BREAKING NEWS

Dialektika Teologis, Antara Ahli Sunnah dan Inkaru Sunnah


Penulis: Hamdan Suhaimi
DALAM  terminologi ajaran Islam kita mengenal penyebutan kata al-Sunnah yang diartikan dengan sabda Nabi Muhammad SAW. Peristilahan sunnah yang disederhanakan sebagai tradisi Nabi SAW acapkali dipahami sebagai pembiasan makna yang padahal sunnah secara istilah adalah aqwalun wa af'alun, wa aqrorun min rosulillah (perkataan, perbuatan dan takrir Rosulullah SAW). Pembiasan tersebut dikarenakan ada sentimen golongan yang menyeruak di alam fikiran umat Islam yang terbelah karena perbedaan dukungan politik dan aliran. Tradisi atau sunnah Nabi SAW tidak sama pengertian dari tradisi yang berakar pada urf (adat), sebab sunnah berkaitan di satu pribadi orang sebagai konsepsi nilai yang berakar dari ilahiyyah sedangkan urf  berakar di kebiasaan umumnya orang dimana mereka bertempat, hidup dan berkembang dalam kehidupan.

Konsistensi Pada al-Sunnah
Sunnah dalam konteks ucapan kita kenal sebagai hadits, satu dari pada pedoman umat Islam dunia yang tak terbantahkan karena posisi hadits sebagai dalil hukum taklifi atas seorang muslim. Hadits merupakan pedoman kedua setelah Al Quran menjadi tolak ukur dalam menjawab setiap persoalan umat yang spektrumnya sangat luas, dan Al Quran sendiri merupakan firman Allah SWT yang qodim (dahulu). Hadits dalam rentang perjalananya sebagai holy of speech dari Nabi Muhammad SAW sang pembawa risalah Islam terus berinteraksi dengan pemikiran filosofis dari orang-orang yang hidup dikemudian dengan banyak pendekatan baik perbandingan hingga pertentangan.

Hal itu menjadi perjalanan  historis tentunya dan hadits tak serta merta bisa langsung diterima sebagai yang utuh dari Nabi SAW dengan sanad yang tersambung. Namun selalu dikedepankan asumsi bahwa ucapan itu benar dari sang Nabi tanpa harus menguji kesahihan (al-afsoh fi al-isnad) hadits tersebut apakah benar itu ucapan asli dari sang Nabi atau bukan. Inilah yang kita maksud sebagai pembiasan tersebut, fenomena tersebut timbul sejak Nabi SAW telah wafat dan banyak menimbulkan fitnah dimana-mana karena ada infiltrasi dari penganut agama lain yang mencoba menohok dari dalam Islam secara epistemelogis.

Para penyokong hadits atau sunnah yang punya integritas kuat tentunya segaris dengan para sahabat yang konsisten terhadap pengamalan ajaran Islam yang murni sesuai prilaku Nabi kala hidup, sahabat Nabi merupakan golongan pertama menjalankan syariat Islam dengan ketegasan Al Quran dan hadits Nabi yang terus berajalan seiring kehidupan Nabi SAW. Mereka sangat konsisten dalam penerapan segala apa yang diucapkan dan apa yang dibiasakan Nabi SAW sebagai panutan (uswatun hasanah).

Dialektika Pemikiran Teologis
Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang kita kenal kemudian menjadi istilah baru ketika memasuki zaman Tabiin sebagai penamaan atas Jumhur al-Muslimin ( seluruh umat Islam yang tetap setia dengan ajaran Nabi dan para Sahabat ). Ahlu Sunnah telah menjadi golongan tersendiri sebagai mayoritas umat Islam dunia selain golongan Islam lainnya seperti golongan Syiah, Mu’tazilah, Khawarij dan lain sebagainya. Ketetapan Manhaj Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang merujuk kepada ajaran Nabi Muhammad SAW dan ittiba' terhadap ijtihad sahabat secara dinamis terus berkembang seiring zaman tanpa ada sedikit pun secara prinsip teologis tergantikan atau terubahakan.

