Adi "Wosx" Hermana sedang melakukan kegiatan tato di Venomous Tattoo Studio, Kec. Cikupa, Kab. Tangerang. Selasa, 30 Juli 2019 (...
Adi "Wosx" Hermana sedang melakukan kegiatan tato di Venomous Tattoo Studio, Kec. Cikupa, Kab. Tangerang. Selasa, 30 Juli 2019 (Gilang/BE) |
“Stronger than reason
Stronger than lies
The only truth I know
Is the look in your eyes
The look in your eyes!”
(Ministry – Stigmata, 1988)
BantenEkspose.com - Seni melukis tubuh? Seperti tidak asing mendengarnya. Biasanya orang menyebutnya seni tato, di mana seseorang menggambarkan ilustrasi pada bagian tubuh tertentu. Berbagai polemik terjadi saat banyak orang menanggapi tato, Bahkan Orde Baru pun dinilai sering mengkriminalisasi seni tato. Banyak stigma negatif yang terbangun di masyarakat saat berbicara tentang tato. Lantas, apakah tato merupakan sebuah budaya baru di Indonesia?
Banyak kasus di lapangan yang memang menampilkan stigma negatif pada tato. Seperti halnya pandangan “kolot” yang dinilai muncul akibat ketertutupan informasi saat era Orde Baru. Hal itu dinilai membekas hingga sekarang. Di era Orde Baru – di era 1980’an pemerintah bertindak represif pada pelaku tato. Rezim Orde Baru mengerahkan kelompok Penembak Misterius (Petrus) demi menjaga stabilitas keamanan atas tindakan premanisme.
Tato seringkali dianggap identik dengan premanisme, bahkan tato terkadang dianggap sebagai sebuah penanda dari tindak kejahatan dan kekerasan.
Brita L. Miklouhu-Makial dalam buku Menguak Luka Masyarakat: Beberapa Aspek Seni Rupa Indonesia Sejak Tahun 1966, menuliskan bahwa para preman itu, yang diidentifikasikan melalui tato, ditembak secara rahasia lalu mayatnya ditaruh dalam karung dan dibuang di sembarang tempat – tak jarang di tengah keramaian – seolah-olah mereka sampah. Tercatat antara lima hingga 10.000 orang yang dicurigai sebagai preman tewas mengenaskan.
Kebijakan Soeharto saat itu banyak menuai kritik, terpusat pada “metode pembersihan” yang dilakukan. Ia coba menekankan shock therapy untuk menekan angka kriminalitas yang dinilai saat itu meningkat.
“Tato diasosiasikan dengan kejahatan – terlepas dari apa yang dilakukan atau niat orang itu. Pernyataan Presiden Soeharto menunjukkan bahwa daya tarik rajah adalah indikasi dari kekuatannya, yang diatribusikan pada kriminalitas jauh lebih besar daripada perbuatan kriminal itu sendiri,” tulis Vicente L. Rafael dan Rudolf Mrazek dalam Figures of Criminality in Indonesia, The Philippines, and Colonial Vietnam.
Tato Tertua di Indonesia
Sebuah pertanyaan besar tentang tato sebagai budaya – tak luput dari rasa penasaran yang besar tentang tato. Dalam sebuah dimensi heterogenitas dan berjalannya 32 tahun kebijakan yang mengekang secara literasi – beberapa hal diketahui tentang peradaban budaya tato di Indonesia muncul dari bumi melayu. Sebuah peradaban yang dikenal sebagai pembangun budaya di tanah Sumatera ini akhirnya menjawab semua pertanyaan itu.
Menurut Encyclopaedia Britannica, tato tertua ditemukan pada mumi Mesir dari abad ke-20 SM. Akan tetapi hal itu dimentahkan oleh Drs. Ady Rosa, M.Sn. yang juga dijuluki sebagai Jendral Tato – jika tato tertua itu berasal dari Indonesia. Ia mengungkapkan jika tato tertua berasal dari Kepulauan Mentawai – diperkirakan sudah ada sejak tahun 500-1500 SM sejak awal zaman pra-sejarah (neolitikum), pada masa persebaran bangsa Proto Melayu ke Nusantara yang berasal dari Yunan.
Disamping itu, ia pun menemukan 160 motif tato Mentawai – melalui risetnya di Desa Terekan Hilir, Bojakan, Simalegi, Simatalu, Pulikkoman, Mototonan, Lita, Sigalube, Paipajet, dan Taileleu di Pulau Siberut
“Dari 24.566 jiwa (5.254 KK) suku asli Mentawai, yang bertato tak lebih dari 200 orang, mereka berusia 50 tahun keatas. Dari 80 responden bertato, ditemukan 160 motif tato tradisional Mentawai, sebagai simbol struktur kemasyarakatan, kepercayaan, ekonomi, dan kesehatan,” ungkap Ady dalam Ady Rosa “Jendral Tato”, Koran Kompas, 24 Februari 2001.
