BantenEkspose.com - Front Perjuangan Rakyat (FPR) Banten menggelar aksi unjuk rasa, dalam rangka memperingati hari perempuan internasiona...
BantenEkspose.com - Front Perjuangan Rakyat (FPR) Banten menggelar aksi unjuk rasa, dalam rangka memperingati hari perempuan internasional atau Internatonal Women's Day (IWD) 2019, di depan Pendopo Gubernur Banten, Jl. Syekh Nawawi Al-Bantani Palima Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B), Curug, Kota Serang, Jum'at (8/3/2019).
Dalam aksi tersebut, mereka menyoroti sektor-sektor yang menjadi alat penindasan terhadap perempuan di Indonesia. Sektor tersebut diantarnya ekonomi, politik dan kebudayaan.
Koordinator lapangan (korlap) aksi, Ega Khoirunissa mengatakan, secara ekonomi mayoritas perempuan di Indonesia adalah buruh dan tani, masih mengalami diskriminasi upah, alat produksi pertanian serta minimnya akses terhadap kepemilikan tanah.
Upah buruh perempuan lebih rendah dengan upah buruh laki-laki meskipun jenis pekerjaannya sama. Hal ini diperburuk lagi dengan adanya PP Nomor 78 Tahun 2015 yang mengatur bahwa upah buruh ditentukan oleh tingkat inflasi (tidak lebih dari 8%). Menurutnya, tak sepadan dengan harga kebutuhan pokok yang makin hari makin melambung tinggi.
"Pelecehan seksual dan ancaman kesehatan. Contohnya, di Riau bila buruh tani perempuan mengajukan cuti haid pada mandor, akan diraba dan disenter kemaluannya," kata Ega, dalam orasi politiknya.
Kemudian secara Politik, lanjut Ega, adanya diskriminasi partisipasi politik. Perempuan hanya dimobilisasi untuk mendapatkan simpati dan suara wakil rakyat. Hal ini jelas bahwa partisipasi perempuan masuk kedalam partai politik hanya 30 persen. Persentasi jumlah laki-laki dan perempuan di lembaga legislatif 17,32 persen yakni 97 perempuan dari 560 orang pada 2014-2019. Ia mengatakan, angka ini lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah anggota periode 2009-2014 yakni 100 perempuan dari 560 orang.
"Maka yang menjadi persoalan adalah bukanlah kuota 30 persennya, melainkan sistem patriarki yang masih dominan di negeri setengah jajahan setengah feodal ini," ujar Ega.
Dikatakan Ega, situasi perempuan Indonesia hari ini dibawah dominasi sistem masyarakat setengah jajahan dan setengah feodal. Tidak ada pilihan lain bagi kaum perempuan, selain menyatukan diri dalam organisasi, memperkuat dan meluaskan gerakan demokratis nasional, melebur dengan perjuangan kelas buruh dan kaum tani melawan segala bentuk kekerasan dan penindasan, untuk mewujudkan reforma agraria sejati demi membangun industri nasional yang mandiri dan berdaulat menuju pembebasan sejati kaum perempuan Indonesia.
"Atas dasar keadaan tersebut, kami Front Perjuangan Rakyat (FPR) Banten dalam momentum Peringatan Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2019 menuntut cabut seluruh paket kebijakan ekonomi Jokowi-JK dan seluruh aturan dan perundang-undangan yang hakekatnya pelaksanaan Neoliberalisme (deregulasi, liberalisasi, privatisasi) imperialis AS dan telah semakin memerosotkan penghidupan dan menindas rakyat, khususnya kaum perempuan," tegas Ega.
Selain itu, FPR Banten juga menyerukan kepada seluruh perempuan dan rakyat Indonesia untuk bersatu dan berjuang bersama melawan kebijakan dan tindakan fasis Jokowi-JK, serta berbagai bentuk kekerasan dan kriminalisasi terhadap kaum perempuan.
"Kita harus bersatu menolak segala usaha dan cara pecah-belah terhadap kaum perempuan dan rakyat, yang menjauhkan dari perjuangan atas masalah dan tuntutan kongkret hak-hak demokratis kaum perempuan," seruan Ega mengakhiri orasinya. (emde)
Dalam aksi tersebut, mereka menyoroti sektor-sektor yang menjadi alat penindasan terhadap perempuan di Indonesia. Sektor tersebut diantarnya ekonomi, politik dan kebudayaan.
