Manusia Tuhan
0 menit baca
![]() |
M Hamdan Suhaemi |
"Ibadallah rijalallah aghitsuna liajlillahi
Wakunuu 'aunanaa lillah 'asa nahdho bifadlillah"
Hampir dua dasawarsa lebih, syair sholawat di atas tak pernah dirasakan lantunannya, ia yang sering dibaca berjamaah bersama kiai dan santri di setiap malam Jum'at sekira pukul 24.00 hingga pukul 03.00 dini hari, mungkin ini hanya karena jarak dan keadaan yang memisahkan.
Betapa syahdu dan cukup terasa di hati, meskipun pada pemaknaan syair sholawat tersebut terkadang masih diabaikan. Tak kurang selama berminggu-minggu mencoba didalami apa sebenarnya makna teologis dari syair marhaban itu. Tapi hasilnya saya belum mampu menangkap.
Kini, yang menarik dalam bahasan ini adalah makna sufistik dari " rijalallah " adalah laki-lakinya Allah, pertanyaannya adakah laki-laki sebagai putranya Allah, atau laki-laki disekeliling Allah, atau barangkali laki-laki yang dekat dengan Allah? Dan makna harfiyah "ibadallah" adalah hamba Allah, kalau kata yang satu ini tidak sampai kita terheran-heran.
Lalu apakah selesai sampai di makna harfiyah, tentunya tidak. Dalam penggolongan tipe auliya Allah ( waliulloh ), rijalallah salah satunya yang termasuk kategori wali, ini berdasarkan isi dari bangunan tasawwuf dan tarekat Syadziliyah (pendirinya Imam Abu Hasan Aly Asyadzili).
Disamping ada kategori wali yang dinamakan al- akhyar, al-autad, al afrad, al-malamitiyah, qutub al aqthob. Secara murodif ( persamaan makna ) rijalallah bisa disamakan dengan hamba soleh (‘abdun sholehun).
Dalam perspektif dunia sufi " rijalallah " itu identik dengan wali yang terkenal yaitu Nabi Khidir Alaihissalam.
Kalau konsep diatas itu tentang laki-laki Tuhan, lain halnya jika kita kaitkan dengan pengertian manusia Tuhan. Lantas apakah benar kata rijalallah itu adalah manusia Tuhan? Maka pandangan tasawwuf tentang penamaan rijalallah atau manusia Tuhan itu dimaksud adalah hamba mu'min yang memiliki tingkatan kedekatan (muroqobah) dengan Tuhannya seperti dekatnya anak dengan sang bapaknya.
Namun ini jauh berbeda bila ini ditarik ke teologi Kristiani yang memastikan bahwa ada manusia Tuhan yakni Yesus Kristus putra Maryam, ia diyakini sebagai son of god (anak Tuhan) dan keyakinan ini berdasarkan keputusan Konsili para uskup sedunia di Nicea sekitar abad 4 masehi yang menetapkan bahwaYesus adalah Tuhan dari unsur putra (trinitas), konsili ini direstui kaisar Agustinus yang kala itu memerintah Kekaisaran Romawi yang bertahta di Bizantium.
Dari dua perspektif di atas, bila kita asumsikan bahwa manusia Tuhan atau rijalallah bagi kalangan sufi dengan manusia Tuhan bagi kalangan Kristiani, sebenarnya ada benang merahnya.
Begitupun jika kita identifikasi perihal Sidharta Gautama, pendiri agama Budha. Ia diyakini sebagai hamba yang tercerahkan Tuhan (Budhis). Ini barangkali hanya perbedaan nama dan istilah dengan bermaksud hakikatnya sama, bahwa ada konsep rijalallah dalam perspektif agama-agama.
Pada konteks ini, kita telah memastikan posisi dan kedudukan Allah dalam sudut pandang ajaran samawi adalah esa (ahad), tak ada bandingannya, tak ada diperanakan atau memperanakan, dan tak ada yang menyamainya, begitupun dalam sudut pandang agama ardli, Tuhan itu memang esa, sementara yang membuat dan menciptakan Tuhan itu menjadi banyak (pantheis) mungkin ini kita sebut beyond nature (keluar batas kewajaran) yakni keluar batas akal murni, keluar dari naturliche einstellungen sebagai penikmat keyakinan.
Jika konsep diatas mengenai kedudukan manusia di sisi Tuhannya, lain halnya jika kedudukan Tuhan pada sisi manusia, ia Malik Al-Naas (pemilik manusia), Maalik Al-Naas (raja manusia), Ilahi Al-Naas (Tuhan manusia).
Bagaimana seorang sufi menjelaskan kedudukan Tuhan atas manusianya atau manusia kepada tuhannya, Imam Ibnu Athoillah Al-Iskandari (murid utama dari pendiri tarekat syadiliyah) dalam master peace-nya Syarah Al- Hikam, telah memberi jalan pemahaman ke kita terkait relasi antara tuhan manusia dan manusia tuhan" man 'arofa al haqqo syahidahu fii kulli syaiin, wa man faniya bihi ghooba 'an kulli syaiin wa man ahabbahu lam yu'tsir 'alaihi syaian (siapa yang mengenal Allah ia akan menyaksikannya dalam segala sesuatu, siapa yang fana' dengannya ia akan lenyap dari segala sesuatu, siapa yang mencintainya ia tidak akan mengutamakan selainnya).
Ringkasnya, kata rijalallah atau manusia Tuhan secara substantif dimaksud sebagai orang yang dekat kepada Allah dengan tidak mengatakan manusia yang sederajat dengan Allah baik dzatnya, af'alnya, maupun sifatnya.
Penulis: M. Hamdan Suhaemi
Wakil Ketua PW Ansor Banten