Bantenekspose.com - Satu abad lebih telah berlalu, tepatnya 131 tahun. Kota Cilegon menyimpan sebuah kisah tentang perlawanan dari kaum ...
Bantenekspose.com - Satu
abad lebih telah berlalu, tepatnya 131 tahun. Kota Cilegon menyimpan sebuah
kisah tentang perlawanan dari kaum tani. Pemberontakan tersebut disinyalir
sebagai salah satu pemberontakan kedua yang terjadi di Hindia Belanda setelah
peristiwa pemberontakan kaum tani di Ciomas, Bogor, tahun 1886.
Peristiwa
Geger Cilegon disebut-sebut salah satu pemberontakan tani terbesar setelah
pembubaran Kesultanan Banten 1813 oleh VOC dan sebelum Pemberontakan Kaum Tani
1926 di Anyer (yang diperuntukan untuk kemerdekaan). Geger Cilegon dipelopori
oleh seorang tokoh agama yang bernama Haji Wasyid atau biasa disebut Ki Wasyid.
Pemberontakan tersebut bermula dari kesewenang-wenangan pihak Vereenigde
Oostindische Compagnie (VOC) yang mengokupasi Banten sebagai salah
satu wilayah taklukan/jajahan.
Sebagai
salah seorang agamawan, Ki Wasyid sering memberikan fatwa dan mengingatkan
warga Cilegon saat itu bahwa “meminta selain kepada Allah termasuk syirik.”
Namun fatwanya kurang diindahkan. Karenanya, pada suatu malam, Ki Wasyid dan
muridnya menebang pohong yang disebut berhala. Inilah yang menyebabkan Ki
Wasyid diseret ke pengadilan kolonial pada 1887.
Saat
itu, kondisi makin diperburuk akibat meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda
pada tanggal 23 Agustus 1883. Letusan tersebut menyebabkan gelombang laut yang
meluluhlatakkan Anyer, Caringin, Sirih, Pasuruan, Tajur, dan Carita. Selain
itu, ada bencana kelaparan, penyakit pes, dan penyakit hewan ternak.
Fenomena
tersebut berlangsung selama lima tahun. Peristiwa yang terjadi juga
disebut-sebut sebagai salah satu pelatuk pada Ki Wasyid untuk melakukan
perlawanan terhadap kependudukan VOC.
Pemberontakan
1888 terjadi juga disebabkan oleh pejabat – pejabat pemerintah kolonial di
Cilegon mengeluarkan sirkuler (surat edaran) kepada bawahannya untuk melarang
pembacaan shalawat Nabi dan doa-doa lainnya dengan suara keras di masjid.
Pemerintah kolonial juga menghancurkan menara masjid Cilegon dengan alasan
telah terlalu tua. Hal-hal yang dianggap sebagai penghinaan ini dijawab oleh
rakyat banyak dalam bentuk pemberontakan yang bertujuan lebih luas lagi, yaitu
mengenyahkan kekuasaan Belanda dari daerah itu.
Dimulainya Pemberontakan
Pemberontakan
bermula pada tanggal 9 Juli 1888, dini hari. Pemberontak berjumlah 100 orang
dan seluruhnya bergerak dari tempat Haji Ishak di Saneja untuk menyerang rumah
residen Francois Dumas, selaku juru tulis di kantor asisten residen VOC. Akan
tetapi Dumas melarikan diri dan terpisah dari anak beserta istrinya. Dumas
bersembunyi dirumah tetangganya yang berprofesi sebagai jaksa. Sedangkan anak
beserta istrinya bersembunyi dirumah seorang ajun kolektor.
Saat
itu, para pemberontak bertitik temu di Pasar Jombang Wetan, Cilegon. Selaku
pemimpin, Ki Wasyid membagi pasukan menjadi 3 kelompok. Pertama, pasukan
dipimpin oleh Lurah Jasim, seorang Jaro Kajuruan. Kedua,pasukan dipimpin Haji
Abdulgani dan Haji Usman. Ketiga, pasukan dipimpin oleh Haji Tb. Ismail. Fokus
penyerangan saat itu adalah pembebasan tahanan politik, kepatihan, dan rumah
asisten residen yang berletak di alun-alun Kota Cilegon.
Puncak Penyerangan
Saat
itu, Haji Tb. Ismail dan pasukannya menemukan Dumas yang sedang bersembunyi
dirumah seorang Tionghoa yang bernama Tan Heng Kok. Akhirnya, Alfred Dumas
terluka dan dilarikan ke kepatihan oleh ajun kolektor. Saat itu Dumas menjadi
korban pertama di tangan pemberontakan pasukan Haji Tb. Ismail. Begitu juga
anak laki-lakinya dan istrinya. Pembantu Dumas, Minah, dan anak bungsunya
ditemukan ditengah sawah dalam keadaaan luka parah.
Para
pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Haji Usman menyerang Ulrich Bachet,
kepala penjualan garam. Bachet akhirnya bersembunyi pada salah satu rumah
penduduk yang berletak dibelakang rumahnya. Bachet sempat melepaskan tembakan
dari bedil miliknya yang menewaskan 2 orang pemberontak. Namun, akhirnya Bachet
dibunuh oleh pasukan Haji Usman.
Sebagian
pemberontak yang dipimpin oleh Lurah Jasim berhasil membebaskan 20 tahanan.