Koordinator lapangan (korlap) aksi, Ega Khoirunissa mengatakan, secara ekonomi mayoritas perempuan di Indonesia adalah buruh dan tani, masih mengalami diskriminasi upah, alat produksi pertanian serta minimnya akses terhadap kepemilikan tanah.
Upah buruh perempuan lebih rendah dengan upah buruh laki-laki meskipun jenis pekerjaannya sama. Hal ini diperburuk lagi dengan adanya PP Nomor 78 Tahun 2015 yang mengatur bahwa upah buruh ditentukan oleh tingkat inflasi (tidak lebih dari 8%). Menurutnya, tak sepadan dengan harga kebutuhan pokok yang makin hari makin melambung tinggi.
"Pelecehan seksual dan ancaman kesehatan. Contohnya, di Riau bila buruh tani perempuan mengajukan cuti haid pada mandor, akan diraba dan disenter kemaluannya," kata Ega, dalam orasi politiknya.
Kemudian secara Politik, lanjut Ega, adanya diskriminasi partisipasi politik. Perempuan hanya dimobilisasi untuk mendapatkan simpati dan suara wakil rakyat. Hal ini jelas bahwa partisipasi perempuan masuk kedalam partai politik hanya 30 persen. Persentasi jumlah laki-laki dan perempuan di lembaga legislatif 17,32 persen yakni 97 perempuan dari 560 orang pada 2014-2019. Ia mengatakan, angka ini lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah anggota periode 2009-2014 yakni 100 perempuan dari 560 orang.
"Maka yang menjadi persoalan adalah bukanlah kuota 30 persennya, melainkan sistem patriarki yang masih dominan di negeri setengah jajahan setengah feodal ini," ujar Ega.
Selain secara ekonomi dan politik, tambah Ega, secara kebudayaan perempuan masih terbenam dalam kemiskinan, karena akses pendidikan dan kesehatan. Budaya yang selalu menomerduakan pendidikan terhadap perempuan, akibat biaya yang mahal dan tidak dapat dijangkau oleh lapisan masyarakat dan konsepsi yang dibentuk masyarakat terhadap perempuan, bahwa perempuan hanya "Sumur, Kasur dan Dapur"."Konsepsi yang dibentuk lagi-lagi hanya perempuanlah yang mampu dan tugas laki-laki hanyalah pencari nafkah. Inilah yang dinamakan suboordinasi terhadap perempuan," imbuh Ega.
Dikatakan Ega, situasi perempuan Indonesia hari ini dibawah dominasi sistem masyarakat setengah jajahan dan setengah feodal. Tidak ada pilihan lain bagi kaum perempuan, selain menyatukan diri dalam organisasi, memperkuat dan meluaskan gerakan demokratis nasional, melebur dengan perjuangan kelas buruh dan kaum tani melawan segala bentuk kekerasan dan penindasan, untuk mewujudkan reforma agraria sejati demi membangun industri nasional yang mandiri dan berdaulat menuju pembebasan sejati kaum perempuan Indonesia.
"Atas dasar keadaan tersebut, kami Front Perjuangan Rakyat (FPR) Banten dalam momentum Peringatan Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2019 menuntut cabut seluruh paket kebijakan ekonomi Jokowi-JK dan seluruh aturan dan perundang-undangan yang hakekatnya pelaksanaan Neoliberalisme (deregulasi, liberalisasi, privatisasi) imperialis AS dan telah semakin memerosotkan penghidupan dan menindas rakyat, khususnya kaum perempuan," tegas Ega.
Selain itu, FPR Banten juga menyerukan kepada seluruh perempuan dan rakyat Indonesia untuk bersatu dan berjuang bersama melawan kebijakan dan tindakan fasis Jokowi-JK, serta berbagai bentuk kekerasan dan kriminalisasi terhadap kaum perempuan.
"Kita harus bersatu menolak segala usaha dan cara pecah-belah terhadap kaum perempuan dan rakyat, yang menjauhkan dari perjuangan atas masalah dan tuntutan kongkret hak-hak demokratis kaum perempuan," seruan Ega mengakhiri orasinya. (emde)
COMMENTS