BREAKING NEWS

Menghidupkan Seni Saat Pandemi

BantenEkspose.com - 
Sejak politik diposisikan sebagai isu sentral, hingga terjadi polarisasi tajam di tengah bangsa ini. Kita melihatnya sebagai fenomena sosial karena berhubungan dengan konflik dan dinamika. Politik, menjadi panglima bukan hukum.

Pilpres 2014 awal dari benturan politis, kaum nasionalis, mereka yang berpijak pada perjuangan dan tujuan negara bangsa sesuai dengan cita-cita para pendiri negara. Kaum agamis ( fundamentalisme agama ), mereka yang orientasi politiknya adalah mencita-citakan tegaknya syariat Islam.

Dua kekuatan besar inilah yang menyita pemikiran dan perasaan seluruh bangsa. Satu kelompok mengambil posisinya dengan konsisten dan pada klompok lainya juga keras mempertahankan cita-cita. Titik temu dari polarisasi politis itu adalah kesadaran kolektif. Ini yang bisa selamatkan keutuhan negara.

Seni, menjadi harapan baru untuk kemudian mencairkan suasana, membongkar kebekuan, hingga menyatukan polarisasi tersebut di bawah keindahan seni.

Menggerakan kembali seni rupa untuk menyejukan pandangan mata dan menikmati nilai, taste estetiknya. Menghidupkan seni sastra dengan menggemakan budaya literasi, mendakwahkan keindahan gaya bahasa dan nilai kesusastraan bahsa Indonesia yang sarat akan makna dan moralitas. Hingga memulai lagi meramaikan jagad musik dengan menyelenggarakan event-event kontes, pagelaran seni musik, dan konser-konser musik.

Meski kita juga tidak memaksakan, lebih-lebih ini dalam posisi pandemi covid 19. Suatu kondisi pandemik global yang menyita perhatian dunia.

Kita masih rindu puisi-puisi Gus Mus, Aang Zamzam, Cak Nun. Kita pun masih ingin mendengar Taufik Ismail membacakan puisinya. Bahkan masih tersisa dalam ingatan kita bertebaran novelis-novelis muda seperti Andrea Hirata, Habiburahman elsiroji ( kang Abik ), Dewi Lestari, Asma Nadia dan lain-lainya. Hingga yang paling kita kenali Mas Golagong Penulis sang sastrawan besar Indonesia yang gigih dan konsisten di dunia literasi.

Kita juga masih ingin mendengar suara-suara siswa membacakan puisi-puisi Chairil Anwar, W.S Rendra, Sutarji Colzum Bachri, Sapardi Joko Damono, Kuntowijoyo, Romo YB Mangunwijaya dan banyak lagi penyair-penyair lainya yang telah mewarnai jagad kesusastraan Indonesia.

Suatu kerinduan yang masih " hidup kecil " di dalam jiwa raya kita sebagai bangsa yang terlahir sebagai bangsa yang memiliki kekayaan dialek dan bahasa. Suatu kekayaan yang negeri lain tak memilikinya.

Perlu ada gerakan nasional untuk menghidupkan kembali nafas-nafas seni yang terbebas dari belenggu politik, dan sudah seharusnya negara mengkampanyekan dan memberi putusan dengan political will atas perkembangan dan kemajuan seni bangsa ini.

Penghargaan demi penghargaan harus terus dilakukan sebagai spirit dan motivasi, pengakuan negara atas seniman juga jauh lebih berarti untuk menjadi pendorong akan tumbuh kembangnya seni dan sastra.

Ini saya yang merindukan munculnya Hamka, Marah Rusli, Ayip Rosidi, Sumanjaya, Ganes TH, Bastian Tito, Kho Ping Ho Asmaraman, Sanusi Pane, Umar Kayam, bahkan yang terindukan sosok H.B Jassin. 

Semoga anak negeri ini mau bangun dan membangunkan tidur lelapnya seni dan sastra Indonesia dengan ketulusan, kecintaan dan keindahan hati. 

Penulis: Hamdan Suhaemi 
Ketua PW Rijalul Ansor Banten
Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image