Dalam sejarahnya Ahlu Sunnah secara dialektikisnya telah mendapatkan pertentangannya ( anti-tesis ) oleh para penganut rasio ( 'aqli ) yang berdiri tegak untuk menolak secara konsepsi teologis yang mengacu pada sunnah Nabi dan sahabat dengan selalu menganjurkan  rasio dalam istinbat al hukmi di setiap penentuan hukum agama. Para  penganut rasionalisme dikenal dengan golongan Inkaru Sunnah dengan mendeklarasikan akal fikiran sebagai sumber utama dalam mengambil keputusan hukum Islam dan keputusan yang bersifat agamis dengan terang dan jelas memposisikan Al Quran sebagai the second of law. Golongan inkaru sunnah lebih dikenal sebagai golongan Mu’tazilah yang hingga kini terus bersemai seiring zaman yang memasuki post-modernisme.

Kedua golongan diatas, terus berupaya memahami Islam dari sudut pandangnya masing-masing dengan harapan mengamalkan dan menghayati Islam tanpa kenal waktu dan batasan. Dengan rasio mereka berupaya mengetengahkan Islam di peradabannya sebagai Islam yang rasional, inklusif dan terbuka untuk ditafsiri. Sementara mereka golongan terbesar Islam ini berupaya meneguhkan sikap keislamannya dengan terus berupaya istiqomah di jalan Nabi SAW dan sahabat yakni tetap dalam kemurnian Islam. Mereka pula meyakini tetap dalam konservatisme ajaran Islam yang bersumber langsung dari kehidupan dan tradisiNabi SAW.

Klaim kebenaran terkadang kita temukan dari masing-masing golongan sebagai bagian dari alat perjuangan meneguhkan ajaran Islam yang sempurna, Ahlu Sunnah menjadi golongan Islam terbesar yang paling dominan mengklaim sebagai yang benar meski tak menampik bahwasanya golongan Inkaru Sunnah pun terkadang bertepuk dada mempertahankan hujjah-nya yang terkesan selalu bersumber pada instrument filsafat.

Pengaruh Kekuasaan
Sejak kebijakan pemerintahan Sultan al-Makmun di Baghdad membuka keran kebebasan terhadap hermeunitika atas kebudayaan helenistik Yunani, maka efek dari pada itu menimbulkan gelombang pemahaman umat Islam yang terus bertumpu pada rasionalitas tanpa sedikit pun merasa terganggu atas tuduhan Inkaru Sunnah dari mereka yang kebetulan menjadi lawan dalam pergolakan pemahaman Islam secara ideologis-teologis. Al Quran sendiri menjadi pedoman yang kedua setelah rasio yang dipandang sebagai dalil mereka memahami Islam dengan bebas tafsir dan bebas makna, sebab kekuatan ide atau akal budi telah menginspirasi mereka sebagai yang utama, bahkan tak jarang ayat-ayat yang menunjukan kemampuan rasio diatas segala-galanya selalu dikutip sebagai senjata mereka mengalihkan perhatian umat yang pada dasarnya mereka hendak mengetengahkan unsur filsafat sebagai tiang pancang memahami Islam dan melaksanakan rutinitas keagamaan goer al  ibadat ( bukan ibadah ). Ayat-ayat yang mereka kutip  seperti " afala ya'qilun, afala tatadabbarun, afala tatadzakkarun dan afala ta'qiluun. Penggalan ayat-ayat tesrebut menjadi pijakan mereka kaum Inkaru Sunnah mendalami dan menghayati Islam dengan asumsi bahwa Islam adalah agama yang rasional.

Tanpa Sintesa
Pergumulun diatas terus menerus hingga mengantarkan kita ke suatu pemahaman, bahwasanya Ahlu Sunnah akan terus beriringan dengan para Inkaru Sunnah dalam bingkai kemajuan peradaban Islam hingga nanti. Sekali lagi klaim kebenaran (feeling being right) beragama adalah titik utama dari pergumulan para penganut agama. Islam yang kita yakini, hadir sebagai agama yang terbuka dan mengikuti zaman. (*)
Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image