Penulis : Hamdan Suhaemi Bagi pencinta sejarah menjadi marah jika ada yang membelokkan sejarah, mengacak-acak alur sejarah, bahkan bisa...
Penulis : Hamdan Suhaemi
Bagi pencinta sejarah menjadi marah jika ada yang membelokkan sejarah, mengacak-acak alur sejarah, bahkan bisa-bisa memprosesnya ke hukum saat ada orang atau lembaga yang menghilangkan sejarah atau memutarbalikan fakta sejarah. Saya termasuk pencinta sejarah, maqom saya bukan sejarawan, ahli sejarah atau pakar sejarah. Tepat posisinya di pencinta saja.
Pembelokan Sejarah
Agenda kader-kader militan dari organisasi yang kini terlarang yakni HTI semakin gencar lakukan propaganda "Spin Doctor" dengan segala cara dihalalkan, lajnah-lajnah yang mereka bentuk untuk kemudian bertugas melakukan penetrasi dan indoktrinasi agar opini bangsa menyutujui adanya khilafah.
Berbagai propaganda keji itulah HTI dan wadyabalanya yang sedikit tapi militan sekaligus kerasukan iblis-iblis ISIS untuk terus menerus mewujudkan cita-cita tegaknya khilafah islamiyah di Indonesia. Terutama kini hangat viral jejak khilafah yang mau difilemkan dengan judul film "Jejak Khilafah di Nusantara".
Merangsek ingin menulis, dengan jiwa yang seolah dituangi timah yang panas untuk menjawab kekeliruan-kekeliruan opini kesejarahan, yang dibuat oleh antek-antek HTI tersebut. Jika saya hari ini adalah Kapolri mungkin telegram ganas dan tegas untuk meringkus tokoh-tokoh dan penyandang dana harokah HTI akan tersebar ke seluruh Polda-Polda se-Indonesia.
Meluruskan Sejarah
Gelar yang disematkan kepada sultan-sultan se-Nusantara dengan gelar Arab diduga pemberian Sultan Turky yang diklaim HTI, sebagai kekhilafahan Ottoman yang tampil sebagai Imperium Islam, dengan pengertian bahwa Kesultanan Turky Usmani meski bentuk negaranya kesultanan tapi fungsinya telah menerapkan khilafah.
Padahal khilafah saat zaman Sahabat Nabi itu dibai'at oleh 2 golongan Muhajirin dan Ansor dan dipilih secara musyawarah mufakat oleh 2 kelompok tersebut. Itu artinya sistem demokrasi sudah dipraktikan oleh para sahabat Nabi sebagai hasil ijtihadnya Saidina Umar bin Khattab untuk mengangkat pemimpin setelah wafatnya Nabi di tahun 632 M, ijtihad untuk menggantikan kepemimpinan atas umat Islam sekaligus mengantikan tugas atas dakwah risalah Islam ke umat manusia.
Bantahan ini, saya ambil dari sumber babad yang ditulis dengan bentuk pupuh di akhir abad 17 M. Saat peristiwa tertangkapnya 3 Pangeran ( putera mahkota kesultanan Pakungwati Cirebon ) oleh pasukan Untung Suropati di Kraton Mataram tahun 1672. Diantara 3 pangeran dari Cirebon itulah kemudian salah satunya menulis catatan sejarah raja-raja nusantara yang dihimpun secara apik dan detil olehnya dengan diberi judul "Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara" dan buku babad yaitu "Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa" kedua buku jenis kidung yang ditulis di daun lontar oleh Pangeran Wangsakerta (cicitnya Sunan Gunung Jati) diberi tanda Parwa I dan Sarga 4.
Dalam babad sejarah yang tertuang di 2 kitab karya Pangeran Wangsakerta dijelaskan sebagai berikut :
Jadi, tidak ada catatan sejarah yang menulis bahwa Sultan Turky yang melantik Sunan Gunung Jati sebagai sultan Cirebon bagian Vassal Kesultanan Turky Usmani atau yang masuk sebagai taklukan khilafah. Padahal saat itu Turky dibawah kepemipinan Sultan Muhammad al-Fatih di tahun 1453 M baru saja menaklukan Konstantinopel itu artinya Sultan Turky punya pengaruh besar terhadap daerah takulkannya. Sultan yang bermadzhab Ahlu Sunnah Wal Jamaah dengan pengamlan madzhab fiqih Hanafi. Ini pun petunjuk bahwa sang sultan terbesar Turky ini tidak tengah menerapkan khilafah. Seuatu kontradiksi antara paham sunny yang ikut tradisi musyawarah dan tradisi kesanadan dengan paham khowarij yang mengghendaki tegaknya kekuasaan dengan memaksa syariat Islam sesuai syariat yang dbuat mereka.
