Aturan Main Dalam Mendidik
0 menit baca
![]() |
Foto: Ilustrasi |
Seringkali kita temui di media massa berita tentang: “murid yang memojokkan posisi guru”, guru yang seharusnya digugu dan ditiru harus mengalah, dituduh bersalah, dihakimi dan mengikuti semua permintaan murid –secara terpaksa ; lantaran HAM yang diagung-agungkan di Barat, juga di Indonesia yang tak jauh berbeda. Bahkan, lebih dari itu, berapa banyak guru yang dipenjara karena menghukum murid yang bendel, kurang ajar, dan tidak mau dididik. Bukan berarti, saya mengkultuskan sosok guru. Akan tetapi, sudah seharusnya kita menempatkan sesuatu pada tempatnya. A’thi kulla dzi haqqin haqqoh.
Berapa banyak kitab dan buku yang ditulis mengenai adab “tata-krama” murid kepada guru ataupun sebaliknya. Mungkin karena budaya “membaca” tidak terlalu dihiraukan, sehingga banyak yang lupa atau sengaja melupakannya. Maka, saya di tulisan ini, ingin membahas secuil dari sekian yang banyak itu.
Memang, jika kita sedikit menelaah literatur fiqh, kita dapati istilah “ta’zir” yang berarti hukuman. Dan fuqoha juga sedikit-banyak membahas masalah ini. Ta’zir atau hukuman, tidaklah ada kecuali karena ada kesalahan dari salah satu pihak. Itupun sebagai teguran, agar yang bersalah tidak mengulanginya lagi, atau paling tidak untuk mengakui kesalahn yang sudah diperbuat.
Nah, jika lantaran mencubit murid saja; karena kesalahan murid yaitu tidak mau sholat berjamaah dan nongkrong di pinggir kali, seorang guru disidang kemudian dipenjara. Atau dipenjara hanya karena mencukur rambut muridnya yang gondrong –dan si dalam aturan sekolah adanya larangan rambut gondrong -. atau masih banyak kasus-kasus yang serupa.
Saya tidak tau apakah moral bangsa ini sudah hilang, atau memang sengaja menghilangkannya ??. Padahal yang sudah mengenyam pendidikan yang tinggi, seperti Mahfudz MD di akun Tweeternya berkomentar: “Waktu saya sekolah dulu orangtua saya sering datang berterima kasih kepada guru jika guru menghukum saya. Sekarang moral rontok”. Bisa dijadikan barometer dalam pendidikan anak.
Ya, Itu dulu, ketika orang tua masih menyerahkan pendidikan anaknya secara sepenuh kepada sang guru. Kalau sekarang? Mungkin anda lebih tau jawabannya.
Setelah kita ketahui duduk perkaranya, marilah kita perhatikan pandangan Maqosid Syariah, yang merupakan bagian dari ilmu Ushul Fiqh. Tentunya di dalam menghukum anak didik mengandung mashlahah dan mafsadah. Mashlahah agar anak didik tersebut kembali berjalan pada jalur yang benar –dan itu merupakan salah satu dari tujuan pendidikan-. Adapun mafsadahnya, menyakiti fisik anak didik itu sendiri. Akan tetapi, jikalau kita perhatikan kesan dari para orang tua kita yang mengenyam pendidikan tahun 80-90 an, yang menerima sikap keras dari para guru, mereka dan orang tua mereka justru berterima kasih atas apa yang mereka dapatkan dari sikap keras tersebut. Karena jika tidak, mereka tak akan mendapatkan kesuksesan yang didapat di hari depan.
Bukan berarti saya setuju 100 % dengan sikap tersebut. Akan tetapi, hukuman itu ada sebab. Dan sebabnya secara umum adalah kesalahan yang tak dimaafkan oleh guru. Jadi, ya wajar saja jika sang guru memberi “pelajaran” kepada anak didiknya agar anak didiknya kembali sadar dan mentaati ajaran, didikan dan petuah dari guru.
Tentunya, dari sini terdapat mashlahah yang diharapkan oleh guru. Dan mashlahah ini tergolong mashlahah yang “rojihah” (yang unggul); karena jika tidak, maka anak didik akan masih dalam kesalahannya dan tidak mau berbenah diri, dan tak apalah jika sesekali sang guru memberikan hukuman yang sewajarnya kepada anak didik dan masih dalam koridor syariat dan ajarannya. Saya ulangi: “sesekali”. Dan memang biasanya anak didik akan sadar setelah mendapat hukuman.
Kecuali jika anak didik tergolong anak yang bandel, maka itu lain cerita. Ini jika dipandang dari segi penalaran logis (aqli), dan kita ingat syariat memberikan porsi yang besar dalam memahami serta mencetuskan sebuah hukum, sebagaimana banyak ayat-ayat yang menyinggung tentang peran akal manusia. [lihat: Al-Aql ‘Indal Ushuliyyin, Abdul Adhim ad-dib, hal 27-28]
Toh, memang dari dulu sudah menjadi sunnatullah bahwa guru menghukum muridnya, tapi dengan beberapa batasan-batasan yang berlaku. Saya akan kutip beberapa hadist yang menejelaskan tentang “hukuman” yang bertujuann untuk mendidik.
Rasulullah saw bersabda: “tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk memukul lebih dari sepuluh pukulan, kecuali di dalam hadd/pelanggaran” HR. Al-Bukhori, Muslim, Ahmad, dan al-Baihaqi. Juga di dalam hadist lain:
“Mendidik anak dengan memukul tiga pukulan, jika melebihi itu, maka akan dibalas di hari kiamat kelak” HR. At-Tirmidzi.
Imam Muhammad bin Sahnun –murid imam Malik- memaparkan: “tidak apa jika seorang guru memukul anak didiknya atas dasar kemanfaatan dibalik pukulan tersebut” [Adaabul Mu’aliimin, Muhammad bin Sahnun, hal 89], tapi dengan batasan tidak lebih dari 3, dan tidak menyebabkan luka. Dan banyak ulama yang menyatakan bahwa: “kadar hukuman tergantung pada kesalahan yang diperbuat” (al-adab ala qodr al-dzanb) [Ibid, hal 94]
Saya kutipkan juga fatwa imam Malik ra. bahwa, seorang guru jika memukul anak didiknya –karena kesalahan muridnya-, sampai-sampai tangannya patah, maka wajib ganti rugi. [ibid, hal 136]
Dari fatwa ini, dapat saya simpulkan bahwa seorang pendidik sudah seharusnya menyesuaikan hukuman atas kesalahan muridnya. Dan jangan “terlalu” parah dalam menghukum, hendaknya menghukum dengan “sewajarnya”. Karena dalam pembahasan ta’zir dalam literatur fiqh adanya larangan menghukum jika sampai pada hudud/hukuman yang telah ditentukan oleh syariat. Dan saya sangat mendukung jika seorang guru boleh menghukum anak didiknya, tentunya dalam taraf kewajaran.
Penulis: Dewi Wulandari, S.Pd.I., MM
Dosen STAI Assalamiyah Serang Banten
Dosen STAI Assalamiyah Serang Banten