Bantenekspose.com - Media memiliki peranan penting sebagai katalisator dalam masyarakat (Lasswell, 1934), bahkan teoretisi Marxis melihat ...
Bantenekspose.com - Media memiliki peranan penting sebagai katalisator dalam masyarakat (Lasswell, 1934), bahkan teoretisi Marxis melihat media massa sebagai piranti yang sangat kuat (a powerfull tool). Namun seiring dengan semakin beragamnya media dan semakin berkembangnya masyarakat, kebenaran teori-teori tersebut menjadi diragukan. Hal ini disebabkan kita banyak digaduhkan dengan serangkaian informasi yang simpang-siur.
Dengan dalih, kebebasan berpendapat dalam pers yang mengacu pada tiga landasan. Pertama, Pasal 28 UUD 1945, "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang."
Kedua, Pasal 28 F UUD 1945, "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia."
Ketiga, Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, Bab VI, Pasal 20 da 21 yang isinya sebagai berikut. (20) "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya." (21) "Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluaran yang tersedia."
Keempat, Undang-Undang No. 29 Tahun 2000 Pasal 14 Ayat 1 dan 2 tentang Hak Asasi Manusia. (1) "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperolah informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya." (2) "Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia."
Selain itu, UU Pers No. 40 Tahun 1999 dan UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 kemudian ditetapkan untuk menjamin kebebasan dan independensi media massa. Media massa yang terjamin kebebasan dan independensinya pada gilirannya menguntungkan semuanya, baik negara maupun masyarakat. Walaupun seringkali dianggap merugikan kepentingan-kepentingan politik tertentu. Kondisi politik di suatu negara akan sangat mempengaruhi keadaan pers di negara tersebut. Pengaruh politik akan sangat besar terutama mengenai sistem pers yang dianut dan seberapa besar kadar kebebasan pers yang ada.
Terkait dengan hal yang dikemukakan diatas, dalam eksistensinya pers harus adanya jalinan dengan masyarakat dan pemerintah. Tiga aspek ini saling bertalian (pers, masyarakat, dan pemerintah), karena sejatinya, lewat wartawan yang akan menuangkan hal-hal faktual itu sangat diperukan oleh masyarakat sebagai sumber informasi yang di terima. Terlebih sekarang dengan teknologi informasi yang memadai, masyarakat dapat mengakses hal apapun dengan mudah dan cepat. Selain itu, pemerintah juga dapat menginformasikan suatu hal baik berupa kebijakan, kejadian, atau apapun dengan gampang dapat diinformasikan kepada khal layak umum sebagai sarana keterbukaan publik.
Pengaruh terhadap Sistem politik yang dianut.
Klasisikasi sistem pers dunia yang disajikan dalam buku Four Theories of the Press (Siebert, Perterson, & Schramm, 1956). Para pengarang membagi pers dunia ke dalam empat kategori: otoritaria, libertarian, tanggung jawab sosial dan totalitarian Soviet. (Heru Puji winarso, 2005). Pembagian itu berdasarkan pengamatan mereka dengan menggunakan metode-metode ilmu sosial. Tesis buku ini, pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur-struktur sosial politik di mana pers itu beroperasi. Untuk melihat perbedaan dan perspektif sebagai fungsi pers, harus dilihat asumsi-asumsi dasar yang dimiliki masyarakat itu mengenai hakikat manusia, hakikat masyarakat dan negara, hubungan antara manusia dan negara, hakikat pengetahuan dan kebenaran. Pada akhirnya, perbedaan antara sistem pers merupakan perbedaan filsafat yang mendasarinya.
Menurut Dominick dalam Elvinaro Ardianto, 2004, sistim media di suatu negara berkaitan dengan sistim politik di negara tersebut. Sistim politik menentukan kepastian hubungan yang nyata antara media dan pemerintah. Pembagian pers dalam dunia ini juga didasari pada keadaan politik di suatu negara. Ini dapat dilihat dalam perjalan pers di dunia. Sistem otoritarian berdasarkan sistem keadaan negara yang mempunyai kekuatan mutlak, pengawasan yang ketat, dan ancaman pembredelan bagi media yang melanggar.
Liberatarian yang mengusung nilai-nilai kebebasan, tetapi ternyata akhirnya juga ditinggalkan karena dinilai hanya mengusung kepentingan kapitalisme dibanding dengan nilai-nilai edukasi. Berkembang teori tanggung jawab sosial, merupakan jawaban bagi suatu pers yang bertanggung jawab tetapi juga mempunyai kepedulian dengan terhadap masyarakat sebagai nilai tanggung jawab sosial. Totalitarian soviet merupakan wujud dari kekuasan yang absolud kepada media dan tujuan media adalah memberikan sumbangan terhadap suksesnya dan berlangsungnya sistem negara soviet. Melihat perjalanan pers di dunia tampak jelas bahwa sistem politik, akan sangat berpengaruh dalam sistem pers yang dianut.
