Dialektika Teologis, Antara Ahli Sunnah dan Inkaru Sunnah
0 menit baca

![]() |
Penulis: Hamdan Suhaimi |
Konsistensi Pada al-Sunnah
Sunnah dalam konteks ucapan kita kenal sebagai hadits,
satu dari pada pedoman umat Islam dunia yang tak terbantahkan karena posisi
hadits sebagai dalil hukum taklifi atas seorang muslim. Hadits merupakan
pedoman kedua setelah Al Quran menjadi tolak ukur dalam menjawab setiap
persoalan umat yang spektrumnya sangat luas, dan Al Quran sendiri merupakan
firman Allah SWT yang qodim (dahulu). Hadits dalam rentang perjalananya
sebagai holy of speech dari Nabi Muhammad SAW sang pembawa risalah Islam
terus berinteraksi dengan pemikiran filosofis dari orang-orang yang hidup
dikemudian dengan banyak pendekatan baik perbandingan hingga pertentangan.
Hal itu menjadi perjalanan historis tentunya dan hadits tak serta merta
bisa langsung diterima sebagai yang utuh dari Nabi SAW dengan sanad yang
tersambung. Namun selalu dikedepankan asumsi bahwa ucapan itu benar dari sang
Nabi tanpa harus menguji kesahihan (al-afsoh fi al-isnad) hadits tersebut apakah
benar itu ucapan asli dari sang Nabi atau bukan. Inilah yang kita maksud
sebagai pembiasan tersebut, fenomena tersebut timbul sejak Nabi SAW telah wafat
dan banyak menimbulkan fitnah dimana-mana karena ada infiltrasi dari penganut
agama lain yang mencoba menohok dari dalam Islam secara epistemelogis.
Para penyokong hadits atau sunnah yang punya
integritas kuat tentunya segaris dengan para sahabat yang konsisten terhadap
pengamalan ajaran Islam yang murni sesuai prilaku Nabi kala hidup, sahabat Nabi
merupakan golongan pertama menjalankan syariat Islam dengan ketegasan Al Quran
dan hadits Nabi yang terus berajalan seiring kehidupan Nabi SAW. Mereka sangat
konsisten dalam penerapan segala apa yang diucapkan dan apa yang dibiasakan
Nabi SAW sebagai panutan (uswatun
hasanah).
Dialektika Pemikiran Teologis
Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang kita
kenal kemudian menjadi istilah baru ketika memasuki zaman Tabiin sebagai
penamaan atas Jumhur al-Muslimin ( seluruh umat Islam yang tetap setia
dengan ajaran Nabi dan para Sahabat ). Ahlu Sunnah
telah menjadi golongan tersendiri sebagai mayoritas umat Islam dunia selain
golongan Islam lainnya seperti golongan Syiah, Mu’tazilah, Khawarij dan lain
sebagainya. Ketetapan Manhaj Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang merujuk kepada ajaran Nabi
Muhammad SAW dan ittiba' terhadap ijtihad sahabat secara dinamis terus
berkembang seiring zaman tanpa ada sedikit pun secara prinsip teologis tergantikan atau
terubahakan.
Dalam sejarahnya Ahlu Sunnah secara
dialektikisnya telah mendapatkan pertentangannya ( anti-tesis ) oleh para
penganut rasio ( 'aqli ) yang berdiri tegak untuk menolak secara
konsepsi teologis yang mengacu pada sunnah Nabi dan sahabat dengan selalu
menganjurkan rasio dalam istinbat al
hukmi di setiap penentuan hukum agama. Para penganut rasionalisme dikenal dengan golongan
Inkaru Sunnah dengan mendeklarasikan akal fikiran sebagai sumber utama
dalam mengambil keputusan hukum Islam dan keputusan yang bersifat agamis dengan
terang dan jelas memposisikan Al Quran sebagai the second of law.
Golongan inkaru sunnah lebih dikenal sebagai golongan Mu’tazilah yang
hingga kini terus bersemai seiring zaman yang memasuki post-modernisme.
Kedua golongan diatas, terus berupaya memahami Islam
dari sudut pandangnya masing-masing dengan harapan mengamalkan dan menghayati
Islam tanpa kenal waktu dan batasan. Dengan rasio mereka berupaya
mengetengahkan Islam di peradabannya sebagai Islam yang rasional, inklusif dan
terbuka untuk ditafsiri. Sementara mereka golongan terbesar Islam ini berupaya
meneguhkan sikap keislamannya dengan terus berupaya istiqomah di jalan
Nabi SAW dan sahabat yakni tetap dalam kemurnian Islam. Mereka pula meyakini
tetap dalam konservatisme ajaran Islam yang bersumber langsung dari kehidupan
dan tradisiNabi SAW.
Klaim kebenaran terkadang kita temukan dari
masing-masing golongan sebagai bagian dari alat perjuangan meneguhkan ajaran
Islam yang sempurna, Ahlu Sunnah menjadi golongan Islam terbesar yang paling
dominan mengklaim sebagai yang benar meski tak menampik bahwasanya golongan
Inkaru Sunnah pun terkadang bertepuk dada mempertahankan hujjah-nya yang
terkesan selalu bersumber pada instrument filsafat.
Pengaruh Kekuasaan
Sejak kebijakan pemerintahan Sultan al-Makmun
di Baghdad membuka keran kebebasan terhadap hermeunitika atas kebudayaan
helenistik Yunani, maka efek dari pada itu menimbulkan gelombang pemahaman umat
Islam yang terus bertumpu pada rasionalitas tanpa sedikit pun merasa terganggu
atas tuduhan Inkaru Sunnah dari mereka yang kebetulan menjadi lawan dalam
pergolakan pemahaman Islam secara ideologis-teologis. Al
Quran sendiri menjadi pedoman yang kedua setelah rasio yang dipandang sebagai
dalil mereka memahami Islam dengan bebas tafsir dan bebas makna, sebab kekuatan
ide atau akal budi telah menginspirasi mereka sebagai yang utama, bahkan tak
jarang ayat-ayat yang menunjukan kemampuan rasio diatas segala-galanya selalu
dikutip sebagai senjata mereka mengalihkan perhatian umat yang pada dasarnya
mereka hendak mengetengahkan unsur filsafat sebagai tiang pancang memahami
Islam dan melaksanakan rutinitas keagamaan goer al ibadat ( bukan ibadah ). Ayat-ayat yang
mereka kutip seperti " afala
ya'qilun, afala tatadabbarun, afala tatadzakkarun dan afala
ta'qiluun. Penggalan ayat-ayat tesrebut menjadi pijakan mereka kaum Inkaru Sunnah
mendalami dan menghayati Islam dengan asumsi bahwa Islam adalah agama yang
rasional.
Tanpa Sintesa
Pergumulun diatas terus menerus hingga mengantarkan kita ke suatu pemahaman, bahwasanya Ahlu Sunnah akan terus beriringan dengan
para Inkaru Sunnah dalam bingkai kemajuan peradaban Islam hingga nanti. Sekali
lagi klaim kebenaran (feeling being right) beragama adalah titik utama
dari pergumulan para penganut agama. Islam yang kita yakini, hadir sebagai agama
yang terbuka dan mengikuti zaman. (*)