Kembali Pada Musik, Sastra dan Film
0 menit baca
BantenEkspose.com - Bangunan peradaban suatu negeri itu terkadang terlihat pada konsistensinya atas perkembangan budaya. Estetik atau tidaknya lalu bisa kita amati dari pengaruhnya budaya yang dihidupkan melalui seni, sastra dan musik terhadap kehidupan suatu bangsa.
Kita, negeri yang kaya akan budaya. Naturalitas budaya, seperti menjaga alam, melestarikan adat dan tradisi, menguatkan bahasa, menghaluskan sikap dan budi pekerti, semacam fenomena umum yang terdeskripsi di masyarakat kita. Ini fokus dari ekspektasi masa depan bahwa Indonesia sebagai negeri yang berperadaban maju, etik dan estetik.
Belakangan, musik Barat sayup-sayup semakin hilang dari peredaran. Kalangan muda tak sedikitpun waktunya melepaskan tangannya dari Smartphone (mungkin era 4.0), yang dilihat adalah Youtube, jemarinya terbiasa menulis status di medsos. Pertanyaannya kapan bisa menikmati konser musik, kapan bioskop bisa berjubel lagi, kapan festival baca puisi dan deklamasi bisa digelar, baik di kampus-kampus atau sekolah, dan atau di pondok pesantren.
Masa itu, selalu terkenang. Konser Band Padi, Dewa 19, Gigi, Slank, Zamrud, Ungu Boomerang, dan Peterpan yang menyeruak di alam fikiran kita dengan menghibur, membeningkan suasana. Apalagi jika yang terdengar suara Nike Ardila, Nicky Astria, Conny Dio, dan Roker lainnya. Semua menjadi kenangan betapa indah dan harmoninya bangsa ini, kala itu.
Tidak jarang sederet konser band luar negeri yang diramaikan oleh Log Zalabhour, Ardi Subono, seperti Bon Jovi, Guns N Roses, Queen, Air Supplay, Rolling Stone, dan lainnya telah menggiring nalar dan kejiwaan kita pada suatu pemaknaan bahwa hidup bisa dinikmati dengan lagu dan irama musik. Kita pun terkadang nyaman dengar lagu Imagine-nya John Lennon, lagu White Dove-nya Scorpion, lagi Everthing for you-nya Bryan Adam, lagu My Way-nya Frank Sinatra, Hey Jude-nya The Beatles, One Day in My Life- nya Michael Jackson, Good Bye-nya Air Supply. Indah nan damai hari-hari saat itu.
Sastra pun, begitu hidupnya. Meski era itu fanatiknya pada agama masih tebal. Tapi, tak satu pun kiai atau ustadz menghujat dan menyampaikan fatwa liar. Jika pun itu tidak benar-benar melanggar syariat. Satra lewat puisi-puisi yang digubah para penyair mampu menghangatkan suasana, kadang Taman Ismail Marzuki menggelar festival puisi. Kita juga dimanjakan oleh produktivitas para novelis, sastrawan dengan seringnya kita baca karya-karya mereka yang best seller, meskipun tak menandingi best seller-nya Harry Potter- J.K Rowling dan The Satanic Versus-nya Salman Rusdie.
Ingat sekali, novel Sengsara Membawa Nikmat, yang difilemkan, Roman Siti Nurbaya yang disinetronkan, masuk era abad 21, novel-novel best seller seperti Ayat-ayat Cinta-nya Habiburrahman el-Shiroji, Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata, dan novel-novel karya Remy Shilado yang otentik dan oriental, novel yang berseri seperti Balada Si Roy karya Gol A Gong yang cerdas, berani dan hebat ( rencana tayang di layar lebar ), itu semuanya telah menghiasi layar lebar dan layar kaca kita. Ragam cerita, pesan dan pelajaran dari karya-karya sastra tersebut mampu mendinginkan prahara hidup, baik pribadi maupun relasinya dengan negara.
Film, menjadi daya tarik tersendiri, sebagai media hiburan kalangan dewasa, muda maupun anak-anak. Film Indonesia, baik drama kolosal, drama percintaan, horor dan film-film laga yang berlatar sejarah dan dunia persilatan
Saat mana juga film, menjadi warna peradaban bangsa ini, hingga tidak sejengkal pun meninggalkan jejak natural dari budaya an sich. Budaya Indonesia.
Kini, melihat deskripsi masa lalu itu ingin sekali tampil di halaman depan peradaban bangsa ini. Yang sudah rusak oleh politik. Politik kini selalu menciptakan kegelisahan-kegelisahan, antara yang kalah dan yang menang, seolah membelah " daging " persaudaraan sesama bangsa. Politik pula, memisahkan nafas persaudaraan secara perlahan-lahan dari jiwanya yang menghendaki ikatan persamaan senasib dan sebangsa.
Harapan kita, jika ini boleh dan didukung. Kita ingin kembali menjadi satu bangsa, satu saudara satu jiwa yaitu jiwa bangsa Indonesia yang kuat, bersatu, bersaudara dengan tanpa beban politik.
Menggubah lirik musik, menulis sastra, menonton film untuk kemudian menjadi menu peradaban Indonesia. Indonesia yang indah, penuh kasih sayang, dituangi cinta, berkah dan damai.
Saya ingat Pramoedia Ananta Toer, bilang begini "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”.
Chairil Anwar pun sudah ingatkan kita, ada yang berubah, ada yang bertahan. Karena zaman tak bisa dilawan. Yang pasti kepercayaan harus diperjuangkan.
Penulis: Hamdan Suhaemi
Wakil Ketua PW GP Ansor Banten