Keadaan politik juga akan mempengaruhi kadar
Keadaan politik juga akan sangat mempengaruhi kadar dalam kebebasan pers yang ada. Konsep kebebasan pers sangat tergantung pada sistim politik di mana pers itu berada. Dalam negara komunis atau otoriter, kebebasan pers dikembangkan untuk membentuk opini pers yang mendukung penguasa. Sedangkan dalam negara liberal atau demokrasi, kebebasan pers pada prinsipnya diarahkan untuk menuju masyarakat yang sehat, bebas berpendapat dan berdemokrasi.
Pendekatan filosofis barangkali bisa dipergunakan untuk melihat hubungan antarakebebasan dan manusia sebagai individu. John Stuart Mill dalam Jakob Oetama (1985) berpendapat, biarlah orang seorang mengembangkan kebebasannya yang absolut. Dengan menggunakan proses kebebasan itu pikirannya yang rasional akhirnya akan menemukan kebenaran. Singkat kata, apabila dipersoalkan kebebasan pers, maka inti masalahnya adalah hubungan pers dan pemerintah. Kekuasaan dan relasi-relasinya menentukan ada tidaknya kadar kebebasan tersebut. Pengertian klasik ini tetap berlaku.
Menurut Oemar Seno Adji, persoalan kebebasan pers terlalu disoroti dari segi hukum saja. Sedangkan dalam prakteknya, terutama di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia, persoalan kebebasan pers lebih merupakan masalah politik. Artinya masalah hukum yang diterapkan dan didalam penerapan itu politik ikut berperan dan berpengaruh terhadap hubungan kekuasaan dan kepentingan.
Objektivitas pers
Terkait dengan hal yang sudah diutarakan terkait kondisi saat ini yang berkaitan dengan simpang-siurnya informasi pada media, maka perlu adanya upaya pengembalian pada jati diriinya sebagai sumber informasi yang relevan. Karena jika kita merunut pada Westerstahl (1983), yang mengutarakan bahwa mengukur objektivitas media harus memiliki dua kriteria. Yaitu factuality dan Impartiality. Faktualitas berarti berita ditulis berdasarkan fakta. Jadi berita bukanlah sebuah show atau rekayasa. Terdiri dari tiga hal, truth, informatif dan relevan.
Truth disini maknanya bahwa nilai kebenaran komunikasi bergantung kepada nara sumber yang terpercaya dan dapat diandalkan. Harus sesuai dengan peristiwa nyata dan berguna di berbagai aplikasi atau lapisan. Tentu tidak kalah penting juga prinsip-prinsip kebebasan, kesetaraan, atau keragaman insan media sendiri. Kalau informatif bagaimana suatu informasi yang disampaikan media tujuannya adalah untuk mengurangi “ketidakpastian” dalam masyarakat, sehingga sedikit banyak masyarakat bisa paham tentang apa yang disampaikan media, apa yang terjadi di sekitar, dan justru dengan adanya informasi tersebut tidak menambah bingung masyarakat. Sementara relevan adalah bagaimana sebuah informasi itu bermanfaat untuk masyarakat. Relevan tidak untuk disajikan ke publik. Apa dampak sosial serta manfaatnya.
Kedua, aspek impartiality. Yaitu sebuah informasi atau berita yang tidak mengandung “keberpihakan” pada satu pihak. Hal ini terbagi dua aspek, balance dan netrality. Balance dipahami sebuah berita yang disajikan harus berimbang. Dalam satu topik atau peristiwa tidak boleh dilihat dari satu sudut pandang saja. Ada beberapa narasumber baik yang pro maupun kontra yang diwawancarai. Kalau netralitas maksudnya sebuah media itu harus netral, tidak boleh menjadi sumpalan kelompok tertentu.
Dua aspek itu menjadi ukuran media tersebut diketegorikan objektif atau sebaliknya. Selain itu, objektivitas berita juga membutuhkan prinsip kesamaan perlakuan antara ‘ekualitas’, yaitu sikap adil dan non diskriminatif terhadap narasumber dan objek berita. Dalam hubungan dengan komunikasi dan kekuasaan politik, kesamaan perlakuan menuntut tidak boleh adanya perlakuan khusus kepada pemegang kekuasaan (Morissan: 2009).
Melihat dua kriteria yang ada di atas, tentunya kita dapat melihat bagaimana objektivitas media saat ini. Saat ini banyak pelanggaran yang dilakukan oleh media. Mungkin ini terjadi karena media mempunyai agenda yang tersendiri. Media mempunyai ideologi yang berbeda antara satu media dengan media yang lain. Tetapi seyogyanya setiap media harus tetap menjunjung nilai-nilai obyektivitas yang ada.
Tidak ada Regulasi yang jelas mengenai kepemilikan media pun menyebabkan adanya patologi/penyakit sosial seperti yang diungkapkan Vincent Moscow dalam buku “The Political Economy of Communication” (1998). Lagi-lagi kapitalis bertanggung jawab dalam atas homogenisasi dan politisasi media. Masing-masing media mempunyai idelologi yang berbeda. Ideologi ini akan dijunjung tinggi oleh semua orang yang bekerja dalam media tersebut. padahal idelogi yang dianut ini sangat tergantung pada ideologi yang dianut oleh pemilik modal tersebut.
