Mengenal Ilmu Manthiq (Logika)
Kata Manthiq berasal dari kata nathaqo (ucapan atau nalar) yang berarti waktu berucap dan juga bisa kita pahami sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari cara berfikir dengan logika yang benar.
Al-Jurjani menyebut ilmu manthiq itu “alatun qonuniyatun tu’shimu muro’ataha al dzihna ‘an al khothoi fi al fikri (ilmu pengetahuan yang mengatur dalam menjaga akalnya dari kesalahan berfikir). Ilmu ini adalah satu dari ilmu alat (termasuk rumpun satra Arab), yang telah lama dikaji di umumnya pesantren salafi, terutama pesantren salaf yang concern terhadap pengembangan kajian ilmu alat (Sastra Arab).
Awal dari timbulnya ilmu manthiq diduga berasal dari penetrasi filsafat Yunani, kemudian dibawa oleh orang-orang Persia yang secara geneologis telah mewarisi hegemoni filsafat Yunani di Persia, sejak negeri itu ditaklukan oleh Alexander The Great dari Macedonia. Namun, oleh para ilmuwan muslim seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu ‘Arobi, al-Rozi dan lainnya ilmu manthiq diposisikan sebagai ilmu yang penting dalam upaya penggalian pengetahuan atas ayat-ayat qouliyah dan ayat kauniyah.
Akal fikiran yang menjadi subjek dalam ilmu manthiq adalah tartibu umuri al-ma’lumati li al ta’adda ila majhulin selanjutnya akan menelusuri 2 bahasan pokok seperti akan meneliti tashowur nadhory yang diartikan sebagai maa yahtaju ila al-ta’rifi ( pendefinisian objek ) dan tashowur dlorury yang diartikan sebagai maa laa yahtaju ila al ta’ammuri lakin bi hissihi ( tidak memerlukan definisi namun dengan empiris ), dan pada uraian-uraian dengan instrumen tashdiq yang nanti juga terbagi pada 2 tahapan, ada tashdiq nadhory yaitu maa yahtaju ila al-dalili (penentuan objek/subjek yang membutuhkan argumen), tashdiq nadhory ini pun sering dipakai dalam menguatkan dalil adanya Allah SWT (eksistensi Tuhan) seperti adanya alam semesta, dan alam semesta tersebut adalah baru (karena makhluk ) merupakan dalil yang masuk dalam tashdiq nadhory, sedangkan tashdiq dlorury itu maa laa yahtaju ila al-dalili (penentuan objek yang tidak membutuhkan dalil) namun materi yang konkrit inheren dalam dalil.
Pada perkembangannya, sejak Ibnu Sholah mengumumkan anti atas kedudukan filsafat dalam Islam, dengan penguatan diktum Al Ghozali tentang “kerancuan filsafat“, maka pada saat itu dunia Islam sudah meninggalkan filsafat sebagai ilmu dan sebagai pedoman li istinbathi al-hukmi dalam hubunganya dengan pelaksanaan syariat Islam.
Abad 12 M filsafat ( logika dan rasionalisme ) redup, namun sejak Spanyol (Andalusia) menjadi kiblat dunia Islam percisnya di abad 13 hingga abad 16, kultur kajian filsafat (manthiq) telah kembali hidup dengan ditandai oleh lahirnya ilmuwan, filsuf, dokter, arsitek, ulama dengan porosnya Ibnu Rusydi yang orang Barat memberinya titel Sang Komentator Agung filsafat Aristotelian, dari tangan Ibnu Rusydi (Averous) dan Ibnu Sina (Aveciena) terlahir pulalah banyak filsuf Barat seperti antara lain Duns Scotus, William Occam dan teolog-teolog Katolik, seperti Teolog Agung yang tersohor yaitu Thomas Aquinas ( penulis Summa Theoligia ).
Jejak ini perlu menjadi pertimbangan kita sebagai generasi Islam yang lahir tanpa kultur filsafat ( kini dominan kultur informatif ) untuk mencoba menggairahkan semangat baru dalam mempelajari ilmu manthiq yang menjadi sumber dari filsafat tersebut.
Kitab al-Ta’rifat ( Imam Al Jurjani )
Kitab al- Risalah al-Syamsiah ( Imam Najmudin Umar bin Ali Al Qozwaini )
Kitab Tahrir al-Qowaidi al-Manthiqiyah ( Imam Quthbudin Mahmud bin Muhamad Al Razi )