan dialektika ilmu kalam itu, kepada ranah Mazhab yang berorientasi kepada pembenahan hukum agama. Padahal keberadaan mazdhab adalah ranah terpisah dari ilmu kalam. Mazhab, awalnya tidak terlibat dengan aneka konflik-konflik tersebut, bahkan seperti kaum Murji'ah yang mengambil ruang netral. Namun, ketika Al Asyariyah dan Al Maturidiyah sebagai basis ahlul sunnah wal jama'ah banyak dianut ulama sebagai basis pemahaman tauhid ketiga, yang lebih bisa diterima secara aqidah, maka secara berangsur ulama madzhab dan umatnya mengintegrasikan diri kepada ahlus sunnah wal jama'ah, kendati secara kedudukan madzhab lahir lebih tua dari paham ahlus sunnah wal jama'ah itu sendiri.
Lalu bagaimana Mu'tazilah dalam melakukan peribadahan pada saat itu? Sebetulnya mereka tetap mengikuti ahli-ahli hukum, para fuqaha pada saat itu. Jadi, tidak benar juga bahwa Mu'tazilah adalah anti sunnah. Umat mereka tetap terintegrasi kepada ajaran hukum yang dianut oleh ulama fiqih saat itu. Terbukti, sampai saat ini tidak ada fiqih secara khusus yang menjelaskan tentang tata cara beribadahnya kaum mu'tazilah. Tidak seperti Syi'ah yang menganut Fiqih Ja'fariyah atau Wahabi sebagai firqoh termuda yang menganut ghairu mazhab. Jadi, penerapan rasionalitas Mu'tazilah hanya diterapkan kepada ranah ilmu kalam dalam menjelaskan al Qur'an, Qadha, Qadar, Akal dan sebagainya.
Rasionaliame Islam di Abad Ini
Perhelatan Mu'tazilah pada saat ini sudah terhenti dan tidak
lagi menjadi tranding topik bagi umat.
Justru yang muncul sekarang adalah dialektika mazhab dengan ghairu mazhab
(wahabi) berikut sempalan-sempalan kecil lainnya. Temanya beraneka ragam, namun
ia besar seperti masih seputar soal tema-tema yang dikemukakan Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab seputar pemurnian Islam kembali kepada Al
Quran dan Sunnah, Bidah, Khurafat dan lain-lain. Sektenya banyak sekali. Begitu
juga masih meluasnya paham politik Islam seperti isu khilafah. Namun, ditengah
hiruk pikuk modernitas ini, paham kecil lain bermunculan di mulai paham
hakikat, sesat dan sebagainya yang mengedepankan tafsir esoterisme (keluar dari
teks-teks al Quran).
Rasionalisme Islam pada saat ini tidak lagi sebagaimana mu'tazilah, dengan menafasirkan teks secara bebas. Namun kendati demikian, menurut hemat kami, mu'tazilah tidak menafsirkan secara bebas sebagaimana yang dituduhkan kepadanya, melainkan tafsirnya kepada teks keluar dari pakem-pakem ulama saat itu, yang dipandang jumud. Mu'tazilah kendati mengatakan Akal adalah Al Quran, bukan berarti melepaskan al Quran sebagai keimanan. Sebab, setiap dalil yang diberikan tetap bersandarkan kepada al Quran dengan cara penelaahan berbeda. Dalam hermeneutika disebutkan, bahwa pesan memiliki tiga otoritas, yakni penutur (dalam hal ini Allah yang memberikan wahyu memiliki maksud), teks (memiliki otonomi makna secara teks), dan penafsir (secara bebas memberikan simpulan atas makna teks).
