BantenEkspose.com - Kalangan aktivis menyebutkan, Provinsi Banten saat ini sedang dilingkari perusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLT...
BantenEkspose.com - Kalangan aktivis menyebutkan, Provinsi Banten saat ini sedang dilingkari perusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batu Bara. Sehingga kehadiran perusahaan tersebut dinilai akan mengancam terhadap keberlangsungan kesejahteraan para petani dan nelayan tradisional.
Ketua AEER (Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat), Mardan Pius Ginting mengatakan, perubahan iklim hanya punya waktu sekitar 20 tahun lagi untuk bisa mengurangi emisi gas rumah kaca itu secara drastis. Setelah 20 tahun mungkin itu tidak ada akan efektif. Salah satu kontributor dari perubahan ikim ini (pemanasan global) adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap batubara.
Menurut dia, Banten adalah provinsi yang memiliki lokasi PLTU batubara terbanyak, dibandingkan provinsi lainnnya. Sebetulnya, Banten sendiri sudah surplus 44 persen energinya dan sebagian besar dipasarkan ke Jakarta.
"Jakarta sendiri sudah berlebih, termasuk Jawa - Bali. Sehingga ada imbauan bahkan dari direktur PLN agar masyarakat di Jakarta tidak membangun pembangunan listrik tenaga surya karena kekhawatiran tidak terserapnya listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik batubara yang berlokasi di Banten," ujar Mardan kepada bantenekapose.com seusai didaulat sebagai narasumber dalam kegiatan diskusi publik, yang bertajuk Dampak Perubahan Iklim dan Penyediaan Energi Terhadap Kesejahteraan Petani dan Nelayan, di PKM B Kampus Untirta Banten, Kamis (21/3/2019).
Mardan menuturkan, tentu ini suatu kebijakan energi yang sangat ironis. Energi sudah berlebih, sementara disisi lain pembangkit listrik tenaga uap batubara dibangun. Maka, seperti nelayan yang ada di Terate dan Lontar, juatru terkena dampaknya dengan hadirnya PLTU tersebut. Karena, disitu ada tongkang-tongkang besar, juga ada reklamasi.
"Ketika PLTU berdiri ada hujan asam juga menurunkan produktifitas pertanian. Ini justru berdampak negatif buat masyarakat di Banten. Untuk jangka pendek mungkin ada warga yang dipekerjakan, tapi itu hanya 2 tahun. Setelah itu akan beroperasi selama sekitar 25 tahun sehingga ada dampak lingkungan, kesehatan di lokal maupun global, dampak pemanasan rumah kaca," tuturnya.
Mardan menyarankan, sudah saatnya Pemerintah Provinsi Banten berpikir lebih serius tentang warga biasa seperti nelayan kecil, petani kecil yang terdampak akibat pembangkit listrik batubara tersebut.
"Jadi, misalnya Banten ingin mendapatkan dari energi, seharusnya yang terbarukan. Apakah dari angin, tenaga surya. Bukan dari pembangkit listrik batubara, yang ini menurunkan pendapatan dan menghapus pekerjaan nelayan tradisioal seperti nelayan kecil maupun petani kecil. Jadi pemerintah perlu memperhatikan hal itu," tegas Mardan. (emde)
Ketua AEER (Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat), Mardan Pius Ginting mengatakan, perubahan iklim hanya punya waktu sekitar 20 tahun lagi untuk bisa mengurangi emisi gas rumah kaca itu secara drastis. Setelah 20 tahun mungkin itu tidak ada akan efektif. Salah satu kontributor dari perubahan ikim ini (pemanasan global) adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap batubara.
Menurut dia, Banten adalah provinsi yang memiliki lokasi PLTU batubara terbanyak, dibandingkan provinsi lainnnya. Sebetulnya, Banten sendiri sudah surplus 44 persen energinya dan sebagian besar dipasarkan ke Jakarta.
"Jakarta sendiri sudah berlebih, termasuk Jawa - Bali. Sehingga ada imbauan bahkan dari direktur PLN agar masyarakat di Jakarta tidak membangun pembangunan listrik tenaga surya karena kekhawatiran tidak terserapnya listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik batubara yang berlokasi di Banten," ujar Mardan kepada bantenekapose.com seusai didaulat sebagai narasumber dalam kegiatan diskusi publik, yang bertajuk Dampak Perubahan Iklim dan Penyediaan Energi Terhadap Kesejahteraan Petani dan Nelayan, di PKM B Kampus Untirta Banten, Kamis (21/3/2019).
Mardan menuturkan, tentu ini suatu kebijakan energi yang sangat ironis. Energi sudah berlebih, sementara disisi lain pembangkit listrik tenaga uap batubara dibangun. Maka, seperti nelayan yang ada di Terate dan Lontar, juatru terkena dampaknya dengan hadirnya PLTU tersebut. Karena, disitu ada tongkang-tongkang besar, juga ada reklamasi.
"Ketika PLTU berdiri ada hujan asam juga menurunkan produktifitas pertanian. Ini justru berdampak negatif buat masyarakat di Banten. Untuk jangka pendek mungkin ada warga yang dipekerjakan, tapi itu hanya 2 tahun. Setelah itu akan beroperasi selama sekitar 25 tahun sehingga ada dampak lingkungan, kesehatan di lokal maupun global, dampak pemanasan rumah kaca," tuturnya.
Mardan menyarankan, sudah saatnya Pemerintah Provinsi Banten berpikir lebih serius tentang warga biasa seperti nelayan kecil, petani kecil yang terdampak akibat pembangkit listrik batubara tersebut.
Ia menyebutkan, berdasarkan data statistik angka pengangguran dan kemiskinan cukup tinggi di Banten. Ketika lingkungan buruk maka akan menurunkan produktifitas pertanian dan nelayan, sehingga kembali berkontribusi terhadap angka kemisikinan. Sementara PLTU sendiri tidak bisa diharapkan sebagai pembuka lapangan pekerjaaan, karena untuk pekerja rendahan itu tidak jauh upahnya dari UMR dan jumlahnya pun terbatas yang dipekerjakan.Mardan membayangkan, ketika wilayah pertaniannya masih bagus belum terdampak hujan asam dari PLTU, tidak terdampak dari pemanasan iklim dan nelayan tidak terganggu lalu lintas tongkang yang banyak. Maka masyarakat bisa mengandalkan mata pencaharian dari laut dan bertani, sehingga mata pencahariannya masih lestari.
"Jadi, misalnya Banten ingin mendapatkan dari energi, seharusnya yang terbarukan. Apakah dari angin, tenaga surya. Bukan dari pembangkit listrik batubara, yang ini menurunkan pendapatan dan menghapus pekerjaan nelayan tradisioal seperti nelayan kecil maupun petani kecil. Jadi pemerintah perlu memperhatikan hal itu," tegas Mardan. (emde)
COMMENTS