CSR Untuk Siapa?
0 menit baca
BantenEkspose.com - Diskursus
mengenai CSR (Corporate Social
Responsibility), selalu hangat dan menjadi proyeksi dari setiap dunia usaha,
elemen masyarakat dan pemerintah. Hal ini dikarenakan CSR berkaitan erat dengan
eksitensi perusahan yang berpotensi untuk mengubah lingkungan masyarakat baik
kearah positif atau negatif.
Perubahan
yang di timbulkan dari aktivitas perusahan ini erat kaitannya dengan struktur sosial, ekonomi
dan lingkungan di masyarakat. Alhasil, CSR memungkinkan kepentingan yang kuat mengkooptasi
baik dalam perspektif personal maupun komunal.
Karena banyaknya kepentingan
yang terlibat, CSR seringkali membuka ruang konflik yang tak berkesudahan. Konflik
tercipta mulai dari tidak tepatnya peruntukan CSR hingga kurang terlibatnya
partisipasi masyarakat sekitar perusahan (Local
wisdom) sebagai komunitas komunal yang terdampak langsung aktivitas
perusahan sebagai agen of development.
Konflik di masyarakat yang merupakan aspek
intrinsik, tidak mungkin dapat dihindari sebagai dari ekspresi heteroginitas
atas ekses aktivitas perusahan terhadap struktur local wisdom. Jika konflik didasarkan pada mulai sadarnya
masyarakat terhadap hak yang dikebiri oleh perusahan dan kalangan elit, itu
tidak menjadi persoalan, namun konflik yang lahir dari ketidakpahaman yang
baik dan mendalam sebagai akibat kurangnya sosialisai dan partisipasi
masyarakat serta stakeholder harus di
rumuskan. Jika tidak, akan menjadi bom waktu yang tidak hanya merugikan pihak
pelaku dunia usaha dan industri (perusahan) tetapi juga pemerintah.
Urgensi CSR
Disadari atau tidak, CSR hari ini masih diperspektifkan sebagai sumbangan sosial (Clarity). Perusahan hanya berkewajiban melakukan beberapa sumbangan kepada masyarakat atau stakeholders saja, kemudian tanggung jawab sosial perusahan dianggap sudah tuntas. Atau artinya ketika perusahan tidak melakukan tanggung jawab sosial terhadap dampak yang di akibatkan oleh perusahan, Perusahan masih bisa beroperasi mengumpulkan pundi-pundi keuntungan yang sebesar-besarnya. Menyikapi hal ini, tentunya kita harus kembali merefleksi dari apa itu CSR serta peruntukannya.
Disadari atau tidak, CSR hari ini masih diperspektifkan sebagai sumbangan sosial (Clarity). Perusahan hanya berkewajiban melakukan beberapa sumbangan kepada masyarakat atau stakeholders saja, kemudian tanggung jawab sosial perusahan dianggap sudah tuntas. Atau artinya ketika perusahan tidak melakukan tanggung jawab sosial terhadap dampak yang di akibatkan oleh perusahan, Perusahan masih bisa beroperasi mengumpulkan pundi-pundi keuntungan yang sebesar-besarnya. Menyikapi hal ini, tentunya kita harus kembali merefleksi dari apa itu CSR serta peruntukannya.
Menurut World Business Council on Sustainable
Development (WBCSD): mendefinisikan CSR
sebagai “Corporate Social Responsibility
is the continuing commitment by business to be have ethically and contribute to
economic development while improving the quality of life of the workforce and
their families as well as of the local community and society at largean (Fox,
et, al 2002).
Dari definisi tersebut kita
dapat mengetahui bahwa CSR merupakan komitmen perusahan untuk berprilaku etis
berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan, seraya meningkatkan
kualitas hidup karyawan, komunitas masyarakat lokal, dan masyarakat luas. Maka CSR harusnya terprogram, terencana,
terlaksana terus menerus, sehingga dapat
dirasakan dengan baik oleh masyarakat. Tidak sebaliknya, justru hanya
kondisional, erat kepentingan, CSR diberikan ketika ada reaksi dari masyarakat
terhadap hak atas dampak perusahan.
Karena berkaitan dengan tanggung jawab social, CSR harus mewujudkan
fungsi objek formalnya yaitu sebagai tanggung jawab korporat (perusahan) yang
multidimensional, sehingga masyarakat dapat menikmati makna ektisensi dan
esensinya dalam ko-ektisensi yang kondusif bagi interaksi yang saling
menguntungkan baik korporat (perusahan) maupun masyarakat. Jika ini terjadi
maka keselarasan, keserasian dan kesejahtraan spiritual dan material dapat
diwujudkan.
CSR Dalam Persfektif Local Wisdom
Penerapan
kegiatan corporate social responsibility
(CSR) didasarkan pada banyak alasan dan tuntutan sebagai panduan antara faktor
internal dan eksternal. Pertimbangan korporat
(perusahaan) melakukan kegiatan CSR yaitu salah satunya untuk memperoleh licence to operate dari masyarakat sekitar
dan bagian dari risk management
perusahan untuk menghindari konflik sosial.
Namun sayangnya, tak jarang aktivitas korporat
(perusahan) justru malah merusak dari local
wisdom yang ada, sehingga menimbulkan konflik. Mungkin masih ingat konflik
masyarakat Mesuji Lampung, konflik adat Dayak Ngaju, dan lainnya.
Kita tahu, Local wisdom merupakan kearifan lokal
dicirikan dengan kehidupan masyarakat yang berpandangan ekosintrisme.
Ekosintrime merupakan suatu pandangan etika yang berlaku pada seluruh komponen
lingkungan dan seluruh komponen ekologis (abiotik dan biotik). Ini artinya
masyarakat dalam hal ini Local wisdom sangat memperdulikan
lingkungan (alam).
Gagasan kearifan lokal tersebut seringkali merupakan hasil
interaksi manusia dengan lingkungan fisik (alam) disekitarnya. Sehingga jika
korporat (perusahaan) melakukan aktivitasnya bersebrangan dengan kehidupan Local wisdom, konflik tidak bisa
dihindarkan.
Ada bebrapa hal penting
yang harus di perhatikan oleh korporat (perusahsan) terkait CSR sehingga konflik
dapat diminimalisir, diantaranya optimalisai peran serta masyarakat lokal (Local wisdom) dalam aktivitas perusahan,
adanya upaya prefentive terhadap kerusakan lingkungan, pemberdayaan masyarakat
dan optimalisasi partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan CSR yang
meliputi proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
Bila itu tidak
dilakukan, maka wajar di masyarakat ada prasangka (Prajudice) bahwa CSR hanya menguntungkan bagi para oknum bandit
namun tidak di rasakan kebermanfaatnya oleh komunitas masyarakat lokal (Local
wisdom).
Akhinya masyarakat merasa
terusik dan terganggu dengan aktivitas perusahan sehingga perusahan dianggap
ancaman. CSR harus mampu mengakomodir kepentingan masyarakat lokal (Lokal
wisdom) menciptakan kehidupan yang lebih baik, dengan tetap menjaga
kelangsungan hidup perusahan dengan menciptakan profitibalitas.
Penulis: Jajang Miharja
Ketua BBC