BantenEkspose.com - Bicara dongeng dan cerita rakyat, dalam dunia sastra kontemporer, dongeng dinilai sebagai hal yang tabu. Tapi tidak un...
BantenEkspose.com - Bicara dongeng dan cerita rakyat, dalam dunia sastra kontemporer, dongeng dinilai sebagai hal yang tabu. Tapi tidak untuk Budi Sabarudin, asal Kecamatan Cipondoh Tangerang yang menjuluki dirinya sebagai pendongeng keliling. Terlebih ia mendongeng untuk anak-anak yang ia nilai termarjinalkan.
"Segmentasi-segmentasi penonton saya anak-anak pemulung, nelayan-nelayan miskin, atau anak-anak yang tinggal di dekat pembuangan sampah," ungkapnya saat berbincang dengan BantenEkspose.com, Rabu (29/05/2019).
Menurutnya, anak-anak di perkotaan lebih banyak mendapatkan literasi lewat media sosial ataupun media massa. Dongeng menjadi sebuah hal yang tabu di mata mayoritas anak-anak perkotaan.
"Audiens disana menerima dongeng itu lebih terbuka, kalau di perkotaan mereka agak berjarak dan terkesan asing dengan dongeng," lanjutnya.
Ia juga berasumsi bahwa anak-anak di tempat yang dinilainya marjinal sulit untuk mendapatkan hiburan, terlebih yang sifatnya kultural dan literasi.
"Kalau orang-orang terpinggirkan hiburannya apa sih? Saya ingin menawarkan hiburan-hiburan yang berkualitas. Hiburan yang juga ada pencerahan buat mereka. Walau bagaimanapun, dongeng itu banyak dimensinya," jelasnya.
Saat ia menceritakan pengalamannya, salah satu dongeng yang mencakup banyak dimensi moral ialah Sangkuriang.
"Sangkuriang itu ada dimensi lingkungan ketika Dayang Sumbing mengasingkan diri ke hutan, kemudian ada si Tumang, seekor anjing yang menjaga Dayang Sumbing, sebetulnya ada dimensi di mana kita harus mencintai hewan," ujarnya. Dia menambahkan
"Kemudian ada dimensi cinta, bahwa cinta terlarang itu tidak diperbolehkan, seperti cinta incest Sangkuriang dengan ibunya," imbuhnya.
Dongeng-dongeng yang Budi bawakan selalu ditekankan pada kajian moral dan nilai, karena ia menganggap bahwa audiens akan menerima dengan sudut pandang dan implementasi yang berbeda-beda.
"Dongeng itu mengusung pesan-pesan dan nilai moral, untuk itu tergantung audiens untuk menerima dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari," cetusnya.
Budi percaya bahwa dongeng merupakan salah satu bentuk konseling dan stimulan yang baik, seperti dirinya yang selalu mengkaitkan dongeng dengan realitas yang ada. Ia mencontohkannya lewat kisah Fir'aun dan mengharapkan kepemimpinan a'la Nabi dan Wali.
"Salah satu dimensi dalam cerita Fir'aun dan bagaimana konteksnya dengan hari ini. Misal, Fir'aun dikaitkan dengan realitas, mereka menerima itu dengan baik. Mereka mencerna dongeng itu dengan baik, andai kata mereka menjadi pemimpin, harus tetap amanah dan bertanggungjawab. Idealnya mereka meniru kepempimpinan para Nabi dan Wali. Role model pemimpin seperti itu sudah tidak ada," katanya.
Ia memaparkan bahwa pendidikan secara umum merupakan sebuah sektor yang sifatnya kapitalistik. Saat ada pendidikan gratis, ia menilai bahwa ada tindakan intervensi oleh pemerintah.
"Menurut saya saat ini memang ada pendidikan gratis, tapi kan diintervensi sama pemerintah," terangnya.
Menurutnya, tindakan-tindakan yang ia lakukan merupakan sebuah bentuk perlawanan secara halus dan terbilang moderat. Kata dia, jika konteksnya dalam konsep kapitalisasi, bisa saja itu dikatakan sebagai bentuk perlawanan secara halus.
"Kita melawan bahwa segala sesuatu tidak bisa dikapitalisasi, tidak harus takut juga, tidak harus takut miskin. Orang boleh mengejar materi, tapi ia tidak akan dijamin jika ia akan menderita," tegas dia.
Masih kata dia, pendidikan ada sebagai benteng terakhir. Akan tetapi ia berasumsi jika benteng tersebut telah rapuh, karena dihadapkan dengan pola pendidikan yang bersifat materialistis.