Lengkapnya Ady berasumsi jika setiap tato yang terpampang di tubuh para pelaku tato memiliki pemaknaan khusus. Tato-tato yang terajam itu menjadi simbolik atas status sosial dan pranata sosial budaya – meliputi ekonomi, kesehatan, kepercayaan, teknologi, keahlian/kepiawaian, dan dekorasi atau hiasan tubuh. Selain itu, Ia juga menilai tato sebagai penanda batas wilayah kesukuan dan menjadi alat komunikasi.
“Tato Mentawai berfungsi sebagai alat komunikasi bagi kelompok suku, lewat gambar-gambar yang terdapat pada tubuh mereka. Alat komunikasi ini adalah Bahasa rupa yang terwujud melalui unsur-unsur gambar tato, hadir lewat simbol, tanda kenal, dan hiasan,” paparnya
Putra Tangerang Melawan Stigma Tato Dengan Prestasi
Berbarengan dengan waktu yang menjajakan kaki pada era kontemporer – Adi Hermana yang akrab disapa “Wosx” ini berbagi cerita dengan BantenEkspose.com mengenai pergelutan dan asam-garam didunia tato – secara, ia adalah salah seorang putra daerah asal Tigaraksa, Kabupaten Tangerang. Begitu banyak cara yang ia lakukan untuk melawan stigma tentang tato – hal ini terkesan tidak biasa dilakukan warga Kabupaten Tangerang dengan “santriisme-nya”.
Ditemui di studio tato miliknya, Venomous yang berletak di Blok VE 01/07 R, Lantai 2, Ruko The Boulevard, Eco Plaza Citra Raya, Kec. Cikupa, Kab. Tangerang – dengan segala personifikasi “Venomous” sebagai sikap dinginnya yang seperti reptil berbisa nan mematikan. Sambil diiringi lagu-lagu Type O Negative dan Nine Inch Nails ia mulai menceritakan awal mula perkenalannya dengan dunia tato.
“Gue kenapa memilih tato, awalnya tentang minat gue akan dunia seni itu sangat tinggi – terutama ke seni gambar gue sudah mencoba beberapa media, mulai dari mural, lukis, airbrush. Tapi gue lebih nyaman dan nemuin passion gue di tato. Nggak semua orang bisa buat tato – karena buat gue tato itu seni gambar yang sangat rumit, karena kita menggunakan media hidup – tepatnya badan manusia,” paparnya sambil menunggu nasi uduk pesanannya.
Pada tahun 2004, Wosx memulai lembaran percumbuannya dengan tato – baginya hal itu pun menimbulkan anomali negatif ditengah keluarganya. Dirinya tetap tegas dengan pendiriannya akan tato – walau itu semua merupakan cobaan berat baginya. Menurutnya, sang orangtua pun menganggapnya sebagai sebuah tindakan kriminal – walaupun Wosx tidak berbuat tindakan-tindakan yang digolongkan kriminil.
Tak terkecuali sang nenek pun juga khawatir dengan pernyataan sikapnya. Menurutnya hal itu merupakan sebuah cerita lucu yang timbul ditengah masa transisi Orde Baru ke reformasi.
“Dari cerita lucunya sih – jadi suatu ketika pas nenek gue tahu kalo gue punya tato – nenek gue yang sudah panik, mungkin ekspresinya yang saat itu gue ingat, dia tuh sampai mau nangis gitu – megangin tangan gue sambil bilang ‘kenapa ditato? Nanti ditangkap polisi’ dengan alasan yang saat itu nggak disebutkan – sedangkan gue saja nggak berbuat apa-apa,” paparnya yang agak sedikit menahan tawa.
“Itulah stigma zaman dulu, karena tato itu dianggapnya menjadi bagian dari orang-orang yang perilakunya menyimpang – terutama mereka yang berbuat kriminal,"
Ia mengkritisi kebijakan Orde Baru yang memang saat itu mendompleng anti-premanisme – baginya itu merupakan hal konyol. Menurutnya hal ini berimbas terhadap para pelaku tato – baik itu seniman tato maupun penggunanya. Sebagai salah seorang seorang pelaku tato, Wosx merasa keberatan karena menurutnya tato sudah menjadi bagian dari budaya – adat dan istiadat orang lokal Nusantara.
“Kebijakan rezim Orde Baru tentang premanisme itu sangat konyol kalau harus menstigmakan cara berpenampilan atau cara orang membuat identitas diri – terutama tato. Bagaimanapun juga, kita nggak bisa pungkiri bahwa Indonesia juga punya budaya tato,” jelasnya dengan nada yang agak tinggi
Sedikitnya dipaparkan secuplik kajian sejarah yang ia ketahui tentang pertatoan di era sebelum Indonesia.