Merujuk ke buku "Ensiklopedi Raja-Raja Jawa" yang ditulis oleh Krisna Bayu Aji pada halaman 106 dijelaskan bahwa pada awal kepemimpinanya atas Kesultanan Mataram, Raden Mas Rangsang sang putera mahkota ini naik tahta menggantikan mendiang ayahnya dengan memilih gelarnya sendiri Panembahan Hanyakrakusuma atau Prabu Pandita Hanyakrakusumo. Setelah menakulkan Madura tahun 1624 M, sang sultan mengganti gelarnya Susuhunan Agung Hanyakrakusuma atau sering disebut Sunan Agung. Pada 1640 M gelar yang disematkan kepadanya adalah Sultan Agung Senapat ing nglaga Abdurrahman , dan kemudian di tahun 1641 Sultan Agung mendepat gelar dari Syarif Mekkah yaitu Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram.
Jadi posisi sultan pada kesultanan Mataram, juga tidak sama sekali ada hubungannya dengan Turky Usmani, jika pun dipaksa ada sejarahnya itu Sultan Turky tidak lebih memberi gelar sultan terhadap sultan-sultan Mataram seperti pada Sultan Agung melalui Syarif Mekkah.
Dua contoh kesultanan yang berdiri di tahun 1448 yakni Kesultanan Pakungwati Cirebon dan Kesultanan Mataram yang berdiri sekitar akhir abad 16 M ( 1595 ) adalah kesultanan yang mahardika ( merdeka ) dari ikatan kekuasaan dari imperium manapun. Coraknya jelas negara berbentuk kesultanan.
Dari bantahan-bantahan historis diatas, kita pun sebenarnya paham bahwa sultan -sultan di seluruh Nusantara itu naik tahta berdasarkan nasab keturunan bukan khilafah dengan cara bai'at.
Catatan sejarah pun dari puluhan buku sejarah tak ada sama sekali menulis fakta bahwa kesultanan meneggakkan syariat Islam, tapi jika panetep agama itu benar, dan dalam menjalankan kekuasaan kesultannya tidak sama sekali memaksa syarat islam sebagai landasan negara. Agama sebagai pedoman hidup dan bukan alat kuasa negara.
Penutup
Tulisan diatas adalah menjawab dan tegas membantah bahwa jejak khilafah di Nusantara sama sekali bohong, dan itu merupakan nanipulasi fakta sejarah. (*)
Bagi pencinta sejarah menjadi marah jika ada yang membelokkan sejarah, mengacak-acak alur sejarah, bahkan bisa-bisa memprosesnya ke hukum saat ada orang atau lembaga yang menghilangkan sejarah atau memutarbalikan fakta sejarah. Saya termasuk pencinta sejarah, maqom saya bukan sejarawan, ahli sejarah atau pakar sejarah. Tepat posisinya di pencinta saja.
Pembelokan Sejarah
Agenda kader-kader militan dari organisasi yang kini terlarang yakni HTI semakin gencar lakukan propaganda "Spin Doctor" dengan segala cara dihalalkan, lajnah-lajnah yang mereka bentuk untuk kemudian bertugas melakukan penetrasi dan indoktrinasi agar opini bangsa menyutujui adanya khilafah.
Berbagai propaganda keji itulah HTI dan wadyabalanya yang sedikit tapi militan sekaligus kerasukan iblis-iblis ISIS untuk terus menerus mewujudkan cita-cita tegaknya khilafah islamiyah di Indonesia. Terutama kini hangat viral jejak khilafah yang mau difilemkan dengan judul film "Jejak Khilafah di Nusantara".
Merangsek ingin menulis, dengan jiwa yang seolah dituangi timah yang panas untuk menjawab kekeliruan-kekeliruan opini kesejarahan, yang dibuat oleh antek-antek HTI tersebut. Jika saya hari ini adalah Kapolri mungkin telegram ganas dan tegas untuk meringkus tokoh-tokoh dan penyandang dana harokah HTI akan tersebar ke seluruh Polda-Polda se-Indonesia.
Meluruskan Sejarah
Gelar yang disematkan kepada sultan-sultan se-Nusantara dengan gelar Arab diduga pemberian Sultan Turky yang diklaim HTI, sebagai kekhilafahan Ottoman yang tampil sebagai Imperium Islam, dengan pengertian bahwa Kesultanan Turky Usmani meski bentuk negaranya kesultanan tapi fungsinya telah menerapkan khilafah.
Padahal khilafah saat zaman Sahabat Nabi itu dibai'at oleh 2 golongan Muhajirin dan Ansor dan dipilih secara musyawarah mufakat oleh 2 kelompok tersebut. Itu artinya sistem demokrasi sudah dipraktikan oleh para sahabat Nabi sebagai hasil ijtihadnya Saidina Umar bin Khattab untuk mengangkat pemimpin setelah wafatnya Nabi di tahun 632 M, ijtihad untuk menggantikan kepemimpinan atas umat Islam sekaligus mengantikan tugas atas dakwah risalah Islam ke umat manusia.
