BREAKING NEWS

Pesantren Sampang, Basis Harokah NU di Banten

Bantenekspose.com - 
Sampang adalah kampung yang terletak di Desa Susukan, Kecamatan Tirtayasa Kabupaten Serang Provinsi Banten. Kampung ini jika dilihat secara geografis ada di ujung Banten Utara dekat dengan delta, arah kiri delta tidak jauh dari teluk Banten, dan arah kanan bentangan laut Untung Jawa. Delta tersebut dikenal sejak zaman Kerajaan Pajajaran sebagai Pontang, dan orang Portugis di Malaka saat mengadakan perjanjian dengan Raja Pajajaran (Prabu Surowisesa) di Pakuan, menyebut delta itu adalah Pondam.

Sekitar tahun 1950 an, pasca kemerdekaan Kampung Sampang berubah menjadi transitnya  perampok-perampok yang mengambil rute laut untuk menghindari kejaran Komres (Polres) Serang. Akibatnya Sampang jadi sarangnya maksiat, tempatnya judi koprok dan sabung ayam. Seringnya pembunuhan dan kasus perkosaan terjadi.

Tampilnya Kiai Muda 
Sampang tahun 1960 an mulai berangsur berubah dari potret buram sosio-religinya, sejak kepulangan putera-putera KH.  Abdul Aziz dari belajarnya di beberapa pesantren di Banten dan Jawa Barat. Kiai Abdul Aziz, adalah orang tua yang ditokohkan oleh masyarakat Sampang kala itu sebagai kelanjutan dari figur sebelumya yaitu KH. Qosim, akrab di panggil Ama Puh. 

Diantara putera KH. Abdul Aziz tersebut, adalah Muhammad Syanwani yang baru pulang dari ngaji, bersuluk, bertarekat di Rencalang dibawah asuhan dan bimbingan mursyid tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah Syaikh Umar, tepat di tahun 1963. 

Pada saat yang bersamaan dalam masa awal istiqomahnya meneruskan jejak pendahulunya dalam membina umat, Muhammad Syanwani  menghadap KH. A. Khatib ( Residen Banten ) gurunya di kediamannya di Banten Lama.

Syanwani minta restu pada gurunya itu untuk istiqomah membina umat. Kiai Khatib yang dikunjungi muridnya ini telah berpesan kepadanya terkait bagaimana mestinya ia berkiprah dalam hidup. Adapun pesan Kiai Khatib terhadap Syanwani adalah seperti berikut ini ” mang san seniki bangkit milih ayun terus sereng tarekat tapi mang san boten bakal derbe santri, atawa mang san nguculi tarekat tapi santri bakale katah “ dan seterusnya Kiai Khatib menandaskan dengan ucapan seperti ini “ mang san wis uculi saos narekate, masyarakat lebih butuh ning mang san “.  Dari  ucapan - ucapan Kiai Khatib ini rupanya oleh Syanwani dijadikan pegangan, ia karena gurunya dalam pelajaran ilmu - ilmu keislaman juga ia seorang guru tarekat. 

Kemampuan Kiai Khatib ini mentelaah masa depan, sama percisnya dengan Kiai Umar, maklum keduanya bagi Syanwani adalah sang guru yang agung. 

Pada 1964 setelah selesai riyadloh  dan mujahadah, Syanwani yang telah tampil menjadi Kiai muda memulai kiprahnya dengan mengasuh dan mengajar santri, dan mulai debutnya mendirikan tempat-tempat belajar santri yang semakin hari semakin bertambah. Ini pula titik awal mulainya mendirikan pondok pesantren yang ia namakan Ashhabul Maimanah. 
Kiprah di NU 

Pesantren Ashhabul Maimanah sejak didirikannya mulai berdatangan santri dari berbagai daerah. Awalnya hanya 20 orang santri kemudian berangsur-angsur bertambah hingga 1966 tercatat santri sekitar 100 lebih. 

Tahun 1966, dimulainya masa perkenalannya dengan kiai-kiai sepuh, terutama dengan KH. A. Khabir, pengasuh pesantren Kubang Petir (santri Hadrotusyaikh Hasyim Asyari Tebuireng), dan Kiai Syanwani pun dikenalkan dengan kiai sepuh NU yaitu KH. Amin (ayahanda Wapres RI KH. Ma'ruf Amin)

Keakraban 3 kiai tersebut penanda debutnya mengurus NU di Banten. Ketiganya dikenal sebagai muharrik NU bagian Banten Utara, sementara dari bagian Banten Selatan terdapat kiprah pada NU dari figur KH Tb. Ma'ani Rusdi dan KH. Hafidz Usman.

Awal dekade 70-an, saat bersamaan dengan awal mulainya kepemimpinan Jenderal Seoharto sebagai Presiden Republik Indonesia yang kedua setelah menggantikan Presiden Soekarno di tahun 1967.

Pada dekade tersebut, Kiai Syanwani yang saat itu mengasuh ratusan santri mulai dikenal sebagai kiai muda yang berkarakter pemberani, kuat, di atas rata-rata cerdas dan sakti. Di luar Sampang kiai muda ini disebut sebagai macannya Pontang. Pada masa ini pergolakan ideologis memanas antara kubu tradisionalis yang dipimpin KH. Syanwani (Wakil Rois Syuriah NU Banten) dengan kubu modernis yang diwakili oleh kiai muda yang juga berotak encer yakni Ustadz Saefudin Hasan.

Memasuki era 1980-an gambaran umum kehidupan bangsa Indonesia relatif aman dan tertib. Saat itu pula debutnya KH. Syanwani di NU mulai diperhitungkan oleh tokoh-tokoh NU di PBNU. Totalitasnya berhidmat di NU tidak hanya sebatas sebagai pengurus NU namun KH. Syanwani juga adalah penggrak dinamisasi NU di Banten mulai dari membina GP Ansor hingga menggerakan masa jamaah Nahdliyyin baik dari santri-santrinya maupun masyarakat umum ketika ada acara-acara NU.

Tak kurang, begitu fenomenalnya Sampang di era 1980-an menjadi basis pergrakan intelektualisme agama sekaligus basisnya pergerakan NU di Banten. Ribuan santri KH. Syanwani juga nilai tambah dari kuatnya pengaruhnya terhadap kehidupan beragama umumnya masyarakat Serang.

Sampang, pada dekade 80-an tak ubahnya sebagai magnet ilmu agama dan basisnya Manhaj dan harokahnya NU. Itu tidak lain karena ketinggian ilmu dan kharismatiknya KH. Syanwani. 

Penutup
Karena gajah meninggalkan gading, harimau meninggalkan belang, maka tokoh sejarah pasti meningalkan jejaknya. Yaitu jejak ilmu dan pengaruh. Dalam hal ini al-Marhum al-Maghfurlah al-Alim al-Allamah Syaikh Syanwani Sampang patut disebut manusia menyejarah, panutan yang tak lekang untuk selalu dianuti. Baik ilmunya, wasiatnya, hingga ideologinya (Islam Ahlu Sunnah wal Jamaah an-Nahdliyah) hingga sampainya hari akhir.

Penulis: Hamdan Suhaemi
Ketua PW Rijalul Ansor Banten
Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image