“Dulu tato itu digunakan sebagai identitas, sebelum Kerajaan Majapahit – pernah diadakan penelitian di Bali, Sumbawa, ada beberapa suku lokal Indonesia yang memiliki tato. Mungkin yang bertahan saat itu hanya Suku Dayak di Kalimantan dan di Mentawai,” lanjutnyaWosx mendapatkan pengalaman yang menurutnya terkesan bagus dan edukatif saat ke Mentawai. Baginya, perjalanan itu membawa banyak pelajaran atas kehidupan – dan itu semua tergambarkan pada suku Mentawai.
“Saat gue ke Mentawai, mereka (Suku Mentawai) menceritakan bahwa ‘tato ini merupakan identitas kami, menjukan status sosial dan pekerjaan kami’. Itu sangat disayangkan buat gue – di Indonesia tidak diangkat kebudayaan itu dan akhirnya malah selalu mendidik masyarakat bahwa tato itu merupakan sebuah hal yang negatif . Akhirnya sejarah mengatakan bahwa tato tertua itu ada di Mesir – tato tertua itu ada di Mentawai,” papar Wosx atas memorinya di Mentawai.
Ia mengungkapkan kekecewaan pada media massa dan para jurnalisnya – menurutnya banyak dari mereka yang meng-ibliskan tato. Ia merasa tidak suka saat media massa atau para jurnalisnya terlalu mempertontonkan tato sebagai identitas utama para pelaku kriminal yang kebetulan bertato. Hal itu terbilang salah – menurutnya media massa sama saja memberikan stigmatisasi dengan bungkus edukasi.
“Beberapa hal yang gue garis bawahi untuk media-media dan para jurnalis – ketika mereka meliput sebuah momen kriminal, di mana tersangkanya itu yang disuruh ikut – tampil saat konferensi pers sembari si polisi menjelaskan – terkadang itu disorot tatonya dan itu salah,” tegasnya sambil memainkan gestur dengan kedua tangannya yang agak terkepal.
“Yang kasihan itu termasuk gue – si pelaku tato yang notabane-nya hanya berkesenian secara sehat dan tidak berbuat kriminal. Tapi ketika ada tayangan-tayangan seperti itu, selalu saja tato yang dijadikan bagian penting dari judul maupun esensi dari berita itu – orang tanpa tato pun bisa berbuat kriminal – itu harus digarisbawahi, ” lanjutnya
Setelah melalui beberapa sudut perbicangan terkait tato – Wosx mulai menceritakan bagaimana perjalanannya menuju prestasi. Ia berusaha menorehkan cerita yang menurutnya tidak membuat malu dirinya, negara, dan keluarga. Walaupun hingga saat ini ia tidak merasakan dampak timbal balik dari pemerintah atas semua karya yang ia hasilkan. Lagi-lagi ia mengatakan jika kegiatannya hanya bersifat “diketahui”, bukan publik yang mengetahui – apalagi pemerintah.
“Disini gue punya beberapa penghargaan dengan bentuk sertifikat, tropi, dan piagam – di mana itu gue dapetin ketika gue ikut beberapa event tato di lokal – sebagian besar gue dapat dari luar negara. Paling berkesan itu di luar negara lah – disana gue mewakili negara gue sendiri dan gue nggak bikin malu – gue bisa meraih prestasi dan gue juara saat kontes disana,” ungkapnya
Dengan raut wajah yang sedikit menunjukan sikap skeptisnya, ia sungguh menyayangkan sikap pemerintah terhadap sebuah prestasi yang dihasilkan sang putra daerah. Hal-hal negatif yang selalu dikaitkan dengan tato – menurut Wosx merupakan sebuah bentuk pertimbangan pemerintah atas perilaku tato dan kesenian tato.
“Karena mereka selalu menganggap bahwa aktivitas tato itu merupakan perbuatan negatif, bukan prestasi. Walaupun gue misalkan bercerita kalo gue dapat penghargaan dari luar negara, bahkan mewakili negara sendiri – gue sebagai putra daerah di Kabupaten Tangerang – itu nggak banyak orang ketahui – terutama untuk kalangan pemerintahan,” lanjutnya
Selebihnya ia merasa percuma saat membawa nama Indonesia – utamanya Kabupaten Tangerang. Tidak menutup kemungkinan, Wosx pun “pernah” mencoba pendekatan yang sama terhadap pemerintah seperti para penggiat seni diberbagai bidang. Namun ia merasa skeptis karena kegiatannya dianggap tidak masuk akal – tidak seperti lukis, pembangunan sanggar seni, dan sebagainya yang berkaitan dengan kegiatan kesenian.
“Pendekatan-pendekatan kayak gitu – gue nggak pernah melakukan, tapi pernah mencoba – mungkin nggak seperti orang lainnya – seperti melukis, membuat sanggar kesenian – yang masuk akal lah buat mereka. Ketika berbicara kesenian tato, mereka (pemerintah) langsung bungkam dan seperti tidak mau tahu tentang ilmunya atau tentang sejarahnya,” pungkasnya (Gilang Pabowo)
COMMENTS