Salah satu indikator orang Indonesia cenderung agamis itu karena ketaatan atas perintah agama, itu dipengaruhi oleh pendidikan pesantren. I...
Salah satu indikator orang Indonesia cenderung agamis itu karena ketaatan atas perintah agama, itu dipengaruhi oleh pendidikan pesantren. Ini pandangan orang sekarang seperti itu, bahkan di luar pesantren, beberapa dauroh-dauroh di kampus telah massif bergerak sejak memulainya strategi dakwah Pak Moh Natsir (tokoh Masyumi dan mantan Perdana Menteri RIS), sekitar bilangan 70-an, sekaligus penanda awal berdirinya Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), kelanjutan perjuangan ideologis yang puritan dari tokoh-tokoh Masyumi, pasca tertolaknya Masyumi dalam kompetisi politik awal rezim Orde Baru berkuasa.
Doktrin fundamentalisme Islam, terus disalurkan lewat institusi kampus oleh LDII bentukan Dr. H. Moh Natsir dengan membentuk jejaring LDK (lembaga dakwah kampus). Dari sini judul Jilbab dan Cadar mulai merangkak perlahan-lahan, sebagai babak baru citra Islam fundamentalis, dengan jargon "hijrah". Beberapa tulisan yang saya baca sebagai pembanding, untuk kemudian ingin mengurai darimana fenomena hijrah ini dihembuskan.
Semboyan "Islam kaffah" dalam persepektif kaum fundamentalis adalah terwujudnya negara Islam (sistem teokrasi), penegakan hukum Allah SWT sebagai kata kunci dalam mengenali tujuannya. Islam sebagai agama, bagi mereka adalah totalitas penegakan secara wilayah kekuasaan. Strukutralisasi agama, bagi kalangan fundamentalis adalah jihad. Pan-Islamisme bisa tampak berhasil, jika terwujud sebuah tatanan negara Islam. Ini sama sekali bukan tengah mencontoh keberhasilan Republik Islam Iran dengan corak hukum negara adalah Islam Syi'ah.
Tapi, lebih karena terkuncinya pola fikir dan niatan hati mereka, bahwa jika bukan hukum Allah yang ditegakkan secara kaffah, maka adalah bedosa, dan menghakimi diluar paham mereka, sebagai yang sesat dan dicap kafir.
Penjelasan Terkait Jilbab
Simbol hijrah, yang saya lihat sebagai fenomena tersendiri, seolah jilbab, cadar, gamis, sorban, jubah, celana cingkrang dan jidat hitam adalah paling Islami.
Jilbab, selain tatapan baru sekaligus karakter syar'i yang menggantikan kerudung bagi muslimah era sebelum abad 21, dengan hanya nyampir di kepala dan menyisakan rambut depan tetap terlihat. Kira-kira model PM Pakistan Bennazir Butho adalah contoh model busana muslimah era 80-an hingga 90-an.
Apa yang membedakan antara jilbab dan kerudung, sebenarnya secara fungsi sama untuk menutupi aurat, namun secara model memang beda.
Lalu kenapa ini lantas diperdebatkan? Seolah yang tidak berjilbab disebut tidak muslimah, seolah keislamanya diragukan. Apakah ada kreterium kesalehan seseorang cukup dari simbol agama. Bukankah yang dimuliakan disisi Allah mereka yang bertaqwa.
Ayat di bawah ini menjadi rujukan kita memahami kedudukan jilbab, apakah perintah atau anjuran, bahkan apakah sekedar nasihat. Sebab tidak semua ayat di al-Quran berisi ayat-ayat hukum ( ayatu al-muhkamat ).
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
Artinya: Katakanlah kepada wanita yang beriman: "hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya ( Q.S An-Nur : 31 ).
Menela'ah ayat di atas, saya kira perlu membuka tafsirnya. Saya awali dari kutipan dibawah ini diambil dari tafsir al-Tahrir.
فَمَعْنَى مَا ظَهَرَ مِنْهَا: مَا كَانَ مَوْضِعُهُ مِمَّا لَا تَسْتُرُهُ الْمَرْأَةُ وَهُوَ الْوَجْهُ وَالْكَفَّانِ وَالْقَدَمَانِ
Artinya, “Maka berdasarkan penafsiran perhiasan dalam ayat adalah perhiasan yang dapat diusahakan manusia, maka makna perhiasan yang tampak dari wanita adalah perhiasan yang tempatnya tidak ditutup oleh wanita, yaitu wajah, keuda telapak tangan dan kedua telapak kaki,” (Ibnu ‘Asyur, Tafsir At-Tahrir, juz XX ).
