Membimbing Umat Menjauhi Pertentangan
Kita terkadang mendapati persoalan keumatan itu datang bukan dari orang awam dalam agama, tapi justeru dari yang paham agama. Jika yang awam bertanya kepada yang alim, itu lumrah. Tapi yang alim justeru menciptakan persoalan baru hanya karena tidak bijak menyikapinya. Ini tengah kita alami.
Soal furu'iyah itu pasti ikhtilaf (berbeda menghukumi) terhadap satu permasalahan yang berkait agama (masailu al-diniyah), ada yang berpendapat itu haram, itu halal, itu sunnah, itu makruh, itu mubah (boleh). Ini semua disebut mahkum bih. Sebab hakim (Gusti Allah SWT) melalui Kalamnya (Wahyu) mengkhitob terhadap hambanya yang mukallaf (muslim, balig, berakal) dengan status qothi' atsubuti bukan dhonny atsubuti. Kalam Allah SWT yang termaktub dalam mushaf Usmani adalah qothi', bukan dhonny.
Tetapi, soal kepada tunjukan ( dalalah atau dilalah ) bisa jadi itu ada yang sudah qothi' dilalah ada pula yang masih dhonny dilalah. Ini bisa memahami dhonny dilalah adalah yang sudah mustaqil, atau Mujtahid mustaqil. Tidak sembarangan bagi orang awam.
Sahabat Nabi Muhammad Saw, tidak sebagai pengganti Nabi dalam hal nubuwwatnya, tapi sebagai penyampai ajaran Islam yang sudah disampaikan oleh Nabi Saw (dua pedoman Islam yakni al-Quran dan Sunnah ), untuk kemudian dipahami hubungan keduanya ketika sahabat nabi tersebut menemukan kerumitan sebab ada soal mendesak dan tidak terjadi di zaman Nabi masih hidup. Maka sahabat Nabi tersebut diperkenankan untuk ijtihad (menggali hukum yang tidak jauh dari 2 sumber utama), sepeti adzan 2 kali dikumandangkan ketika sholat Jum'at. Apakah lantas ijtihad itu juga Jadi pegangan kita dalam beragama, maka dijawab iya. Karena sesungguhnya Nabi Saw telah memastikan bahkan dengan kalimat perintah ilzamu dan tamassaku untuk berpegang pada sunnahnya dan sunnahnya para sahabat beliau.
Kumpulan ijtihad para sahabat Nabi itu kemudian disebut ijma', dan ketika menghadapi persoalan-persoalan baru pun bisa kita mengambil rumusan qiyas, baik mengqiyas hadits Nabi maupun mengqiyas atsar sahabat atau ijtihad para sahabat Nabi yang dasarnya tidak bertentangan dengan al-Qur'an dan al-Sunnah. Proses tasharruf qiyas itulah yang kita kenal sebagai ijtihadnya para imam mujtahid mustaqil atau mujtahid muthlaq, yang kemudian dikodifikasi dalam madzhab.
Jadi, anjuran kembali pada al-Quran dan hadits dengan khitob semua umat Islam yang kadar pahamnya agaknya berbeda-beda jelas ini menyesatkan, cenderung ada arahan mengkerdilkan Islam sebagai konsep agama yang benar dan sempurna. Jika saja secara liar anjuran tersebut diterapkan, maka yang terjadi ada perbedaan paham yang mengakibatkan konflik lebih luas, karena dipastikan akan saling mempertahankan pendapatnya masing-masing.
Kepada yang alim ( ustadz atau kiai ) untuk melihat persoalan kekinian tentu haruslah bijak, bila kita selalu sandarkan pada kitab-kitab fiqih yang mu'tabar, terkhusus mengambil qoul yang mu'tamad dari pandangan imam-imam madzhab yang mewakili madzhabnya masing-masing.
Umat Islam, jangan melulu dibuat bingung oleh kebodohan kita, jangan dibuat ragu oleh tergesa-gesanya menentukan hukum. Sebab dipastikan selalu ikhtilaf. Inilah yang kita sebut sempurnanya Islam sebagai ajaran yang selalu mengikuti perkembangan zaman, dan dalam keadaan situasi apapun ( bi al-azminah wa al-amkinah)
Tidak perlu terburu-buru menghukumi haram, atau menghukumi halal jika 'illat ( alasan dihukumi ) tersebut belum jelas, karena tidak ada putusan hukum jika tidak ada illatnya ( lama hukma illa bi illatin ), kemudian carilah terlebih dulu di kitab-kitab fiqih, sebab di dalam kitab fiqih telah tertulis keputusan-keputusan hukum.
Hari ini, posisi kita hanya sebagai penyampai ( mubaligh ), sebagai pembaca ( muqri ) bukan penggali hukum ( mujtahid ), bukan pula hakim. Hakim yang dimaksud dalam kitab al-Bayan adalah Gusti Allah SWT. Ini dalam agama Islam, bukan hakim yang dimaksud dalam penjelasan hukum postitif kita.
Dengan sadarnya posisi ini, kita tidak terbawa nafsu untuk mengklaim paling paham dalam menghukumi suatu persoalan.
Umat Islam di Indonesia ini adalah yang terbesar di dunia, alangkah tidak eloknya dibimbing oleh ustadz yang hanya di posisi mubaligh namun mengambil posisi mujtahid dan mufti. Kiai-kiai kita yang di NU saja dengan tawadlu'nya sebagai alim dan faqih tidak memposisikan mufti atau mujtahid tetapi sebagai muqri, dan mubaligh, meskipun beliau-beliau itu pantas menyandang posisi mufti atau qodli, karena ada yang sudah mencapai posisi musnid ( memiliki sanad ilmu ) atau mutafanin ( mampu menguasai ilmu-ilmu Islam yang lengkap dan detil).
Sekedar pendapat, bila kita temukan persoalan-persoalan kekinian meski ringan sekalipun apalagi yang musykilat ( sulit ) baiknya kita telaah terlebih dahulu kitab-kitab rujukan yang sesuai madzhabnya masing-masing. Jangan asal jeplak, khawatir ngejeblug.
Wakil Ketua PW GP Ansor Banten
Ketua PW Rijalul Ansor Banten