Agama di dunia yang termasuk dinamis dan sempurna itu Islam. Karena geraknya yang dinamis itulah Islam selalu ada dalam ikhtilafiyah (perb...
Agama di dunia yang termasuk dinamis dan sempurna itu Islam. Karena geraknya yang dinamis itulah Islam selalu ada dalam ikhtilafiyah (perbedaan paham) terutama sekali bidang furuiyyah (fiqih). Karena sempurnanya itulah, Islam dipedomani oleh al-Quran dan Hadits yang sudah termasuk janji Allah SWT untuk menjaga keasliannya hingga akhir nanti. Kemudian ketika dunia memasuki zaman post-modernisme yang ditandai perkembangan IT yang cepat, kultur dunia yang pragmatis, hedonis, materialis dan kapitalistis semakin menyeret warga dunia, untuk terlibat aktif dalam pola kehidupan yang didahului oleh kebudayaan Barat (western) yang serba praktis dan rasional.
Dengan demikian ada pandangan di masa depan kita, bahwasannya agama akan bisa digantikan perannya dengan kebudayaan global yang “monotheistis“. Kebudayaan monotheistis itu bukan bersandarkan pada ajaran Ilahi, namun lebih mirip sebagai Agama Manusia, yakni agama yang dibuat berdasarkan kerjasama antar pemeluk agama-agama dunia dengan ciri “tanpa aqidah“. Agama manusia lebih cenderung sebagai ikatan spritualitas yang diramu dari ajaran agamanya masing-masing dengan tempat peribadatannya yang saling berganti satu sama lainnya.
Gambaran di atas sudah terlihat di Amerika akhir-akhir ini, ketika kita menyaksikan ada peribadatan muslim yang diimami oleh perempuan di tempat yang bukan tempat ibadahnya seorang muslim, mereka beribadah di Gereja yang telah disediakan oleh pihak pemeluk Kristiani, dan begitupun sebaliknya pemeluk Kristiani memasuki masjid layaknya masuk Gereja dan atau menggunakan konsep ibadah muslim namun isinya adalah pengabaran Injil.
Tentu, kita kini berfikir apakah hal itu akan terjadi pula di Indonesia ketika faktanya bahwa kehidupan yang diprinsipi postivisme-liberalisme ini akan pula eksis di masyarakat kita yang terlalu terbuka bagi paham baru, bahkan anehnya paham itu tanpa dicerna, tanpa dipikirkan, mereka berani meninggalkan Islam dan mengikuti paham baru tersebut semisal peristiwa bai’at pada rosul baru Ahmad Musadeq dan Lia Eden.
Bahkan ada pula yang kita khawatirkan adalah paham agama Islam yang mencampurbaurkan dengan ajaran agama lain (gado-gado), ini kita anggap jika memang ada, mereka muslim yang mencampuradukan macam-macam agama tersebut itu jelas adalah tasammuh yang kebablasan bahkan cenderung menyimpang. Sementara sikap atau prinsip tasammuh yang benar adalah hanya penghormatan atas keyakinan agama lain, bukan aktif mengikuti aqidah dan ibadahnya mereka, firman Allah SWT jelas menggariskan itu “laa a’budu maa ta’budun wa laa antum ‘abidun maa a’bud“.
Umat Islam yang berprinsip Ahlu Sunnah Wal Jamaah seperti di NU, menolak keras adanya pencampuran (talfiq) beberapa madzhab, apalagi pencampuran paham agama, atau unifikasi ajaran agama-agama secara bebas. Lebih lanjut Ulama Sunny dalam kitab Fawaid al-Janiyah Hasyiah Mawahibi al-Sunniyyah menjelaskan “laa yunkaru al mukhtalifu fihi wa innamaa yunkaru al mujma’u ‘alaihi, hadzihi qo’idatun ‘adhiimatun mutafarri’atun ‘ala al-mukhtalifi fihi“.