Ibnu ‘Asyur menafsirkan frasa atau kalimat وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ sebagai berikut:
وَالْمَعْنَى: لِيُشَدِّدْنَ وَضْعَ الْخُمُرِ عَلَى الْجُيُوبِ، أَيْ بِحَيْثُ لَا يَظْهَرُ شَيْءٌ مِنْ بَشَرَةِ الْجِيدِ.وَالْبَاءُ فِي قَوْلِهِ:بِخُمُرِهِنَّ، لِتَأْكِيدِ اللُّصُوقِ مُبَالَغَةً فِي إِحْكَامِ وَضْعِ الْخِمَارِ عَلَى الْجِيبِ زِيَادَةً عَلَى الْمُبَالَغَةِ الْمُسْتَفَادَةِ مِنْ فِعْلِ: يَضْرِبْنَ. وَالْجُيُوبُ: جَمْعُ جَيْبِ بِفَتْحِ الْجِيمِ وَهُوَ طُوقُ الْقَمِيصِ مِمَّا يَلِي الرِّقَبَ. وَالْمَعْنَى:وَلْيَضَعْنَ خُمُرَهُنَّ عَلَى جُيُوبِ الْأَقْمِصَةِ بِحَيْثُ لَا يَبْقَى بَيْنَ مُنْتَهَى الْخِمَارِ وَمَبْدَاءِ الجَيبِ مَا يَظْهَرُ مِنْهُ الْجِيدُ.
Artinya, “Arti frasa وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ adalah ‘Hendaklah wanita-wanita beriman itu meletakkan kerudungnya di kerah gamisnya secara kokoh’. Maksudnya sekira kulit lehernya tidak tampak sedikitpun. Huruf Ba’ dalam kata: بِخُمُرِهِنَّ berfungsi menguatkan pelekatan kerudung, sebagai mubalaghah dalam mengukuhkan peletakan kerudung pada kerah gamis, sebagai tambahan atas mubalagah yang sudah ada pada fi’il: يَضْرِبْنَ. Sedangkan kata: جُيُوبِ merupakan bentuk jamak dari kata: جَيْبِ dengan huruf jim dibaca fathah, yang artinya adalah kerah baju gamis yang dekat dengan leher.
وَالْمَعْنَى: لِيُشَدِّدْنَ وَضْعَ الْخُمُرِ عَلَى الْجُيُوبِ، أَيْ بِحَيْثُ لَا يَظْهَرُ شَيْءٌ مِنْ بَشَرَةِ الْجِيدِ.وَالْبَاءُ فِي قَوْلِهِ:بِخُمُرِهِنَّ، لِتَأْكِيدِ اللُّصُوقِ مُبَالَغَةً فِي إِحْكَامِ وَضْعِ الْخِمَارِ عَلَى الْجِيبِ زِيَادَةً عَلَى الْمُبَالَغَةِ الْمُسْتَفَادَةِ مِنْ فِعْلِ: يَضْرِبْنَ. وَالْجُيُوبُ: جَمْعُ جَيْبِ بِفَتْحِ الْجِيمِ وَهُوَ طُوقُ الْقَمِيصِ مِمَّا يَلِي الرِّقَبَ. وَالْمَعْنَى:وَلْيَضَعْنَ خُمُرَهُنَّ عَلَى جُيُوبِ الْأَقْمِصَةِ بِحَيْثُ لَا يَبْقَى بَيْنَ مُنْتَهَى الْخِمَارِ وَمَبْدَاءِ الجَيبِ مَا يَظْهَرُ مِنْهُ الْجِيدُ.
Artinya, “Arti frasa وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ adalah ‘Hendaklah wanita-wanita beriman itu meletakkan kerudungnya di kerah gamisnya secara kokoh’. Maksudnya sekira kulit lehernya tidak tampak sedikitpun. Huruf Ba’ dalam kata: بِخُمُرِهِنَّ berfungsi menguatkan pelekatan kerudung, sebagai mubalaghah dalam mengukuhkan peletakan kerudung pada kerah gamis, sebagai tambahan atas mubalagah yang sudah ada pada fi’il: يَضْرِبْنَ. Sedangkan kata: جُيُوبِ merupakan bentuk jamak dari kata: جَيْبِ dengan huruf jim dibaca fathah, yang artinya adalah kerah baju gamis yang dekat dengan leher.
Jadi, makna frasa وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ secara lengkap adalah ‘Hendaklah wanita-wanita beriman melekatkan kerudungnya pada kerah gamisnya, sekira tempat di antara ujung kedurung dan pangkal kerah gamisnya tidak menyisakan celah yang dari situ jenjang lehernya menjadi tampak/kelihatan,’” (Ibnu ‘Asyur, Tafsir At-Tahrir, juz XVIII ).
