BREAKING NEWS

Tak Selengket Getahnya, Penyadap Karet Pilih Kerja di Malaysia

(foto: chanelbantencom)
Bantenekspose.com - Bak tikus mati di lumbung padi. Ungkapan tersebut mungkin sedikit mengena dalam kehidupan masyarakat di tiga desa yang masuk dalam wilayah Kabupaten Lebak. Ratusan hektar lahan perkebunan karet, yang berlokasi di Desa Kandang Sapi dan Desa Cihujan Kecamatan Cijaku, Lebak tersebut ternyata tak terlalu menguntungkan secara ekonomi bagi warganya. Kondisi yang sama juga terjadi di Desa Kadujajar Kecamatan Malingping, Lebak.

Tidak kurang dari luas area sekitar 900 hektare lahan yang masuk dalam wilayah Desa Kandang Sapi dan Desa Cihujan (Kec. Cijaku) serta Desa Kadu Jajar, Kecamatan Malingping tersebut sudah sejak lama dikuasai PT Banten Planting, yang mengelola perkebunan karet.


Dibalik lengketnya getah karet, ternyata upah karyawan penyadap karet di perusahaan tersebut, tidak sesuai dengan ketentuan Upah Minimum Kabupaten (UMK). Perusahaan yang sudah berdiri puluhan tahun ini, membayar karyawan penyadap karet tersebut hanya Rp 27.500 perhari atau sekitar Rp 800.000 perbulan. Akibatnya, meski lapangan pekerjaan ada di depan mata, warga setempat malah lebih memilih menyadap karet ke luar negeri seperti ke Malaysia.

“Suami saya sudah 3 tahun di Malaysia, pekerjaannya ya sama, nyadap karet juga. Itu suami saya lakukan karena di sini upahnya kecil, jangankan untuk biaya makan sehari-hari, buat  biaya sekolah anak pun masih tekor,” kata seorang warga petani kuli karet di Desa Kadujajar.
Bagaimana dengan kotribusi terhadap desa setempat? Utom Bustomi, ketua Badan Permusyawarata Desa (BPD) Desa Kadujajar Kecamatan Malingping mengatakan, ratusan hektar perkebunan karet yang ada di wilayahnya itu pun tidak menambah pendapatan desa (PADes).

Padahal, kawasan perkebunan karet yang dikelola PT Banten Planting ini tidak kurang dari 900 hektare, yang seharusnya memberikan dampak baik terhadap perekonomian masyarakat sekitar malah sama sekali tidak ada.

“Nggak ada masukan buat PADes. Paling hanya ngasih uang roko sama Kepala Desa dengan nilai Rp 600 ribu sebulan,” ujarnya.


Menurut Utom, armada angkutan karet mentah milik perusahaan selalu lalu-lalang di kampungnya itu.


“Pihak perusahaan sama sekali kurang peduli ke warga. Padahal, mobil-mobil perusahaan tersebut menggunakan jalan poros desa. Mereka itu menggunakan jalan pertanian. Jadi alangkah wajarnya kalau perusahaan ini memberikan perhatian kepada warga di sini sebagai imbal baliknya,” paparnya.


Editor  : Sage

Sourch : CBC
Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image