Memang dalam tradisi ulama klasik kita dapati banyak perbedaan paham, perbedaan pengertian, meski tidak menjurus pada yang pokok yakni aqidah, dan itu masih dianggap wajar. Sebab sandarannya adalah “ikhtilafu ummati rohmatun”. Kaitan (qorinah) hadits itu adalah kewajaran terjadinya ikhtilaf (perbedaan ) di umat Islam.
Sebenarnya Nabi SAW tengah mengajarkan bahwa Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia (humanity), karena takdir manusia yang selalu berbeda karena dipirinsipi oleh akal budi yang dianugrahi Allah kepada manusia sejak Nabi Adam ‘alaihisalam diciptkan untuk menjadi khalifah (wakil Tuhan) di bumi dengan segala heterogentias-nya yang melekat pada manusia sebagai homoeconomicus dan zoon politicon.
Bagaimana sikap kita ketika meilhat fenomena keagamaan kita yang cenderung meninggalkan substansinya dan lebih sering menampakan simbol dan identitas sehingga mengamalkan agama hanya dengan pemahaman yang parsial.
Sejatinya beragama itu dinamis dengan mengedepankan pengamalan agama yang kaffah (lengkap dan sempurna), ketika persoalan kekitaan pun jikalau tidak ditemukan di al-Quran, maka dicari dasar itu di Hadits Nabi SAW, kemudian jikalau tidak ditemukan di Hadits Rosulillah SAW maka dicari dasar hukum itu dengan ijtihad.
Karena ijtihad menjadi barometer dalam instinbath li al-hukmi, dan untuk menggali istidlal atas suatu persoalan yang illat-nya memang ada, maka kumpulan ijtihad tersebut terdapat pada 4 madzhab yang diakui oleh dunia Islam. Maka dengan itu taklid atas ijithad imam madzhab adalah boleh, bahkan taklid atas ulama mutaakhirin juga dibolehkan sebab mereka kelanjutan mata rantai madzhab (sanad), namun tetap harus ada ukuranya bahwa “yuhromu al taqlidu ‘ala dhonni al hukmi bi ijtihadihi limukholafatihi bihi wujubu ittiba’i ijtihadihi wa kadza yuhromu ‘ala al mujtahidi man huwa bi shifati al ijtihadi al taqlidu fi maa yaqou’ lahu fi al ashohhi li tamakkunihi min al ijtihadi fihi“. Kemudian Imam Ibnu Sholah dalam penjelasannya di kitab Syarah Muhadzab, memberi pendapat bahwa yumna’u al muqollidu al ‘ajizu ‘an al tarjihi wa al tasyri’i min al iftai, lebih lanjut beliau mengatakan “ yajuzu li al ‘ami taqliduhu bi al nisbati al ‘amali bihi fa ghoiru mumtani’in”.
Arah dari tulisan singkat ini adalah, penulis mengajak kepada semuanya untuk mengingat kembali bahwa “idza tsabatat al ushulu fi al qulubi nathoqot al sunu bi al furu’i yudriku al dzakiyyu binadhirin wahidin maa laa yudrikuhu al ghobiyyu bi alfin syaahidin”. Secara sederhana saya ingin mengajak bahwa memahami agama ada baiknya tidak secara langsung ke al-Quran sebagai induk dalil, sebab ada ilmu sebagai petunjuk memahami al-Quran dengan benar.
Maksud menyegarkan kembali paham keagamaan kita ini adalah memahami luas-nya Islam, benar-nya Islam, sempurna-nya Islam dengan arahan dan tuntunan ilmu-ilmu Islam. Cara memperoleh penjelasan atas ilmu-ilmu Islam tersebut maka kembali kepada ulama, kiai pondok pesantren yang telah diakui umat sebagai pribadi yang menguasai ilmu agama. Bertanya, menggali, mengkaji luasnya Islam baik sebagai ajaran ilahi maupun sebagai ilmu yang menjelaskan kesempurnaan ajaran Islam tersebut.