Pembebasan tersebut berhasil membunuh seorang sipir yang bernama Mas
Kramadimeja. Namun, Istri Gubbels, Anna Elizabeth van Zutphen, wedana, dan
kepala penjara, berhasil melarikan diri menuju arah kepatihan. Hal ini
menyebabkan para pemberontak yang dipimpin Lurah Jasim ini mengepung rumah
kepatihan. Patih Raden Penna dicari oleh para pemberontak, namun ia tidak ada
ditempat. Alhasil, Sadiman selaku pelayan di kepatihan pun meregang nyawa
setelah dihabisi para pemberontak.
Para
pemberontak yang dipimpin Lurah Jasim akhirnya menggiring Wedana Cilegon, Raden
Cakradiningrat, Jaksa Cilegon Mas Sastradiwiria, dan Ajun Kolektor Raden
Purwadiningrat menuju alun-alun Kota Cilegon untuk dieksekusi. Salah seorang
mantan tahanan politik, Kasidin, meluapkan amarah dan dendamnya terhadap wedana
Cilegon yang saat itu memenjarakannya. Beberapa dari pemberontak menekankan
untuk jangan menganiaya wedana Cilegon. Akan tetapi, Kasidin melompat ke arah
muka Wedana Cilegon sambil berteriak: “Justru ini yang mesti didahulukan!”
“Maka
ditebasnyalah leher saudara sepupuku itu dengan parangnya,” kata kata Achmad
Djajadiningrat, seperti dikutip Hendri F. Isnaeni, Jalannya
Pemberontakan Petani Banten 1888, di Historia.id.
Setelah
menyerang Alfred Dumas, Ulrich Bachet, dan Gubbels. Kini para pemberontak
menyerang Jacob Grondhout, insinyur pengeboran pada departemen petambangan di
Cilegon, dan istrinya, Cecile Wijermans. Keduanya tewas dibunuh oleh para
pemberontak. Mas Asidin (magang yang diperbantukan pada asisten wedana
Bojonegara), Mas Jayaatmaja (mantri ulu atau pegawai pengairan distrik
Cilegon), Jamil (kepala opas asisten residen Anyer), Jasim (pelayan asisten
wedana Krapyak Cilegon) juga turut dihabisi oleh para pemberontak.
Pemberontakan Berakhir Dengan Penumpasan
Setelah
Ki Wasyid dan kawan–kawan berhasil merebut Kota Cilegon. Kini para pemberontak
bergegas menuju Kota Serang sebagai salah satu ibu kota residen. Ki Wasyid
beranggapan bahwa keseluruhan wilayah sekitar Kota Cilegon mesti direbut. Ki
Wasyid menekankan pada para pemberontak bahwa penyerangan ini tidak pandang
bulu, baik kolonial maupun pribumi yang berpihak pada kolonial.
Sementara
itu, Bupati Serang, Kontrolir Serang, dan Letnan van ser Star membawa pasukan
bersenjata api 28 buah. Mereka menuju Kota Cilegon untuk memulai pertempuran di
daerah Toyomerto. Pasukan tersebut berhasil memukul mundur para pemberontak
dengan menewaskan 9 orang dari pihak pemberontak dan sebagian terluka.
Hal
ini mampu mematahkan moralitas juang para pemberontak. Peristiwa ini membuat
setiap pasukan induk pemberontak tercerai-berai dan pemberontakan pun mulai surut.
Sementara
itu, Ki Wasyid dan para pasukannya melakukan long march menuju
arah Banten Selatan. Tanggal 30 Juli 1888, ekspedisi tantara kolonial
mengakhiri perjalanan Ki Wasyid dan pasukannya ke daerah Sumur. Para
pemberontak tetap memberikan perlawanan terhadap tantara kolonial meskipun
akhirnya mereka dilumpuhkan. Saat itu, kekuatan tantara kolonial terbilang
kuat. Mulanya dipicu dari isu dikepungnya Kota Serang oleh 5.000 pemberontak.
Hal ini menyebabkan pemerintah kolonial di Batavia mengirim 1 Batalion tantara
yang diturunkan di Pelabuhan Karangantu.
Akhirnya
tentara tolonial membawa beberapa mayat yang diidentifikasikan sebagai Ki
Wasyid, Haji Tubagus Ismail, Haji Abdulgani, dan Haji Usman. Sementara Haji
Jafar, Haji Arja, Haji Saban, Akhmad, Yahya, dan Saliman, melarikan diri hingga
ke Mekah, Arab Saudi. Dinyatakan, dalam perang sipil ini korban tewas berjumlah
17 orang. Korban luka – luka yang disebabkan oleh pemberontak berjumlah 7
orang. Pemberontak yang tewas berjumlah 17 orang. Pemberontak yang terluka
berjumlah 13 orang. Pemberontak yang diasingkan berjumlah 94 orang. Tempat
pembuangan antara lain : Tondano, Gorontalo, Padang, Kupang, Salayar, Kema
(Minahasa), Padang Sidempuan, Maros, Ternate, Ambon, Muntok, Payakumbuh, Banda,
Bantaeng, Manado, Fort de Kock (Bukittinggi), Bengkulu, Pariaman, Saparua,
Pacitan, Balangnipa (Sinjai, Sulawesi Selatan).
(Gilang Prabowo)
COMMENTS