Hal ini dikutip oleh At-Thahir Al-Haddad:
إِنَّ الَّذِي يَجِبُ سَتْرُهُ مِنَ الْمَرْأَةِ الْحُرَّةِ هُوَ مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ عَنْ غَيْرِ الزَّوْجِ، وَمَا عَدَا الْوَجْهَ وَالْأَطْرَافَ عَنِ الْمَحَارِمِ. وَالْمُرَادُ بِالْأَطْرَافِ: اَلذِّرَاعُ وَالشَّعْرُ وَمَا فَوْقَ النَّحْرِ. وَيَجُوزُ لَهَاأَنْ تُظْهِرَ لِأَبِيهَا مَا لَا تُظْهِرُهُ لِغَيْرِهِ مِمَّا عَدَا الْعَوْرَةَ الْمُغَلَّظَةِ. وَكَذَا لِابْنِهَا. وَلَا يَجِبُ عَلَيْهَا سَتْرُ وَجْهِهَا وَلَا كَفَّيْهَا عَنْ أَحَدٍ مِنَ النَّاسِ.
Artinya, “Sungguh bagian tubuh dari wanita merdeka yang wajib ditutup adalah bagian tubuh di antara pusar dan lutut di hadapan suaminya; dan selain wajah dan athraf atau berbagai bagian ujung tubuhnya di hadapan mahramnya. Yang dimaksud athraf adalah lengan, rambut dan bagian atas dada. Di hadapan ayahnya ia boleh menampakkan bagian tubuh yang tidak boleh ditampakkan kepada selainnya, kecuali aurat mughallazhah (dua kemaluan). Demikian pula untuk anaknya. Bagi wanita merdeka tidak wajib menutup wajah dan kedua telapak tangannya di hadapan siapapun,” (At-Thahir Al-Haddad, Imra’atuna fis Syari’ah wal Mujtama ).
Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitabnya tafsir Jalalain. Kurang lebihnya jika diterjemahkan berikut ini.
Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya) daripada hal-hal yang tidak dihalalkan bagi mereka melihatnya (dan memelihara kemaluannya) dari hal-hal yang tidak dihalalkan untuknya (dan janganlah mereka menampakkan) memperlihatkan (perhiasannya, kecuali yang biasa tampak daripadanya) yaitu wajah dan dua telapak tangannya, maka kedua perhiasannya itu boleh dilihat oleh lelaki lain, jika tidak dikhawatirkan adanya fitnah".
Demikianlah menurut pendapat yang membolehkannya. Akan tetapi menurut pendapat yang lain hal itu diharamkan secara mutlak, sebab merupakan sumber terjadinya fitnah. Pendapat yang kedua ini lebih kuat demi untuk menutup pintu fitnah. dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, hendaknya mereka menutupi kepala, leher dan dada mereka dengan kerudung atau jilbabnya (dan janganlah menampakkan perhiasannya) perhiasan yang tersembunyi, yaitu selain dari wajah dan dua telapak tangan (kecuali kepada suami mereka) bentuk jamak dari lafal بعل artinya suami (atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putra-putra saudara-saudara mereka, atau putra-putra saudara-saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam atau budak-budak yang mereka miliki) diperbolehkan bagi mereka melihatnya kecuali anggota tubuh antara pusar dan lututnya, anggota tersebut haram untuk dilihat oleh mereka selain dari suaminya sendiri.
Dikecualikan dari lafal نساءهن, yaitu perempuan-perempuan yang kafir, bagi wanita Muslimat tidak boleh membuka aurat di hadapan mereka. Termasuk pula ke dalam pengertian ما ملكت ايمانهم , yaitu hamba sahaya laki-laki miliknya (atau pelayan-pelayan laki-laki) yakni pembantu-pembantu laki-laki (yang tidak) kalau dibaca kasrah غير berarti menjadi sifat dan kalau dibaca dhomah غير berarti menjadi استثناء (mempunyai keinginan) terhadap wanita (dari kalangan kaum laki-laki) seumpamanya penis masing-masing tidak dapat bereaksi (atau anak-anak) lafal الطفل bermakna jamak sekalipun bentuk lafalnya tunggal (yang masih belum mengerti) belum memahami (tentang aurat wanita) belum mengerti persetubuhan, maka kaum wanita boleh menampakkan aurat mereka terhadap orang-orang tersebut selain antara pusar dan lututnya.
Selanjutnya " janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan " yaitu berupa gelang kaki, sehingga menimbulkan suara gemerincing. Kemudian " dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman) dari apa yang telah kalian kerjakan" yaitu sehubungan dengan pandangan yang dilarang ini dan hal-hal lainnya yang dilarang (supaya kalian beruntung. maksudnya selamat dari hal tersebut karena tobat kalian diterima. Pada ayat ini ungkapan مذكر mendominasi atas مؤنث.