"Benteng terakhir itu ada di dunia pendidikan. Benteng yang terakhir itu juga sudah rapuh, semua berkaitan dengan kurikulum, tidak semua siswa bisa dicetak seperti itu, manusia tidak bisa disamakan dengan mesin. Dongeng hadir sebagai penyeimbang atas dunia yang instan dan materialistis," pungkas Budi. (Gilang)
"Segmentasi-segmentasi penonton saya anak-anak pemulung, nelayan-nelayan miskin, atau anak-anak yang tinggal di dekat pembuangan sampah," ungkapnya saat berbincang dengan BantenEkspose.com, Rabu (29/05/2019).
Menurutnya, anak-anak di perkotaan lebih banyak mendapatkan literasi lewat media sosial ataupun media massa. Dongeng menjadi sebuah hal yang tabu di mata mayoritas anak-anak perkotaan.
"Audiens disana menerima dongeng itu lebih terbuka, kalau di perkotaan mereka agak berjarak dan terkesan asing dengan dongeng," lanjutnya.
Ia juga berasumsi bahwa anak-anak di tempat yang dinilainya marjinal sulit untuk mendapatkan hiburan, terlebih yang sifatnya kultural dan literasi.
"Kalau orang-orang terpinggirkan hiburannya apa sih? Saya ingin menawarkan hiburan-hiburan yang berkualitas. Hiburan yang juga ada pencerahan buat mereka. Walau bagaimanapun, dongeng itu banyak dimensinya," jelasnya.
Saat ia menceritakan pengalamannya, salah satu dongeng yang mencakup banyak dimensi moral ialah Sangkuriang.
"Sangkuriang itu ada dimensi lingkungan ketika Dayang Sumbing mengasingkan diri ke hutan, kemudian ada si Tumang, seekor anjing yang menjaga Dayang Sumbing, sebetulnya ada dimensi di mana kita harus mencintai hewan," ujarnya. Dia menambahkan
"Kemudian ada dimensi cinta, bahwa cinta terlarang itu tidak diperbolehkan, seperti cinta incest Sangkuriang dengan ibunya," imbuhnya.
Dongeng-dongeng yang Budi bawakan selalu ditekankan pada kajian moral dan nilai, karena ia menganggap bahwa audiens akan menerima dengan sudut pandang dan implementasi yang berbeda-beda.
"Dongeng itu mengusung pesan-pesan dan nilai moral, untuk itu tergantung audiens untuk menerima dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari," cetusnya.
Budi percaya bahwa dongeng merupakan salah satu bentuk konseling dan stimulan yang baik, seperti dirinya yang selalu mengkaitkan dongeng dengan realitas yang ada. Ia mencontohkannya lewat kisah Fir'aun dan mengharapkan kepemimpinan a'la Nabi dan Wali.
"Salah satu dimensi dalam cerita Fir'aun dan bagaimana konteksnya dengan hari ini. Misal, Fir'aun dikaitkan dengan realitas, mereka menerima itu dengan baik. Mereka mencerna dongeng itu dengan baik, andai kata mereka menjadi pemimpin, harus tetap amanah dan bertanggungjawab. Idealnya mereka meniru kepempimpinan para Nabi dan Wali. Role model pemimpin seperti itu sudah tidak ada," katanya.
Ia memaparkan bahwa pendidikan secara umum merupakan sebuah sektor yang sifatnya kapitalistik. Saat ada pendidikan gratis, ia menilai bahwa ada tindakan intervensi oleh pemerintah.
"Menurut saya saat ini memang ada pendidikan gratis, tapi kan diintervensi sama pemerintah," terangnya.
Menurutnya, tindakan-tindakan yang ia lakukan merupakan sebuah bentuk perlawanan secara halus dan terbilang moderat. Kata dia, jika konteksnya dalam konsep kapitalisasi, bisa saja itu dikatakan sebagai bentuk perlawanan secara halus.
"Kita melawan bahwa segala sesuatu tidak bisa dikapitalisasi, tidak harus takut juga, tidak harus takut miskin. Orang boleh mengejar materi, tapi ia tidak akan dijamin jika ia akan menderita," tegas dia.
Masih kata dia, pendidikan ada sebagai benteng terakhir. Akan tetapi ia berasumsi jika benteng tersebut telah rapuh, karena dihadapkan dengan pola pendidikan yang bersifat materialistis.
"Benteng terakhir itu ada di dunia pendidikan. Benteng yang terakhir itu juga sudah rapuh, semua berkaitan dengan kurikulum, tidak semua siswa bisa dicetak seperti itu, manusia tidak bisa disamakan dengan mesin. Dongeng hadir sebagai penyeimbang atas dunia yang instan dan materialistis," pungkas Budi. (Gilang)
COMMENTS