BREAKING NEWS

CSR Untuk Siapa?

BantenEkspose.com - 
Diskursus mengenai CSR (Corporate Social Responsibility), selalu hangat dan menjadi proyeksi dari setiap dunia usaha, elemen masyarakat dan pemerintah. Hal ini dikarenakan CSR berkaitan erat dengan eksitensi perusahan yang berpotensi untuk mengubah lingkungan masyarakat baik kearah positif atau negatif.

 Perubahan yang di timbulkan dari aktivitas perusahan ini  erat kaitannya dengan struktur sosial, ekonomi dan lingkungan di masyarakat. Alhasil, CSR memungkinkan kepentingan yang kuat mengkooptasi baik dalam perspektif personal maupun komunal.

Karena banyaknya kepentingan yang terlibat, CSR seringkali membuka ruang konflik yang tak berkesudahan. Konflik tercipta mulai dari tidak tepatnya peruntukan CSR hingga kurang terlibatnya partisipasi masyarakat sekitar perusahan (Local wisdom) sebagai komunitas komunal yang terdampak langsung aktivitas perusahan sebagai agen of development.

Konflik di masyarakat yang merupakan aspek intrinsik, tidak mungkin dapat dihindari sebagai dari ekspresi heteroginitas atas ekses aktivitas perusahan terhadap struktur local wisdom. Jika konflik didasarkan pada mulai sadarnya masyarakat terhadap hak yang dikebiri oleh perusahan dan kalangan elit, itu tidak menjadi persoalan, namun konflik yang lahir dari ketidakpahaman yang baik dan mendalam sebagai akibat kurangnya sosialisai dan partisipasi masyarakat serta stakeholder harus di rumuskan. Jika tidak, akan menjadi bom waktu yang tidak hanya merugikan pihak pelaku dunia usaha dan industri (perusahan) tetapi juga pemerintah. 

Urgensi CSR
Disadari atau tidak, CSR hari ini masih diperspektifkan sebagai sumbangan sosial (Clarity). Perusahan hanya  berkewajiban melakukan beberapa sumbangan kepada masyarakat atau stakeholders saja, kemudian  tanggung jawab sosial perusahan  dianggap sudah tuntas.  Atau artinya ketika perusahan tidak melakukan tanggung jawab sosial terhadap dampak yang di akibatkan oleh perusahan, Perusahan masih bisa beroperasi mengumpulkan pundi-pundi keuntungan yang sebesar-besarnya. 
Menyikapi hal ini, tentunya kita harus kembali merefleksi dari apa itu CSR serta peruntukannya.

Menurut  World Business Council on Sustainable Development (WBCSD):  mendefinisikan CSR sebagai “Corporate Social Responsibility is the continuing commitment by business to be have ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the local community and society at largean (Fox, et, al 2002).

Dari definisi tersebut kita dapat mengetahui bahwa CSR merupakan komitmen perusahan untuk berprilaku etis berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan, seraya meningkatkan kualitas hidup karyawan, komunitas masyarakat lokal, dan masyarakat luas.  Maka CSR harusnya terprogram, terencana, terlaksana terus menerus,  sehingga dapat dirasakan dengan baik oleh masyarakat. Tidak sebaliknya, justru hanya kondisional, erat kepentingan, CSR diberikan ketika ada reaksi dari masyarakat terhadap hak atas dampak perusahan.

Karena berkaitan dengan tanggung jawab social, CSR harus mewujudkan fungsi objek formalnya yaitu sebagai tanggung jawab korporat (perusahan) yang multidimensional, sehingga masyarakat dapat menikmati makna ektisensi dan esensinya dalam ko-ektisensi yang kondusif bagi interaksi yang saling menguntungkan baik korporat (perusahan) maupun masyarakat. Jika ini terjadi maka keselarasan, keserasian dan kesejahtraan spiritual dan material dapat diwujudkan.

CSR Dalam Persfektif Local Wisdom
Penerapan kegiatan corporate social responsibility (CSR) didasarkan pada banyak alasan dan tuntutan sebagai panduan antara faktor internal dan eksternal.  Pertimbangan korporat (perusahaan) melakukan kegiatan CSR yaitu salah satunya untuk memperoleh licence to operate dari masyarakat sekitar dan bagian dari risk management perusahan untuk menghindari konflik sosial.

Namun sayangnya, tak jarang aktivitas korporat (perusahan) justru malah merusak dari local wisdom yang ada, sehingga menimbulkan konflik. Mungkin masih ingat konflik masyarakat Mesuji Lampung, konflik adat Dayak Ngaju, dan lainnya.

Kita tahu, Local wisdom merupakan kearifan lokal dicirikan dengan kehidupan masyarakat yang berpandangan ekosintrisme. Ekosintrime merupakan suatu pandangan etika yang berlaku pada seluruh komponen lingkungan dan seluruh komponen ekologis (abiotik dan biotik). Ini artinya masyarakat dalam hal ini  Local wisdom sangat memperdulikan lingkungan (alam).

Gagasan kearifan lokal tersebut seringkali merupakan hasil interaksi manusia dengan lingkungan fisik (alam) disekitarnya. Sehingga jika korporat (perusahaan) melakukan aktivitasnya bersebrangan dengan kehidupan Local wisdom, konflik tidak bisa dihindarkan.

Ada bebrapa hal penting yang harus di perhatikan oleh korporat (perusahsan) terkait CSR sehingga konflik dapat diminimalisir, diantaranya optimalisai peran serta masyarakat lokal (Local wisdom) dalam aktivitas perusahan, adanya upaya prefentive terhadap kerusakan lingkungan, pemberdayaan masyarakat dan optimalisasi partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan CSR yang meliputi proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

Bila itu tidak dilakukan, maka wajar di masyarakat ada prasangka (Prajudice) bahwa CSR hanya menguntungkan bagi para oknum bandit namun tidak di rasakan kebermanfaatnya oleh komunitas masyarakat  lokal (Local wisdom).

Akhinya masyarakat merasa terusik dan terganggu dengan aktivitas perusahan sehingga perusahan dianggap ancaman. CSR harus mampu mengakomodir kepentingan masyarakat lokal (Lokal wisdom) menciptakan kehidupan yang lebih baik, dengan tetap menjaga kelangsungan hidup perusahan dengan menciptakan profitibalitas.

Penulis: 
Jajang Miharja
Ketua BBC
Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image