SwaraBanten.com - Kasus dugaan pengeroyokan dan penyekapan yang kini ditangani Polsek Cikande menemui babak baru. Diberitakan sebelumnya ...
SwaraBanten.com - Kasus dugaan pengeroyokan dan penyekapan yang kini ditangani Polsek Cikande menemui babak baru. Diberitakan sebelumnya dalam portal berita, Polsek Cikande Polres Serang berhasil ungkap kasus penyekapan disertai penganiayaan berawal dari hutang piutang sesama rekan bisnis kemiri, Selasa (18/08/2020).
Menyikapi pemberitaan yang sudah terpublish tersebut, Faturohman dari LKBH Sinar Madani Banten, selaku kuasa hukum terduga pelaku pengeroyokan dan penyekapan, mengatakan bahwa peristiwa yang sebenarnya adalah korban mengambil barang berupa kemiri, senilai Rp 136 juta. Dari nilai tersebut korban baru membayar sebesar Rp 46 juta
"Pihak keluarga AT menyerahkan kasus tersebut dan menguasakan kepada LKBH Sinar Madani Banten. Maka, kami perlu menjelaskan ke publik duduk perkara sebenarnya," kata Faturahman, melalui press release yang diterima BantenEkspose.com, Rabu (26/08/2020)
Diterangkan Faturohman, sisa tagihan sebesar Rp 90 juta, korban berjanji akan dibayarkan. Namun sampai saat ini korban tidak ada itikad baik, dan sudah berulang kali ditagih, tetap saja tidak membayar uang sebesar 90 juta tersebut.
"Karena korban tidak menunjukan itikad baik tersebut, pelaku menjemput korban dikontrakannya dan membawa ke rumah pelaku. AT akhirnya kesal dan meluangkan amarahnya dengan memukul wajah HP," terang Faturohman.
Faturohman menuturkan, terkait adanya pemberitaan penyekapan dalam portal berita tersebut, pihaknya sangat menyayangkan, karena faktanya tidak demikian.
"Faktanya, bahwa HP tidak disekap. Hanya HP tidak boleh terlebih dahulu meninggalkan rumah AT, sebelum melunasi sisa pembayaran yang 90 juta tersebut. Selama di rumah AT, HP diberikan makan dan minum, kemudian ada adik korban yang menemani," beber Faturohman.
Masih menurut Faturohman, setelah satu hari HP dibawa kerumah AT, kemudian AT berinisiatif untuk memanggil Babinsa dan Bhabinkamtibmas serta Kepala Desa Penamping, agar permasalahan ini tidak menemui jalan buntu. Saat itu, kepala Desa tidak hadir ke rumah AT.
"Setelah melakukan pertemuan dengan aparat setempat, sorenya AT ditangkap atas pelaporan penyekapan dan penganiayaan," ucap Faturohman.
Faturohman juga mencontohkan, ada tindak pidana di suatu kecamatan A, maka laporan hal tersebut ke Kepolisian tingkat Sektor (POLSEK) dimana tindak pidana itu terjadi. Akan tetapi, dapat dibenarkan/dibolehkan untuk melaporkan hal tersebut ke wilayah administrasi, yang berada diatasnya, misal melapor ke POLRES atau POLDA.
"Garis besarnya adalah, bahwa kewenangan SEKTOR (POLSEK) melakukan proses hukum, harus berdasarkan wilayah hukum dimana tindak pidana itu dilakukan, sesuai aturan tersebut," tutup Faturohman. (rls/red)
Menyikapi pemberitaan yang sudah terpublish tersebut, Faturohman dari LKBH Sinar Madani Banten, selaku kuasa hukum terduga pelaku pengeroyokan dan penyekapan, mengatakan bahwa peristiwa yang sebenarnya adalah korban mengambil barang berupa kemiri, senilai Rp 136 juta. Dari nilai tersebut korban baru membayar sebesar Rp 46 juta
"Pihak keluarga AT menyerahkan kasus tersebut dan menguasakan kepada LKBH Sinar Madani Banten. Maka, kami perlu menjelaskan ke publik duduk perkara sebenarnya," kata Faturahman, melalui press release yang diterima BantenEkspose.com, Rabu (26/08/2020)
Diterangkan Faturohman, sisa tagihan sebesar Rp 90 juta, korban berjanji akan dibayarkan. Namun sampai saat ini korban tidak ada itikad baik, dan sudah berulang kali ditagih, tetap saja tidak membayar uang sebesar 90 juta tersebut.
"Karena korban tidak menunjukan itikad baik tersebut, pelaku menjemput korban dikontrakannya dan membawa ke rumah pelaku. AT akhirnya kesal dan meluangkan amarahnya dengan memukul wajah HP," terang Faturohman.
Faturohman menuturkan, terkait adanya pemberitaan penyekapan dalam portal berita tersebut, pihaknya sangat menyayangkan, karena faktanya tidak demikian.
"Faktanya, bahwa HP tidak disekap. Hanya HP tidak boleh terlebih dahulu meninggalkan rumah AT, sebelum melunasi sisa pembayaran yang 90 juta tersebut. Selama di rumah AT, HP diberikan makan dan minum, kemudian ada adik korban yang menemani," beber Faturohman.
Masih menurut Faturohman, setelah satu hari HP dibawa kerumah AT, kemudian AT berinisiatif untuk memanggil Babinsa dan Bhabinkamtibmas serta Kepala Desa Penamping, agar permasalahan ini tidak menemui jalan buntu. Saat itu, kepala Desa tidak hadir ke rumah AT.
"Setelah melakukan pertemuan dengan aparat setempat, sorenya AT ditangkap atas pelaporan penyekapan dan penganiayaan," ucap Faturohman.
Kalaupun penyekapan itu terjadi, lanjut Faturohman, locusnya di Penamping yang masuk kedalam wilayah hukum Polsek Pamarayan. Tapi mengapa diproses di Polsek Cikande? "Hal ini nanti akan kami tanyakan kepada penyidik terkait kewenangan," ujar Faturohman.Ditambahkan Faturohman, berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2007 tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia (PP 23/2007), Untuk wilayah administrasi kepolisian, daerah hukumnya dibagi berdasarkan pemerintahan daerah dan perangkat sistem peradilan pidana terpadu (Pasal 2 ayat [2] PP 23/2007).
Faturohman juga mencontohkan, ada tindak pidana di suatu kecamatan A, maka laporan hal tersebut ke Kepolisian tingkat Sektor (POLSEK) dimana tindak pidana itu terjadi. Akan tetapi, dapat dibenarkan/dibolehkan untuk melaporkan hal tersebut ke wilayah administrasi, yang berada diatasnya, misal melapor ke POLRES atau POLDA.
"Garis besarnya adalah, bahwa kewenangan SEKTOR (POLSEK) melakukan proses hukum, harus berdasarkan wilayah hukum dimana tindak pidana itu dilakukan, sesuai aturan tersebut," tutup Faturohman. (rls/red)
COMMENTS