Rasionalisme Islam pada saat ini tidak lagi sebagaimana mu'tazilah, dengan menafasirkan teks secara bebas. Namun kendati demikian, menurut hemat kami, mu'tazilah tidak menafsirkan secara bebas sebagaimana yang dituduhkan kepadanya, melainkan tafsirnya kepada teks keluar dari pakem-pakem ulama saat itu, yang dipandang jumud. Mu'tazilah kendati mengatakan Akal adalah Al Quran, bukan berarti melepaskan al Quran sebagai keimanan. Sebab, setiap dalil yang diberikan tetap bersandarkan kepada al Quran dengan cara penelaahan berbeda. Dalam hermeneutika disebutkan, bahwa pesan memiliki tiga otoritas, yakni penutur (dalam hal ini Allah yang memberikan wahyu memiliki maksud), teks (memiliki otonomi makna secara teks), dan penafsir (secara bebas memberikan simpulan atas makna teks).
Nah, pada fase ini, diskusi ala Mu'tazilah sudah tidak lagi populer. Rasionalisme agama lebih diarahkan kepada fungsi-fungsi agama secara luas, sebagaimana fungsi agama di dunia dan bukan hanya untuk akhirat. Sebagaimana Nurcholis Madjid sempat memunculkan istilah sekuleritas dan sekulerisme.
Dalam pandangan lain, rasionalisme digunakan untuk
memberikan perimbangan pemahaman agama yang semula ekslusif menjadi inklusif
atas dinamika dan perkembangan zaman yang begitu progresif. Dalam ruang hukum
agama, sebuah konsekuensi apabila pemahaman agama sangat konservatif, perubahan
hanya pada furu'iyah (cabang). Namun dalam dimensi agama yang lebih luas, para
rasionalis berupa membawa agama agar dipahami seimbang dengan perubahan zaman
dan semangat-semangat perubahannya. Namun demikian, bukan berarti tanpa
tantangan, sebab perhelatan agama sejak semula rumit, maka diantara segolongan
umat tetap berupaya menarik kembali agama ke romantisme masa lalu yang ortodox,
dengan Isu Khilafah, hukum Islam, negara Islam dan sebagainya hingga praktik
cara-cara teror dan anarki.
Pada ruang mazhab, sebetulnya tetap konsisten mempertahankan tradisi tafsir yang bersandar pada kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh ulama sebelumnya, sehingga gerak dialektika makna terkontrol dan tidak melampaui batas. Namun, golongan esosteris sebetulnya--salah satu sisi mereka memaksa kembali ke ranah ortodox masa lalu dan di sisi lain mereka menggunakan tafsir bebas ala mu'tazilah--mendekati apa yang kita pahami hermeneutika. Sebab Hermenetika ini digunakan oleh Katholik sebagai ilmu tafsir Injil. Lalu apabila digunakan di dalam Al Quran, tidak ubahnya dengan suatu ciri memaknakan secara bebas makna makna ayat dengan keluar dari pakem makna ulama jumhur atau masyhur, apalagi tingkat ‘Ijma. Sebagaimana kehalalan bom bunuh diri oleh mujahid dari ghairu mazhab merupakan tafsir yang keluar dari pakem ulama secara ijma.
Pada ruang mazhab, sebetulnya tetap konsisten mempertahankan tradisi tafsir yang bersandar pada kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh ulama sebelumnya, sehingga gerak dialektika makna terkontrol dan tidak melampaui batas. Namun, golongan esosteris sebetulnya--salah satu sisi mereka memaksa kembali ke ranah ortodox masa lalu dan di sisi lain mereka menggunakan tafsir bebas ala mu'tazilah--mendekati apa yang kita pahami hermeneutika. Sebab Hermenetika ini digunakan oleh Katholik sebagai ilmu tafsir Injil. Lalu apabila digunakan di dalam Al Quran, tidak ubahnya dengan suatu ciri memaknakan secara bebas makna makna ayat dengan keluar dari pakem makna ulama jumhur atau masyhur, apalagi tingkat ‘Ijma. Sebagaimana kehalalan bom bunuh diri oleh mujahid dari ghairu mazhab merupakan tafsir yang keluar dari pakem ulama secara ijma.
Jadi, tampaknya perhelatan Islam sampai kapan pun tetap rumit dalam memandang agama karena berprinsip kepada perbedaan adalah rahmat. Namun persoalannya bagaimana perbedaan ini berimbas kepada konflik-konflik fisik yang panjang. (*)
COMMENTS