Tradisi Pesantren, Ilmu Agama dan Kejujuran
0 menit baca
![]() |
Pesantren: Lembaga pendidikan berbasis agama (Foto: Dok. Hamdan) |
Kedua golongan itu bertujuan sama, yaitu pemebebasan dari penjajahan Belanda. Ulama nusantara yang yang bermukim di Hijaz atau ulama yang tengah menuntut ilmu disana, sebenarnya tergugah oleh semangat menghidupkan ilmu-ilmu Islam sebagai kelanjutan dari tradisi pengajaran ilmu-ilmu keislaman, yang sudah lama dibangun oleh Hujjatul Islam Imam Al Ghozali di abad 12 M. Disamping pengaruh kuat dari beberapa figur sentral antara lain Syaikh Nawawi Al Bantani, Syaikh Ahmad Khatib Minangkabawi, Syaikh Mahfudz Termas, sebagai lokomotif intelektualisme muslim nusantara.
Setelah kembali ke tanah air, banyak diantara ulama mendirikan pesantren. Pendirian pesantren oleh ulama nusantara yang baru pulang dari negeri Hijaz tersebut bukan sekedar sebagai tempat pendidikan ilmu-ilmu Islam semata dengan ciri khasnya sebagai lembaga pendidikan berbasis agama (educational intitution based relegion), mereka pun menggunakan pesantren sebagai wadah perjuangan dalam upaya melawan arus westernisasi pendidikan, yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda dalam upaya pembelokan dan mereduksi potensi perlawanan oleh kaum pribumi.
Gelombang kedua, kelanjutan dari lokomotif intelektual muslim Nusantara di abad 20 dilanjutkan oleh figur Syaikhona Kholil Bangkalan, Syaikh Hasyim Asy'ari Tebuireng, Syaikh Asnawi Caringin, Syaikh Ahmad Dakhlan Kauman, Syaikh Mubarok Singaparna, Syaikh Ahmad Bakri Sempur, Syaikh Syatibi Gentur, Syaikh Nahrawi (Mbah Dalhar), Syaikh Yasin Al Fadani, Syaikh Muhammad Arsyad Thalib Lubis, Syaikh Syihabudin Sihab.
Mereka berperan penting dalam upaya menghidupkan tradisi intelektualisme Islam dengan menulis risalah-risalah, syarah, matan, nadhoman, dan taqriran yang secara turun temurun diwariskan oleh ulama-ulam sebelumnya. Baik mereka sebagai kiai pesantren, mereka pula sebagai pemimipin umat.
Posisi Pesantren
Hakikatnya pendidikan pesantren, menurut Dr. KH. Hamid Fahmy Zarkasyi (generasi ketiga pengasuh Pondok Modern Gontor) adalah tidak lepas dari Islam, dan pendidikan pesantren bermula tidak lama setelah Islam masuk ke Indonesia. Alasannya sangat sederhana. Islam, sebagai agama dakwah, disebarkan secara efektif melalui proses transmisi ilmu dari ulama ke masyarakat (tarbiyah wa ta’lim, au ta’dib). Proses ini di Indonesia berlangsung melalui pesantren. Hal ini dapat dibuktikan di antaranya dari metode pembelajaran di pesantren. Metode sama’ (audit, menyimak), metode syarh (penjelasan ulama) dengan secara halaqah, metode tahfiz (hafalan) dan lain-lainnya, yang terdapat terdapat di pesantren berasal dari tradisi intelektual Islam.
Hanya saja, istilah yang digunakan untuk sistem ini tidak sepenuhnya merujuk kepada kata bahasa Arab. Sebutan untuk pelajar yang mencari ilmu bukan murid seperti dalam tradisi sufi, atau thalib atau tilmidh seperti dalam bahasa Arab, tapi santri yang berasal dari bahasa sanskrit (san: orang baik, tra:suka menolong). Lembaga tempat belajar itupun kemudian mengikuti akar kata santri dan menjadi pe-santri-an atau “pesantren”.
Di Sumatera, pesantren di sebut rangkang atau meunasah atau surau. Ini menunjukkan pendekatan dakwah para ulama yang permisif terhadap tradisi lokal. Di Malaysia dan Thailand lembaga ini dikenal dengan nama pondok, merujuk kepada bahasa Arab funduk, yang berarti hotel atau penginapan yang maksudnya asrama. Jadi meskipun istilah “pesantren” tidak memiliki akar kata dari tradisi Islam, tapi substansi pendidikannya tetap Islam.
Keberadaan kiai atau ulama sebagai tokoh otoritatif, peserta didik, asrama dan sarana pendidikan, pendidikan agama Islam dan masjid sebagai pusat kegiatan kependidikan adalah unsur-unsur penting pendidikan pesantren yang sejatinya adalah juga unsur pendidikan Islam. Keempat unsur yang melingkupi santri ini dapat dianggap sebagai catur-pusat pendidikan. Ini lebih lengkap dibanding tri-pusat pendidikan (sekolah, masyarakat, keluarga), yang terdapat pada sistem sekolah pada pendidikan umum.
Tradisi Pesantren
Keberlangsungan tradisi pesantren sejak awal keberadaanya hingga kini masih bertahan, sebab tradisi dalam pesantren tersebut dikuatkan oleh sistem sanad ilmu dari guru ke murid, dari murid yang jadi guru kemudin ke murid berikutnya. Begitu seterusnya, semacam mata rantai ilmu yang tak terputus. Ini juga disebut sebagai substansi pesantren an sich.
Disamping keberlangsungan pengajaran ilmu-ilmu agama, pesantren pun menjadi wadah penggodokan bagi santri untuk bisa hidup mandiri, untuk bisa menemukan karakternya sendiri baik pada disiplin ilmu maupun sikap dan prinsip hidup, tentunya dengan pengajaran akhlaq yang diperankan oleh kiai sebagai figur sentral baik sebagai guru, sebagai orang tua seekaligus sebagai panutan hidup.
Santri selalu diajarkan tatakrama, dibiasakan bersikap rendah hati, dibiasakan jujur berkata dan bersikap, dibiasakan pula dengan sikap egaliter (memandang sama kepada manusia). Santri selalu akan sami’na wa atho’na (mendengar dan patuh) pada kiai dengan cermin hidup yang sederhana, jujur dan tulus. Ini bagi santri adalah pelajaran keteladanan yang tak terhingga yang sulit ditemukan di luar pesantren. Santri yang terdidik dalam tradisi tersebut akan dibawa sebagai sikap hidup.Hubungan batin santri kiai adalah juga hubungan anak dan orang tua. Terhadap sikap dan tutur kata anak tersebut selalu merasa terpantau oleh orang tuanya, ada rasa malu, ada rasa sungkan berbuat di luar kebiasaan kiai.
Hal yang aneh jika ada santri tidak persis sama mengikuti pri hidup kiai. Sebab itu kemudian menajadi sikap su’ul adab.
Kesimpulannya, pesantren dimanapun berada terlepas dari kategori modern atau salafi, pesantren sejatinya punya tradisi yang diprinsipi ajaran dan ilmu agama Islam yang kuat. Penerapan dan pengamalan adab atau akhlakul karimah di lingungkan pesantren menjadi potret dari suatu tradisi yang genuine (murni). Secara historis dan epistemologis tradisi pesantren tidak akan pernah melahirkan generasi yang cenderung koruptif, liar dan inkonsistensi ideologis.
Penulis: M. Hamdan Suhaemi