Interlude, Kopi dan Humor
0 menit baca
Beberapa tahun belakangan ini, otak kita melulu diisi soal-soal politik. Politik sepertinya seksi untuk selalu dibahas. Dari ruang publik hingga kamar rumah. Entah apa yang menarik, padahal isinya adalah rebutan kekuasaan, keculasan, hipokrit, jegal menjegal, adu domba dan fitnah. Hanya saja politik kebangsaan jauh lebih memilih kesetiaan pada ideologi negara, keajegan konstitusi, dan keadilan rakyat. Ini, justeru yang dimiliki oleh orang yang tidak tercebur di politik praktis.
Celakanya, kaum agama (khusus muslim) meninggalkan basis edukasi dan pengabdiannya di jalur pencerahan agama dan adab, beralih memikirkan, mencampuri, menekan, mengurusi, mendebatkan isu-isu politik. Ini saya kira kerjaan para politisi. Tapi mereka merasa paling bisa, paling mengerti politik. Padahal tak secuil pun pengalamannya di partai politik. Partai politik itu tentunya lembaga politis yang secara konvensional telah menjadi wadah partisipasi orang dalam upaya dan strategi meraih kekuasaan.
Artis, merangsek ke ranah politik dengan fakta beberapa agenda pemilu, seperti Pileg, dan Pilkada. Mereka keluar dari zona nyamanya atau memang sudah tidak laku di dunia entertain. Kemungkinan-kemungkinan itu bisa jadi tesis awal dalam melihat fenomena ini.
Biar pun ada ungkapan, politik itu adalah seni dalam mengatur kekuasaan dan kekuatan. Hingga manusia pada dasarnya adalah "manusia politik". Tapi, ini saya punya asumsi bahwa politik tidak akan menemukan jalannya jika jauh dari biaya politik. Biaya politik tidak lagi pada kegiatan-kegiatan politis, tapi lebih kepada kebutuhan-kebutuhan subyektif.
Untungnya, kini tentara dan aparat penegak hukum tidak lagi ikut-ikut politik. Dwi fungsi ABRI tempo dulu di era Presiden Soeharto, saya anggap "kecelakaan sejarah". Sebab jika mengacu pada Maklumat X dari Wakil Presiden Moh. Hatta (sang proklamator) 1946 setelah berubah RIS, kedaultan negara ada di tangan rakyat, maka lembaga aspirasi politik sejatinya ya adalah partai politik.
Interlude, adalah candaan-candaan sambil "nyeruput" hitamnya kopi, hidup jadi indah dalam suasana perbedaan, dalam suasana persaudaraan, dan dalam semangat persatuan. Kita perlu selingan (interlude) dari hingar bingarnya roda politik yang kian panas dan merubuhkan tatanan sosial yang diprinsipi nilai-nilai luhur, dan lokal wisdom. Sudahlah....!!! kita sejenak hentikan obrolan, tulisan, ucapan yang terkait politik. Mari, kita memulainya dengan interlude (selingan).
Kita, yang seniman berkaryalah terus, ukir bilai-nilai artistik, dan majukan kebudayaan Indonesia. Kita, yang musisi ayolah gubah atau tulis lirik-lirik lagu yang mampu damaikan suasana. Kekitaan, kebangsaan, dan keindonesiaan.
Kita pula yang guru, sudahilah ucapan-ucapan, pernyataan-pernyataan politik, yang memang bukan ranahnya. Ini interlude adalah diksi yang paling "gemulai" untuk dibiasakan terucap di publik untuk kemudian mengambil pengaruhnya untuk tidak lagi diseret-seret oleh kepentingan politik. Poltik itu kadang kotor, tapi dengan politiklah negara direncanakan.
Mengembalikan suasana dulu adalah kebutuhan, yakni kondusifitas seluruh anak bangsa. Humor, sisi lain yang terpenting dalam jagad pergaulan manusia. Tertawa adalah proses waras.
Penulis: Hamdan Suhaemi
Wakil Ketua PW Ansor Banten
Ketua PW Rijalul Ansor Banten