Penyegaran itu bukan yang dimaksud mencari ajaran dan paham baru dalam menyegarkan yang sudah jelas, namun menyegarkan pola beragama yang benar sesuai tuntunan al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Maka disitulah jelas-nya, shoheh-nya cara beragama kita dan menjadi muslim yang menjalankan syariatnya dengan benar.
Penulis: M. Hamdan Suhaemi
Wakil Ketua PW Ansor Banten
Dengan demikian ada pandangan di masa depan kita, bahwasannya agama akan bisa digantikan perannya dengan kebudayaan global yang “monotheistis“. Kebudayaan monotheistis itu bukan bersandarkan pada ajaran Ilahi, namun lebih mirip sebagai Agama Manusia, yakni agama yang dibuat berdasarkan kerjasama antar pemeluk agama-agama dunia dengan ciri “tanpa aqidah“. Agama manusia lebih cenderung sebagai ikatan spritualitas yang diramu dari ajaran agamanya masing-masing dengan tempat peribadatannya yang saling berganti satu sama lainnya.
Gambaran di atas sudah terlihat di Amerika akhir-akhir ini, ketika kita menyaksikan ada peribadatan muslim yang diimami oleh perempuan di tempat yang bukan tempat ibadahnya seorang muslim, mereka beribadah di Gereja yang telah disediakan oleh pihak pemeluk Kristiani, dan begitupun sebaliknya pemeluk Kristiani memasuki masjid layaknya masuk Gereja dan atau menggunakan konsep ibadah muslim namun isinya adalah pengabaran Injil.
Tentu, kita kini berfikir apakah hal itu akan terjadi pula di Indonesia ketika faktanya bahwa kehidupan yang diprinsipi postivisme-liberalisme ini akan pula eksis di masyarakat kita yang terlalu terbuka bagi paham baru, bahkan anehnya paham itu tanpa dicerna, tanpa dipikirkan, mereka berani meninggalkan Islam dan mengikuti paham baru tersebut semisal peristiwa bai’at pada rosul baru Ahmad Musadeq dan Lia Eden.
Bahkan ada pula yang kita khawatirkan adalah paham agama Islam yang mencampurbaurkan dengan ajaran agama lain (gado-gado), ini kita anggap jika memang ada, mereka muslim yang mencampuradukan macam-macam agama tersebut itu jelas adalah tasammuh yang kebablasan bahkan cenderung menyimpang. Sementara sikap atau prinsip tasammuh yang benar adalah hanya penghormatan atas keyakinan agama lain, bukan aktif mengikuti aqidah dan ibadahnya mereka, firman Allah SWT jelas menggariskan itu “laa a’budu maa ta’budun wa laa antum ‘abidun maa a’bud“.
Umat Islam yang berprinsip Ahlu Sunnah Wal Jamaah seperti di NU, menolak keras adanya pencampuran (talfiq) beberapa madzhab, apalagi pencampuran paham agama, atau unifikasi ajaran agama-agama secara bebas. Lebih lanjut Ulama Sunny dalam kitab Fawaid al-Janiyah Hasyiah Mawahibi al-Sunniyyah menjelaskan “laa yunkaru al mukhtalifu fihi wa innamaa yunkaru al mujma’u ‘alaihi, hadzihi qo’idatun ‘adhiimatun mutafarri’atun ‘ala al-mukhtalifi fihi“.
Memang dalam tradisi ulama klasik kita dapati banyak perbedaan paham, perbedaan pengertian, meski tidak menjurus pada yang pokok yakni aqidah, dan itu masih dianggap wajar. Sebab sandarannya adalah “ikhtilafu ummati rohmatun”. Kaitan (qorinah) hadits itu adalah kewajaran terjadinya ikhtilaf (perbedaan ) di umat Islam.
