Sumber gambar: google Maps No trade with death No trade with arms Dispense the war Learn from the past (Sodom – Ausgebombt, ...
Sumber gambar: google Maps |
No trade with death
No trade with arms
Dispense the war
Learn from the past
(Sodom – Ausgebombt,
1989)
Menyoal tentang
Papua dan Papua Barat – bukan sebuah hal yang dinilai tabu saat mengimani
kemerdekaan dan memanusiakan manusia. Banyaknya populasi
manusia antara Nusantara dan Melanesia menuntut kedua hal tersebut. Namun,
apakah ketentuan-ketentuan dan regulasi akan membuahi restriksi bahkan
pertumpahan darah? Apakah perilaku kesatuan (institusi) mampu menghadang
pengetahuan generasi berikutnya?
Telah berlangsung
dalam kurun waktu 1 bulan kurang –kasus
ujaran rasisme di Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya. Akan tetapi hal
tersebut ternyata dinilai sebagai pelatuk yang memicu kerusuhan, beberapa hal
yang dinilai oleh beberapa pihak sebagai tindak kekerasan aparat, dan
pemblokiran jaringan internet.
Ones Suhuniap, mantan Sekertaris Jendral (Sekjen) –
Komite Nasional Papua Barat (KNPB) pernah mengutarakan statement –ia menganggap bahwa Indonesia telah
mengokupasi tanah cendrawasih sedari tahun 1961. Indonesia berencana untuk
mengikutsertakan Papua ke dalam tubuh republik berujung pada 15 Agustus 1962
terkait New York agreement. Ia menegaskan hal
tersebut, merupakan ajang
perebutan modal antara Amerika Serikat dengan Belanda.
George Junus Aditjondro dalam buku Cahaya
Bintang Kejora menuliskan: Papua yang kaya akan sumber daya alam, ternyata
mengandung kemiskinan di dalamnya. Hal itu terjadi pertama, akibat dari kebijakan ekonomi Republik Indonesia (RI) yang
tidak berorientasi pada rakyat Papua, melainkan sebagai pelayan invasi kapital
ke berbagai pelosok darat dan laut Papua. Kedua,
kenyataan itu tidak terjadi karena tidak pernah dihargainya teknik-teknik
bercocok tanam dan kepemilikan tanah rakyat Papua oleh pengambil kebijakan, nun jauh di
Jakarta.
Ia meredaksikan
wacana, jika ekonomi rakyat
Papua hanyalah pihak yang ditentukan, bukan yang menentukan. Terangkat dari
pekik-pekik kemerdekaan yang dilontarkan sebagian rakyat Papua.
Filep Karma –salah satu aktivis pembebasan Papua Barat
dinilai paling vokal. Ia ditangkap pada tanggal 10 Desember 2004 –dibui selama 10 tahun. Dirinya selalu
memermasalahkan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, dimana 84 negara
menyetujui jika Papua telah menjadi bagian dari Indonesia.
“Kalau ingin merdeka
– terus terang, bagi saya –dengan situasi politik saat ini – masih sangat jauh.
Papua sudah diterima sebagai bagian dari wilayah negara Indonesia dalam sidang
umum United Nations (UN) pada November 1969. Voting-nya, 84 negara
dengan penentuan hasil Pepera, 30 negara abstain dan tidak ada satu pun
negara yang tidak setuju Papua masuk Indonesia,” tulis Filep dalam buku Seakan
Kitorang Binatang.
Tanggal 4 September
– seorang aktivis HAM bernama Veronica
Koman ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jawa Timur dengan dugaan
persebaran hoax. Dilansir dari berita Tempo.co, Beka Ulung Hapsara selaku Komisioner
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengkritik langkah Kepolisian
Daerah Jawa Timur, yang menetapkan Veronica Koman sebagai tersangka
dalam kasus Papua.
“Sepanjang yang saya
tahu, apa yang dilakukan oleh Veronica Koman pada peristiwa Surabaya adalah
bagian dari upaya memberikan informasi dari sudut pandang yang berbeda, karena
faktanya memang ada ujaran rasisme,” ujarnya.
Tanggapan Ketua Masyarakat Sejarawan Banten
Menanggapi hal
terkait Papua, Radjimo Sastro Wijono
selaku ketua Masyarakat Sejarawan Banten angkat bicara. Ia memaparkan bagaimana
sejarah perkembangan Papua –mulai dari era pra-republik hingga terbentuknya
republik. Kegagalan dalam komunikasi secara kultural, dianggap sebagai salah
satu indikator pemicu kasus yang menimpa rakyat Papua.
“Awal mula rasisme
sulit dilacak –ini adalah kegagalan
daripada berkomunikasi budaya. Jadi ketika orang datang, itu pasti ada komunikasi
yang terjadi. Kalau mentalitas
pendatang itu lebih tinggi, potensi untuk merendahkan sangat bisa
memungkinkan,” kata Radjimo saat berbincang dengan reporter BantenEkspose.com,
Rabu (04/09).