Bantahan ini, saya ambil dari sumber babad yang ditulis dengan bentuk pupuh di akhir abad 17 M. Saat peristiwa tertangkapnya 3 Pangeran ( putera mahkota kesultanan Pakungwati Cirebon ) oleh pasukan Untung Suropati di Kraton Mataram tahun 1672. Diantara 3 pangeran dari Cirebon itulah kemudian salah satunya menulis catatan sejarah raja-raja nusantara yang dihimpun secara apik dan detil olehnya dengan diberi judul "Pustaka Rajya-Rajya i Bhumi Nusantara" dan buku babad yaitu "Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa" kedua buku jenis kidung yang ditulis di daun lontar oleh Pangeran Wangsakerta (cicitnya Sunan Gunung Jati) diberi tanda Parwa I dan Sarga 4.
Dalam babad sejarah yang tertuang di 2 kitab karya Pangeran Wangsakerta dijelaskan sebagai berikut :
"ateher kamasiwing ikang sangan, manganugerahani ring susuhunan jati, kakawasan dumadi pantep pantagama rat sunda, i bhumi jawa kulwan, ikang tamolah ing kitha carbon "artinya : Kemudian Wali Songo menganugerahi gelar kekuasaan kepada sunan gunung jati ( Syaikh Syarif Hidyatullah ) menjadi panetep agama rakyat sunda di bumi jawa bagian barat berkedudukan di negeri Cirebon.
Jadi, tidak ada catatan sejarah yang menulis bahwa Sultan Turky yang melantik Sunan Gunung Jati sebagai sultan Cirebon bagian Vassal Kesultanan Turky Usmani atau yang masuk sebagai taklukan khilafah. Padahal saat itu Turky dibawah kepemipinan Sultan Muhammad al-Fatih di tahun 1453 M baru saja menaklukan Konstantinopel itu artinya Sultan Turky punya pengaruh besar terhadap daerah takulkannya. Sultan yang bermadzhab Ahlu Sunnah Wal Jamaah dengan pengamlan madzhab fiqih Hanafi. Ini pun petunjuk bahwa sang sultan terbesar Turky ini tidak tengah menerapkan khilafah. Seuatu kontradiksi antara paham sunny yang ikut tradisi musyawarah dan tradisi kesanadan dengan paham khowarij yang mengghendaki tegaknya kekuasaan dengan memaksa syariat Islam sesuai syariat yang dbuat mereka.
Merujuk ke buku "Ensiklopedi Raja-Raja Jawa" yang ditulis oleh Krisna Bayu Aji pada halaman 106 dijelaskan bahwa pada awal kepemimpinanya atas Kesultanan Mataram, Raden Mas Rangsang sang putera mahkota ini naik tahta menggantikan mendiang ayahnya dengan memilih gelarnya sendiri Panembahan Hanyakrakusuma atau Prabu Pandita Hanyakrakusumo. Setelah menakulkan Madura tahun 1624 M, sang sultan mengganti gelarnya Susuhunan Agung Hanyakrakusuma atau sering disebut Sunan Agung. Pada 1640 M gelar yang disematkan kepadanya adalah Sultan Agung Senapat ing nglaga Abdurrahman , dan kemudian di tahun 1641 Sultan Agung mendepat gelar dari Syarif Mekkah yaitu Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram.
Jadi posisi sultan pada kesultanan Mataram, juga tidak sama sekali ada hubungannya dengan Turky Usmani, jika pun dipaksa ada sejarahnya itu Sultan Turky tidak lebih memberi gelar sultan terhadap sultan-sultan Mataram seperti pada Sultan Agung melalui Syarif Mekkah.
Dua contoh kesultanan yang berdiri di tahun 1448 yakni Kesultanan Pakungwati Cirebon dan Kesultanan Mataram yang berdiri sekitar akhir abad 16 M ( 1595 ) adalah kesultanan yang mahardika ( merdeka ) dari ikatan kekuasaan dari imperium manapun. Coraknya jelas negara berbentuk kesultanan.
Dari bantahan-bantahan historis diatas, kita pun sebenarnya paham bahwa sultan -sultan di seluruh Nusantara itu naik tahta berdasarkan nasab keturunan bukan khilafah dengan cara bai'at.
Catatan sejarah pun dari puluhan buku sejarah tak ada sama sekali menulis fakta bahwa kesultanan meneggakkan syariat Islam, tapi jika panetep agama itu benar, dan dalam menjalankan kekuasaan kesultannya tidak sama sekali memaksa syarat islam sebagai landasan negara. Agama sebagai pedoman hidup dan bukan alat kuasa negara.
Penutup
Tulisan diatas adalah menjawab dan tegas membantah bahwa jejak khilafah di Nusantara sama sekali bohong, dan itu merupakan nanipulasi fakta sejarah. (*)
COMMENTS