Sebenarnya Nabi SAW tengah mengajarkan bahwa Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia (humanity), karena takdir manusia yang selalu berbeda karena dipirinsipi oleh akal budi yang dianugrahi Allah kepada manusia sejak Nabi Adam ‘alaihisalam diciptkan untuk menjadi khalifah (wakil Tuhan) di bumi dengan segala heterogentias-nya yang melekat pada manusia sebagai homoeconomicus dan zoon politicon.
Bagaimana sikap kita ketika meilhat fenomena keagamaan kita yang cenderung meninggalkan substansinya dan lebih sering menampakan simbol dan identitas sehingga mengamalkan agama hanya dengan pemahaman yang parsial.
Sejatinya beragama itu dinamis dengan mengedepankan pengamalan agama yang kaffah (lengkap dan sempurna), ketika persoalan kekitaan pun jikalau tidak ditemukan di al-Quran, maka dicari dasar itu di Hadits Nabi SAW, kemudian jikalau tidak ditemukan di Hadits Rosulillah SAW maka dicari dasar hukum itu dengan ijtihad.
Karena ijtihad menjadi barometer dalam instinbath li al-hukmi, dan untuk menggali istidlal atas suatu persoalan yang illat-nya memang ada, maka kumpulan ijtihad tersebut terdapat pada 4 madzhab yang diakui oleh dunia Islam. Maka dengan itu taklid atas ijithad imam madzhab adalah boleh, bahkan taklid atas ulama mutaakhirin juga dibolehkan sebab mereka kelanjutan mata rantai madzhab (sanad), namun tetap harus ada ukuranya bahwa “yuhromu al taqlidu ‘ala dhonni al hukmi bi ijtihadihi limukholafatihi bihi wujubu ittiba’i ijtihadihi wa kadza yuhromu ‘ala al mujtahidi man huwa bi shifati al ijtihadi al taqlidu fi maa yaqou’ lahu fi al ashohhi li tamakkunihi min al ijtihadi fihi“. Kemudian Imam Ibnu Sholah dalam penjelasannya di kitab Syarah Muhadzab, memberi pendapat bahwa yumna’u al muqollidu al ‘ajizu ‘an al tarjihi wa al tasyri’i min al iftai, lebih lanjut beliau mengatakan “ yajuzu li al ‘ami taqliduhu bi al nisbati al ‘amali bihi fa ghoiru mumtani’in”.
Arah dari tulisan singkat ini adalah, penulis mengajak kepada semuanya untuk mengingat kembali bahwa “idza tsabatat al ushulu fi al qulubi nathoqot al sunu bi al furu’i yudriku al dzakiyyu binadhirin wahidin maa laa yudrikuhu al ghobiyyu bi alfin syaahidin”. Secara sederhana saya ingin mengajak bahwa memahami agama ada baiknya tidak secara langsung ke al-Quran sebagai induk dalil, sebab ada ilmu sebagai petunjuk memahami al-Quran dengan benar.
Maksud menyegarkan kembali paham keagamaan kita ini adalah memahami luas-nya Islam, benar-nya Islam, sempurna-nya Islam dengan arahan dan tuntunan ilmu-ilmu Islam. Cara memperoleh penjelasan atas ilmu-ilmu Islam tersebut maka kembali kepada ulama, kiai pondok pesantren yang telah diakui umat sebagai pribadi yang menguasai ilmu agama. Bertanya, menggali, mengkaji luasnya Islam baik sebagai ajaran ilahi maupun sebagai ilmu yang menjelaskan kesempurnaan ajaran Islam tersebut.
Penyegaran itu bukan yang dimaksud mencari ajaran dan paham baru dalam menyegarkan yang sudah jelas, namun menyegarkan pola beragama yang benar sesuai tuntunan al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Maka disitulah jelas-nya, shoheh-nya cara beragama kita dan menjadi muslim yang menjalankan syariatnya dengan benar.
Penulis: M. Hamdan Suhaemi
Wakil Ketua PW Ansor Banten
COMMENTS