Pertimbangan Hukum Terkait Jilbab
Kendati para ulama berbeda pendapat dalam menentukan beberapa anggota tubuh yang tergolong aurat—sebagaimana telah dijelaskan pada dua tulisan sebelumnya, perempuan muslimah yang baik hendaknya tidak mengikuti pendapat yang ringan, kecuali dalam kondisi yang dibutuhkan. Hal ini dilakukan untuk menghindari tasahul (ceroboh/meremehkan) akan urusan agama. Lebih-lebih berkaitan dengan interaksi lawan jenis yang rawan menimbulkan dampak kerusakan yang berbahaya. Imam An-Nawawi berkata:
وَمِنْ التَّسَاهُلِ أَنْ تَحْمِلَهُ الْأَغْرَاضُ الْفَاسِدَةُ عَلَى تَتَبُّعِ الْحِيَلِ الْمُحَرَّمَةِ أَوْ الْمَكْرُوهَةِ—إلى أن قال—وَأَمَّا مَنْ صَحَّ قَصْدُهُ فَاحْتَسَبَ فِي طَلَبِ حِيلَةٍ لَا شُبْهَةَ فِيهَا لِتَخْلِيصٍ مِنْ وَرْطَةِ يَمِينٍ وَنَحْوِهَا فَذَلِكَ حَسَنٌ جَمِيلٌ
“Termasuk tasahul adalah mencari-cari keringanan/muslihat dengan cara yang haram atau makruh (agar dapat melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan) dengan didorong oleh tujuan-tujuan yang tidak benar. Namun jika ada seseorang yang mencari dan melakukan keringanan/muslihat dengan tujuan yang dapat dibenarkan, semisal untuk membebaskan diri dari posisi sulit yang disebabkan sumpahnya sendiri, maka perbuatannya adalah perbuatan yang baik.” (Al-Majmu’, vol. 1, hlm. 79-80).
Demikian pula tidak boleh ceroboh dalam menilai perilaku orang lain dalam persoalan menutup aurat. Tidak gegabah menyalahkan pihak lain yang tidak sepaham, sepanjang masih ditemukan rujukannya dalam al-madzahib al-arba’ah. Hal ini didasarkan pada sebuah kaidah fikih:
لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ
“Tidak boleh mengingkari perkara yang masih dipertentangkan hukumnya. Hanya perkara yang sudah disepakati yang boleh diingkari/ditolak.” (Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nazhair, hlm. 158).
Beberapa keterangan yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu pun ulama empat mazhab yang memperbolehkan membuka kepala, leher dan rambut yang masih dalam batas kepala. Perbedaan pendapat terjadi dalam beberapa anggota tubuh tertentu meliputi wajah, telapak tangan, lengan, telapak kaki dan rambut kepala yang terurai ke bawah (keluar dari area kepala). Untuk beberapa anggota tubuh tersebut, status auratnya masih diperdebatkan para ulama. Pendapat yang menyimpang dari batasan aurat versi al-madzahib al-arba’ah sebagaimana uraian di atas, tidak dapat dibenarkan dan tidak boleh diikuti.
Walhasil, dalam kewajiban menutup aurat, perempuan diperbolehkan memakai model busana apapun. Hal ini bisa berbeda-beda sesuai tradisi yang berlaku. Memakai busana apapun, selama menutup aurat dengan benar, sudah cukup untuk menggugurkan kewajiban menutup aurat.
Namun, selain kewajiban menutup aurat, perempuan juga wajib menjauhi setiap pakaian atau aksesoris lain yang diduga dapat menimbulkan hasrat (fitnah) bagi lawan jenis, seperti pakaian ketat yang memikat perhatian laki-laki, parfum yang semerbak dan lain sebagainya. Tidak hanya itu, bahkan bagian tubuh yang bukan aurat pun wajib ditutupi juga bila khawatir menimbulkan fitnah/syahwat kepada laki-laki nonmahram yang memandangnya.
Penutup
Terkait jilbab, ada baiknya tidak dibawa pada ranah teologis sehingga mendeskriditkan yang tidak berjilbab sebagai yang keluar dari keimanan. Sebab jilbab masih dalam ikhtilaf ulama. Itu artinya keluasan pandangan hukumnya dalam perspektif fiqihiyah tidak serta merta adalah kelonggaran untuk menutup aurat atau tidak. Intinya adalah menutup aurat. Meski batasan aurat di dalam sholat dan di luar sholat masih ikhtilaf.
Sekedar ajakan, bahwa persoalan jilbab adalah ringan dari kewajiban utamanya menghindari fitnah dan dorongan syahwat lawan jenis. Hingga dengan menutup aurat adalah sikap kehati-hatian sekaligus perintah untuk menutupinya.
Penulis: Hamdan Suhaemi
Wakil ketua PW GP Ansor Banten
Ketua PW Rijalul Ansor Banten
Ketua PW Rijalul Ansor Banten
COMMENTS