BantenEkspose.com - Penanganan masalah fakir miskin merupakan tanggung jawab bersama. Setidaknya, demikian yang tersirat dari slogan-sloga...
BantenEkspose.com - Penanganan masalah fakir miskin merupakan tanggung jawab bersama. Setidaknya, demikian yang tersirat dari slogan-slogan yang selalu mewarnai program penanganan masalah kemiskinan.
Soal jaring pengaman kemiskinan ini, yang paling dekat dengan ingatan kita, tak lain program beras untuk orang miskin [raskin], kemudian dimodifikasi menjadi beras rakyat sejahtera [rastra], dipoles lagi jadi program bantuan pangan non tunai [BPNT], hingga akhirnya dibranding menjadi program bantuan sosial pangan [BSP] atau lebih populer dengan program sembako 2020.
Konsepsi yang sangat memanusiakan manusia ini, prakteknya tak urung dari para pemburu rente. Imbasnya, dari program raskin hingga reinkarnasi jadi program sembako 2020, tak sepi dari masalah.
Dalam program raskin, yang selalu menjadi konsumsi media, tak lain adanya praktek penjualan raskin, yang dilakukan oknum-oknum kepala desa. Sedikit tak terlalu mencuat masalah, saat program ini berwujud rastra dan BPNT.
Booming masalah kemudian, dan nyaris tiap tahap penyaluran selalu jadi konsumsi berita yang kurang mengenakkan, ketika reinkarnasi dengan nama BSP/Program Sembako 2020.
Di Banten, dalam telaahan media ini, masalah program sembako yang selalu ramai jadi konsumsi media, tak lain, Kabupaten Lebak dan Pandeglang, yang notabene merupakan kawasan selatan wilayah Provinsi Banten.
Di Lebak misalnya, perusahaan yang menjadi supplier program sembako, dengan leluasa menggunakan fasilitas gudang milik Pemkab Lebak. Entah, penggunaan pergudangan tersebut berstatus sewa atau seperti apa. Pemkab Lebak sendiri, seperti tutup mata dengan soal ini.
Lain Lebak lain pula Pandeglang. Di wilayah yang dipimpin pasangan Irna - Tanto ini, supplier yang menyediakan kebutuhan agen e-warong, ditenderkan, dengan dihadiri unsur dinas sosial setempat. Pemenang dalam tender --yang tak melewati proses di LPSE tersebut, ternyata mengakomodir perusahaan yang kalah.
Ditengah 'terdiamnya' suara vokal pengeritik, muncul sosok baru, laksana meneruskan lirik lagu yang belum tuntas, bercerita tentang 'eksploitasi' kaum marjinal.
Terlepas dari pro kontra, siapa yang menyuarakan nasib kaum marjinal saat dieksploitasi, suara vokal politisi partai berlambang Ka'bah itu, patut diapresiasi.
Setidaknya, gegara kritikannya yang nyaris tanpa henti, persoalan sengkarut sembako di Banten, akhirnya sampai juga ditempat lahirnya program, Kementerian Sosial RI.
Di Republik ini, tak terkecuali Banten, hampir setiap perguliran program selalu tak sepi dari masalah. Padahal, dalam skema aksi yang dibuat, selalu memasukan aspek monitoring dan evaluasi. Tapi, tetap saja ada nada sumbang, gegara godaan uang.
Sumpah jabatan, profesi dan bentuk-bentuk lain komitmen pribadi sebagai pelayan masyarakat, banyak diabaikan. Tak tertinggal, norma agama banyak dilupakan. Kembali, gegara godaan uang. Ini pula yang terjadi dalam program sembako, ada uang lebih dibalik komoditi yang tak gurih.
Bagaimanapun juga, nasib rakyat miskin tak boleh diabaikan. Apalagi sampai dieksploitasi. Tak terbayangkan, andai saja mereka faham dan berani bersuara, apa yang mereka akan lakukan.
Cukup, sengkarut sembako harus disudahi. Sebagus apapun skema dan sistem pengawasan program yang dibuat, bila mental 'aji mumpung' masih tumbuh dalam individu pelayan publik, mulusnya pelaksanaan program dengan konsep pengawasan yang kuat, tetap akan rapuh.
Cukuplah, yang sudah terjadi menjadi pelajaran. Programnya tak salah, namun mampukah mereka yang diberi amanah tak goyah, saat menghitung akumulasi recehan akhirnya berubah jadi miliaran.
Dari skema program sembako, dengan alur hingga di keluarga penerima manfaat [KPM], semuanya bisa menjawab, siapa yang untung dibalik kelebihan rupiah, yang tetera dari selisih harga.
Bisnis memag harus untung. Namun haruskah dari eksploitasi program sosial? Tentunya, mereka yang masih berhati, tak akan mengeksploitasi.