Sembari melinting
tembakau yang ia beli dari Yogyakarta, ia menspesifikasi jika bentuk ekspresi
rasisme yang terjadi di Papua berupa ledekan, kalimat-kalimat yang merendahkan.
Beberapa hal yang
mungkin jarang orang ketahui –statement mengejutkan itu mucul dari
beberapa bagian sejarah yang ia ketahui. Mungkin juga –di era kontemporer nan digital
ini – ia mengatakan jika kerajaan Sriwijaya dan setelahnya memiliki relasi
dengan Papua. Kira-kira apa yang ia paparkan?
“Kalau ngomong Papua
sebagai sebuah daerah tempatan, itu kan sebetulnya sudah lama – dari catatan
sejarah – Kerajaan Sriwijaya saat diasumsikan sebagai kerajaan yang besar – ini
memiliki relasi dengan daerah-daerah kepulauan timur – salah satunya Papua”
paparnya.
Ia juga menyebutkan
bahwa bukti relasi yang terjadi adalah dijadikannya burung-burung endemik Papua
sebagai salah satu souvenir – ditujukan kepada kerajaan-kerajaan atau
negara lain selain Sriwijaya dan kerjaan setelahnya.
“Bukti bahwa ada
relasi diantara Sriwijaya dengan Papua adalah souvernir yang diberikan kepada kerajaan dan negara
lain – barang-barangnya dari Papua – misal burung-burung endemik sana – pun
Kerjaan Majapahit setelah zamannya juga sudah ada relasi – masih banyak
catatan-catatan sejarah yang belum dapat dipercaya. Bisa jadi, hubungan yang
ada ini memunculkan diskriminasi –rasisme
salah satunya, yang datang merasa
lebih unggul,” tambahnya
Pada lintingan
tembakau sesi kedua – hisap demi asap – seakan pernyataannya merujuk pada Papua
sebagai wajah kepentingan internasional. Bermula dari perdebatan antara Amerika
Serikat dengan Belanda di sidang PBB tahun 1954. Menurutnya, hal tersebut
menjadi salah satu indikator di mana Papua jadi bahan rebutan.
“Penggalan sejarah
dari masa pra-kemerdekaan – yang disini dengan yang di Papua. Itu menjadi ramai
ketika ada perebatan ditingkat internasional – ketika Belanda mengangkat isu
ini di sidang PBB – tahun 1954
kalau tidak salah. Disitu mulai ramai – Papua itu milik siapa? Sudah menjadi
lahan rebutan – kalau ini menjadi rebutan – kasihan warga tempatan di
Papua-nya,” terangnya
Tentang penggal dan
memenggal sejarah – ia selalu menekankan jika bicara Papua – selalu ada istilah
melibatkan kapital besar. Akan tetapi – penekanan kalimat yang terlontar selalu
merujuk pada perilaku Paman Sam – dinilai saat itu berkepentingan di bumi
cendrawasih.
“Sementara yang
merebut itu kan orang-orang yang berada diluarnya. Kalau ngomong Republik
Indonesia – yang ada di Jakarta dan kalau ngomong Hindia Belanda – mereka yang
ada di Netherland – tentu saja melibatkan kapital besar – Yankees atau
Amerika Serikat yang mempunyai niatan untuk berkuasa disitu,” disitu nada
bicara Radjimo agak sedikit tinggi – sesalnya atas perilaku Paman Sam.
Sumber : jadiberita,com |
Hal yang lebih ia
sesalkan saat UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing diamandemen.
Seakan seperti kucuran keran yang sengaja dibiarkan menyala – melalui backing-an
dari rezim Orde Baru –datang lah para Yankees dibuat bahagia atas keleluasaan
yang diberikan rezim terkait. Seakan dirinya menanyakan pada zaman – apakah
para Yankees belajar dari kesalahannya yang tidak bisa merebut hati
Presiden Soekarno dan Papua?
Radjimo meyakini jika ekonomi-politik kekuasaan para Yankees bermula dari berubahnya perjalanan peta politik. Sedikitnya ia menjelaskan jika pada perjalanan menuju demokrasi terpimpin di tahun 1950-an. Hal tersebut ia nilai sebagai undangan spesial terhadap kedatangan PT. Freeport untuk mendaki gunung Ersberg, Papua.
“Perjalanan berubah
saat 1965 – kemudian memunculkan Orde Baru dan kita ketahui bersama, produk UU
No. 1 Tahun 1967 dibikin untuk menjual sumber daya alam sini – prinsipnya untuk
mendatangkan investor – salah satu yang paling diincar di Papua itu kan gunung
Ersberg yang dikenal sebagai PT. Freeport,” tegasnya.
Beberapa penjelasan
ia tambahkan –PT. Freeport didirikan
tanpa seizin kepala wilayah konsesi adat. Menurutnya, hal itu sangat mungkin terjadi. Jika pun ada izin, ia memastikan jika
kejadian ini syarat akan rekayasa.
