foto ilustrasi Black against white Yellow versus red The fighting won’t stop Until we’re dead Until we’re all dead (Carniv...
foto ilustrasi |
Black against white
Yellow versus red
The fighting won’t stop
Until we’re dead
Until we’re all dead
(Carnivore – Race War, 1987)
Bantenekspose.com - Meskipun Orde Baru sudah runtuh, tetapi warga negara
Indonesia keturunan Tionghoa belum bisa menikmati hak-haknya secara penuh
sebagai warga negara. Di sana-sini mereka masih diperlakukan sebagai “kaum
liyan” di negeri tempat kelahirannya.
Memang ada perkembangan maju pasca reformasi. Beberapa
aturan diskriminatif di era Orde Baru, seperti Inpres Nomor 14 tahun 1967, yang
memberangus agama, kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa di Indonesia,
dihapuskan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Lalu keluar Keputusan Presiden
Nomor 6 tahun 2000 yang mengakui agama, kepercayaan dan adat-istiadat Tionghoa
sebagai Hak Asasi Manusia.
Sebelumnya, di era pemerintahan Habibie keluar
Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Penhentian Penggunaan Istilah
Pribumi dan Non Pribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan,
Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan.
Kedatangan
Kaum Tionghoa ke Nusantara
Sebetulnya, tidak ada data resmi tentang kapan orang
Tionghoa pertamakali menginjakkan kakinya di Nusantara ini. Dugaan selama ini
hanya berdasarkan hasil temuan benda-benda kuno seperti tembikar Tiongkok di
Jawa Barat, Lampung, daerah Batanghari dan Kalimatan Barat maupun yang disimpan
di berbagai kraton dan genderang (genta) perunggu Dongson di Jawa, Bali dan
dataran Pasemah, Sumatera Selatan.
Menurut catatan yang ada, orang-orang Tionghoa mulai
berdatangan ke Indonesia pada abad ke IX, yaitu pada zaman dinasti Tang, untuk
berdagang dengan membawa barang-barang kerajinan seperti barang-barang
porselen, sutera, teh, alat-alat pertukangan, pertanian dan sebagainya.
Sementara kekerasan terhadap ras Tionghoa sudah
dimulai dari masa pemerintahan kolonial, yaitu tahun 1740 di Surakarta, Jawa
Tengah. Vereenigdee Oostindische Compagnie (VOC) telah memulai
politik devide et impera atau politik adu domba untuk
menyingkirkan kaum Tionghoa dari produksi ekonomi.
Pada Oktober 1740, seperti yang ditulis Blackburn
dalam Jakarta: Sejarah 400, wilayah sekitar Batavia menjadi saksi
pemberontakan petani Cina. Sambil membawa senjata buatan sendiri para kuli Cina
berbaris menuju kota, tempat ratusan kawan sebangsanya tinggal di dalam dinding
kota. Meskipun orang Cina yang tinggal di kota sedikit sekali atau sama sekali
tak berhubungan dengan orang Cina di luar dinding kota, beredar isu bahwa
mereka berencana membantu para pemberontak.
Kecurigaan dan paranoia orang Eropa serta pribumi
membuat kondisi memburuk. Mereka secara spontan menyerang balik para Tionghoa
ini. Tidak hanya membunuh mereka juga menjarah dan membakar sekitar 6.000-7.000
rumah orang Tionghoa. Adrian Volckanier Gubenur Jenderal saat itu mengeluarkan
surat perintah: bunuh dan bantai orang-orang Tionghoa. Sebanyak 500 orang Cina
yang dipenjara di Balai Kota satu per satu dikeluarkan lalu dibunuh dengan
keji. Selama seminggu, kota terbakar hebat dan kanal-kanal menjadi merah karena
darah dan korban mencapai 10.000 orang. Peristiwa pembantaian orang-orang Cina
di Batavia ini dikenal dengan Geger Pecinan.
Kedatangan
Kaum Tionghoa ke Tanah Banten
Kesultanan Banten yang berdiri sekitar
1526-1813 Masehi menyambut hangat bangsa pendatang dari berbagai belahan dunia.
Bangsa-bangsa pendatang itu hidup berdampingan di Banten Lama.
Seperti ditulis portal Bantenologi,
pedagang-pedagang Eropa (Denmark, Perancis, Inggris, Portugis, Belanda)
mendapatkan izin dari Sultan untuk mendirikan barak (loji) perdagangan mereka
yang dapat menampung ratusan para pegawai Eropa bekerja dalam perusahaan dagang
mereka. Demikian pula orang Keling (Tamil), Benggala, India, Arab, Persia,
Indocina, Melayu, dan Moro mendirikan komplek perumahan mereka karena mendapatkan
izin dan perlindungan Sultan. Berbagai suku yang berasal dari Nusantara juga
tinggal di wilayah Kesultanan Banten ketika itu, orang Bali, Jawa, Madura,
Aceh, Bugis, Mandar, Makassar, Palembang dan Lampung karena Sultan menganggap
mereka sebagai potensi yang dapat menjadi elemen kemajuan ekonomi perdagangan
kesultanan Banten.
Menurut Mufti Ali, Dosen Fakultas Ushuluddin dan
Dakwah IAIN Sultan Maulana Hasanudin, multikulturalisme benar-benar menjadi
asset penting bagi kemajuan dan kesejahteraan Banten. Misalnya, jabatan
Shahbandar atau kepala pelabuhan sebagai ‘mesin uang Kesultanan’ selama lebih
dari 150 tahun yang dipercayakan kepada orang yang paling kompeten meskipun
orang Asing. Jabatan perdana menteri yang bertanggung jawab dalam
pembuatan masterplan istana dan proyek perumahan masa itu
diserahkan kepada orang Tionghoa.