Wallahu a'lam
Redaksi
Soal jaring pengaman kemiskinan ini, yang paling dekat dengan ingatan kita, tak lain program beras untuk orang miskin [raskin], kemudian dimodifikasi menjadi beras rakyat sejahtera [rastra], dipoles lagi jadi program bantuan pangan non tunai [BPNT], hingga akhirnya dibranding menjadi program bantuan sosial pangan [BSP] atau lebih populer dengan program sembako 2020.
Konsepsi yang sangat memanusiakan manusia ini, prakteknya tak urung dari para pemburu rente. Imbasnya, dari program raskin hingga reinkarnasi jadi program sembako 2020, tak sepi dari masalah.
Dalam program raskin, yang selalu menjadi konsumsi media, tak lain adanya praktek penjualan raskin, yang dilakukan oknum-oknum kepala desa. Sedikit tak terlalu mencuat masalah, saat program ini berwujud rastra dan BPNT.
Booming masalah kemudian, dan nyaris tiap tahap penyaluran selalu jadi konsumsi berita yang kurang mengenakkan, ketika reinkarnasi dengan nama BSP/Program Sembako 2020.
Di Banten, dalam telaahan media ini, masalah program sembako yang selalu ramai jadi konsumsi media, tak lain, Kabupaten Lebak dan Pandeglang, yang notabene merupakan kawasan selatan wilayah Provinsi Banten.
Di Lebak misalnya, perusahaan yang menjadi supplier program sembako, dengan leluasa menggunakan fasilitas gudang milik Pemkab Lebak. Entah, penggunaan pergudangan tersebut berstatus sewa atau seperti apa. Pemkab Lebak sendiri, seperti tutup mata dengan soal ini.
Lain Lebak lain pula Pandeglang. Di wilayah yang dipimpin pasangan Irna - Tanto ini, supplier yang menyediakan kebutuhan agen e-warong, ditenderkan, dengan dihadiri unsur dinas sosial setempat. Pemenang dalam tender --yang tak melewati proses di LPSE tersebut, ternyata mengakomodir perusahaan yang kalah.
Lantas, dimana sebetulnya program sembako2020 ini bermasalah? Wilayah pendampingan? Wilayah e-warong? Dinsos? Atau kelompok pemburu rente yang berselimut di baju bantuan sosial?Dalam catatan yang dihimpun, sebelum Musa Weliansyah, anggota DPRD Lebak dari Fraksi PPP itu, kritikannya banyak menghiasi laman sejumlah portal berita, persoalan program sembako pangan sudah banyak yang mengeritik. Namun, entah kemana suara-suara itu kini.
Ditengah 'terdiamnya' suara vokal pengeritik, muncul sosok baru, laksana meneruskan lirik lagu yang belum tuntas, bercerita tentang 'eksploitasi' kaum marjinal.
Terlepas dari pro kontra, siapa yang menyuarakan nasib kaum marjinal saat dieksploitasi, suara vokal politisi partai berlambang Ka'bah itu, patut diapresiasi.
Setidaknya, gegara kritikannya yang nyaris tanpa henti, persoalan sengkarut sembako di Banten, akhirnya sampai juga ditempat lahirnya program, Kementerian Sosial RI.
Di Republik ini, tak terkecuali Banten, hampir setiap perguliran program selalu tak sepi dari masalah. Padahal, dalam skema aksi yang dibuat, selalu memasukan aspek monitoring dan evaluasi. Tapi, tetap saja ada nada sumbang, gegara godaan uang.
Sumpah jabatan, profesi dan bentuk-bentuk lain komitmen pribadi sebagai pelayan masyarakat, banyak diabaikan. Tak tertinggal, norma agama banyak dilupakan. Kembali, gegara godaan uang. Ini pula yang terjadi dalam program sembako, ada uang lebih dibalik komoditi yang tak gurih.
Bagaimanapun juga, nasib rakyat miskin tak boleh diabaikan. Apalagi sampai dieksploitasi. Tak terbayangkan, andai saja mereka faham dan berani bersuara, apa yang mereka akan lakukan.
Cukup, sengkarut sembako harus disudahi. Sebagus apapun skema dan sistem pengawasan program yang dibuat, bila mental 'aji mumpung' masih tumbuh dalam individu pelayan publik, mulusnya pelaksanaan program dengan konsep pengawasan yang kuat, tetap akan rapuh.
Cukuplah, yang sudah terjadi menjadi pelajaran. Programnya tak salah, namun mampukah mereka yang diberi amanah tak goyah, saat menghitung akumulasi recehan akhirnya berubah jadi miliaran.
Dari skema program sembako, dengan alur hingga di keluarga penerima manfaat [KPM], semuanya bisa menjawab, siapa yang untung dibalik kelebihan rupiah, yang tetera dari selisih harga.
Bisnis memag harus untung. Namun haruskah dari eksploitasi program sosial? Tentunya, mereka yang masih berhati, tak akan mengeksploitasi.
Wallahu a'lam
Redaksi
COMMENTS