“Bahasa simple-nya,
orang sudah sangat kepengen banget menguasai wilayah situ – orang tempatan juga
direkayasa seolah-olah setuju – waktu itu kan juga ada Pepera. Diciptakan warga
tempatan itu kubu yang sesegera mungkin memberikan izin dari sisi politis
maupun sisi adati,” sedikit (lagi) tambahnya.
Banyak khalayak yang bertanya-tanya dan bernyata-nyata tentang seisi gunung Ersberg – redaksinya merujuk pada keberadaan uranium yang tersimpan. Bahkan, Radjimo pun meyakini jika Papua akan menjadi masa depan dunia. Menurutnya, sumber emas berasal, dominannya dari Papua.
“Siapa yang nggak
mau dengan hal yang banyak dan bagus seperti itu? – Apalagi pemodal? Jadi yang
direbutkan di Papua – orangnya sih saat itu sudah banyak yang dikesampingkan. Kalau bisa yang merebut di daerah itu bukan orang Papua – istilah
kasarnya sih seperti itu. Dalam pertempuran kayak gini kan yang rugi orang
kebanyakan disana,” ulasnya tentang kepentingan pihak luar Papua.
Dalam konteks Papua,
Radjimo memaklumkan jikalau Papua referendum –pada redaksi kalimat yang ia tuju
mengenai eksploitasi sumber daya alam di Papua. Dengan tutur kalimat yang
santai – ia menyatakan statement-nya : “Makanya, toh kalau ada gerakan
yang ingin menjadikan Papua terbebas itu bisa dimaklumi dari sisi itu”.
“Yang dilakukan
pemerintah sekarang kan ada beberapa langkah seperti itu –memberikan kesempatan
yang sebebas-bebasnya dan seluas-luasnya – cuma memang selalu ada yang salah –
karena luka yang dialami oleh warga Papua – itu ibaratnya belum terobati,”
tambahnya mengenai perilaku pemerintah dan Indonesia terhadap Papua.
Pepera disebut-sebut
sebagai permulaan terjadinya pelanggaran HAM di Papua. Radjimo mengawalinya
dengan peristiwa perebutan gunung Ersberg. Ia mengatakan jika gunung Ersberg
merupakan tempat yang disakralkan –menjadi simbolik adat masyarakat Papua. Hanya
saja ia memandang fenomena ini sebagai penumbuh luka – baik itu dari masa lalu
maupun masa kini.
“Pelanggaran HAM di
Papua saya kira setelah ada Pepera itu – kemudian kan bagaimana proses
perebutan gunung Ersberg untuk PT. Freeport – katanya disebutkan tidak
mendapatkan izin dari per-kepala wilayah konsesi adat – dari situ kan ada
proses pengusiran – proses hak masyarakat adat nggak diberikan – gunung Ersberg
itu kan sentra kebudayaan mereka – gunung yang disakralkan,” katanya dengan
yang merujuk pada kejadian yang disesalkan.
Pada pengkajian ini
– Radjimo ternyata juga menyesali fenomena perilaku bangsa Indonesia yang ia
nilai belum bisa menerima kritik. Dampak yang terjadi – dalam bayangnya akan
mencederai generasi sekarang
maupun kedepan. Kalimat yang selalu ia anjurkan adalah keberanian bangsa ini
atas kritik –menerima kenyataan pahit sejarah. Menurutnya pengetahuan bangsa
Indonesia di Papua, seolah dikonstruksi bahwa tidak ada pelanggaran yang
terjadi.
“Di Papua apalagi –
itu seolah-olah tidak terjadi apa-apa, seolah-olah terjadi sesuai aturan.
Harusnya semua bisa terbuka lah, kalau salah ya salah – tapi ternyata kan nggak
bisa – ternyata kan ada kepentingan yang banyak. Ini tantangan kedepan bagi
sejarawan dan masyarakat kita – belajar untuk lebih terbuka – belajar untuk
lebih menerima kenyataan pahit,” anjurnya.
Menyoal permasalahan
pemblokiran jaringan internet di Papua, setidaknya Radjimo menganggap, peristiwa ini sebagai
salah satu bentuk pembungkaman sejarah. Menurutnya, negara cukup andil untuk
bertanggung jawab dan tidak selalu benar. Dalam hal ini negara dinilai
menutup-nutupi kesalahan yang terjadi, khususnya di Papua.
“Dalam konteks
tertentu, men-stop informasi bisa memungkinkan untuk menutup-nutupi sebuah
kejadian. Selama ini kan yang punya standar itu negara – di mana negara itu
mempunyai potensi untuk melakukan hal yang salah – yang tidak mau di mana
negara selalu menganggap benar – padahal kan mungkin sekali salah,” tutupnya. (Gilang Prabowo)
COMMENTS