Dengan demikian, sikap Kerajaan Banten yang
multi-kultural telah membuka pintu bagi bangsa-bangsa pendatang, termasuk
Tionghoa. Sebagai bentuk kedekatan Tionghoa dan masyarakat asli Banten, berdiri
vihara tua, yaitu Vihara Avalokiteswara. Vihara itu sudah ada sejak 1652 masehi
dan masih bertahan hingga sekarang.
Ketegangan
Rasial di Tangerang
Pada tahun 1998, tepatnya Mei 1998, meletus kerusuhan
di Jakarta dan sekitarnya. Kerusuhan itu dipicu oleh krisis ekonomi dan
ketimpangan yang kian melebar. Banyak keturunan Tionghoa menjadi sasaran
kerusuhan, karena dianggap kelompok sosial yang diistimewakan di era Orde Baru.
Ternyata kerusuhan itu tidak hanya terjadi di Jakarta,
tetapi menjalar hingga ke wilayah Tangerang, Banten. Terutama di daerah
Balaraja dan sekitarnya.
“Dulu, di rolling door rumah saya,
kalo nggak ditulis Allah – Muslim, mungkin rumah saya sudah dijarah
dan kakak perempuan saya diperkosa, ya namanya juga habis krisis moneter,
valuta asing naik, pengaruh nilai ke rupiah juga naik,” kata Budi Satyana,
saksi ketegangan rasial 1998.
Dia menuturkan, kerusuhan rasial di Tangerang
berlangsung meluas hingga ke pinggiran, apalagi karena banyak orang Tionghoa
Benteng.
Tidak hanya serangan fisik, banyak orang Tionghoa di
Tangerang dilarang melakukan kegiatan ekonomi dan politik ditempat tinggalya.
Sebetulnya, kalau menengok sejarah, ketengahan rasial
dengan Tionghoa pernah terjadi di masa Revolusi Agustus 1945. Seperti dicatat
Ravando Lie dalam artikel di historia.id, Achmad Chaerun,
Bapak Rakyat Tangerang, antara bulan November hingga Desember 1945,
orang-orang Tionghoa yang tinggal di daerah Sepatan, Mauk, Kronjo, dan Kresek,
bersama-sama dengan para pegawai sipil Tangerang, melarikan diri ke Kota
Tangerang, mengingat daerah-daerah di luar Kota Tangerang sudah dirasa tidak
aman.
Menurut laporan Star Weekly, 16 Juni 1946,
sebanyak 40-50 perkampungan luluhlantak; 1.200 rumah rata dengan tanah; lebih
dari 700 orang Tionghoa terbunuh, 200 korban di antaranya wanita dan anak-anak;
200 orang Tionghoa dinyatakan hilang; dan kerugian materi lebih dari 7 juta
rupiah. Belum lagi ribuan pengungsi yang memutuskan meninggalkan Tangerang guna
mencari tempat aman.
“Kita jangan pernah lupa dengan keberadaan Pao An Tui.
Keberadaannya pun membuat masyarakat Tionghoa resah, walaupun mereka bagian
dari Kaum Tionghoa. Mereka bersenjata, kontra-revolusi, dan pelindung
partikelir Tionghoa. Tak heran, mereka menjadi pengalih perhatian rakyat atas
agresi militer Belanda ke-2. Keseluruhan masyarakat Kabupaten Tangerang justru
malah memberangus Pao An Tui, tidak tanggung – tanggung. Semua Tionghoa pun
diberangus, hingga banyak dari mereka berpindah ke Kota Tangerang untuk mencari
aman,” ungkapnya sambil membakar kembali sisa puntung rokoknya.
Pao An Tui milisi bersenjata kaum Tionghoa saat
Revolusi Nasional Indonesia (1945-1946). Seringkali Pao An Tui dituduh
kontra-revolusi akibat keterlibatan mereka dengan Belanda. Walaupun motif
pendirian Pao An Tui hanya untuk sekedar melindungi nyawa dan harta warga
Tionghoa yang tinggal didaerah-daerah rawan konflik.
Menurut Roel Frakking dalam artikelnya Who
Wants to Cover Everything, Covers Nothing’: The Organization of Indigenous
Security Forces in Indonesia, 1945–50, beberapa oknum Pao An Tui juga dimanfaatkan
pemilik modal Tionghoa sebagai centeng perkebunan.
Ingatan sejarah tentang Pao An Tui turut memperkeruh
pandangan masyarakat asli Banten terhadap orang-orang Tionghoa. Tahun 2015,
ketika ada peletakan patung di Balaraja, masyarakat menggelar penolakan karena
adanya lambang yang mirip dengan logo Pao An Tui.
“Aku dan kawan-kawan penggiat kebudayaan Balaraja
lainnya, sedang mencari Arsip Pidato Ir. Soekarno yang dibacakan oleh Sutan
Sjahrir di Balaraja. Kalau cerita-certa para sesepuh, pidato itu berisi
perintah untuk meredam massa yang pecah fokus dalam hal pelaksanaan Revolusi
Pembebasan Nasional 1945,” pungkas Budi dengan nada bicara yang agak tinggi.
(Gilang Prabowo)
COMMENTS