Hal itu mungkin terjadi, karena saat ini tidak ada regulasi yang tegas tentang tersebut. Dewan Pers yang bertugas mengawasai jalannya pers seolah hanya diam dan tidak bertindak dengan tegas mengenai pelanggaran yang terjadi.
Penulis: Tubagus Rahmat (Penulis Duta Kampanye Positif 2019, sekaligus Dosen di Universitas Serang Raya dan STISIP Setia Budhi Rangkasbitung)
Dengan dalih, kebebasan berpendapat dalam pers yang mengacu pada tiga landasan. Pertama, Pasal 28 UUD 1945, "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang."
Kedua, Pasal 28 F UUD 1945, "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia."
Ketiga, Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, Bab VI, Pasal 20 da 21 yang isinya sebagai berikut. (20) "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya." (21) "Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluaran yang tersedia."
Keempat, Undang-Undang No. 29 Tahun 2000 Pasal 14 Ayat 1 dan 2 tentang Hak Asasi Manusia. (1) "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperolah informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya." (2) "Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia."
Selain itu, UU Pers No. 40 Tahun 1999 dan UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 kemudian ditetapkan untuk menjamin kebebasan dan independensi media massa. Media massa yang terjamin kebebasan dan independensinya pada gilirannya menguntungkan semuanya, baik negara maupun masyarakat. Walaupun seringkali dianggap merugikan kepentingan-kepentingan politik tertentu. Kondisi politik di suatu negara akan sangat mempengaruhi keadaan pers di negara tersebut. Pengaruh politik akan sangat besar terutama mengenai sistem pers yang dianut dan seberapa besar kadar kebebasan pers yang ada.
Terkait dengan hal yang dikemukakan diatas, dalam eksistensinya pers harus adanya jalinan dengan masyarakat dan pemerintah. Tiga aspek ini saling bertalian (pers, masyarakat, dan pemerintah), karena sejatinya, lewat wartawan yang akan menuangkan hal-hal faktual itu sangat diperukan oleh masyarakat sebagai sumber informasi yang di terima. Terlebih sekarang dengan teknologi informasi yang memadai, masyarakat dapat mengakses hal apapun dengan mudah dan cepat. Selain itu, pemerintah juga dapat menginformasikan suatu hal baik berupa kebijakan, kejadian, atau apapun dengan gampang dapat diinformasikan kepada khal layak umum sebagai sarana keterbukaan publik.
Pengaruh terhadap Sistem politik yang dianut.
Klasisikasi sistem pers dunia yang disajikan dalam buku Four Theories of the Press (Siebert, Perterson, & Schramm, 1956). Para pengarang membagi pers dunia ke dalam empat kategori: otoritaria, libertarian, tanggung jawab sosial dan totalitarian Soviet. (Heru Puji winarso, 2005). Pembagian itu berdasarkan pengamatan mereka dengan menggunakan metode-metode ilmu sosial. Tesis buku ini, pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur-struktur sosial politik di mana pers itu beroperasi. Untuk melihat perbedaan dan perspektif sebagai fungsi pers, harus dilihat asumsi-asumsi dasar yang dimiliki masyarakat itu mengenai hakikat manusia, hakikat masyarakat dan negara, hubungan antara manusia dan negara, hakikat pengetahuan dan kebenaran. Pada akhirnya, perbedaan antara sistem pers merupakan perbedaan filsafat yang mendasarinya.
Menurut Dominick dalam Elvinaro Ardianto, 2004, sistim media di suatu negara berkaitan dengan sistim politik di negara tersebut. Sistim politik menentukan kepastian hubungan yang nyata antara media dan pemerintah. Pembagian pers dalam dunia ini juga didasari pada keadaan politik di suatu negara. Ini dapat dilihat dalam perjalan pers di dunia. Sistem otoritarian berdasarkan sistem keadaan negara yang mempunyai kekuatan mutlak, pengawasan yang ketat, dan ancaman pembredelan bagi media yang melanggar.
Liberatarian yang mengusung nilai-nilai kebebasan, tetapi ternyata akhirnya juga ditinggalkan karena dinilai hanya mengusung kepentingan kapitalisme dibanding dengan nilai-nilai edukasi. Berkembang teori tanggung jawab sosial, merupakan jawaban bagi suatu pers yang bertanggung jawab tetapi juga mempunyai kepedulian dengan terhadap masyarakat sebagai nilai tanggung jawab sosial. Totalitarian soviet merupakan wujud dari kekuasan yang absolud kepada media dan tujuan media adalah memberikan sumbangan terhadap suksesnya dan berlangsungnya sistem negara soviet. Melihat perjalanan pers di dunia tampak jelas bahwa sistem politik, akan sangat berpengaruh dalam sistem pers yang dianut.
Keadaan politik juga akan mempengaruhi kadar
Keadaan politik juga akan sangat mempengaruhi kadar dalam kebebasan pers yang ada. Konsep kebebasan pers sangat tergantung pada sistim politik di mana pers itu berada. Dalam negara komunis atau otoriter, kebebasan pers dikembangkan untuk membentuk opini pers yang mendukung penguasa. Sedangkan dalam negara liberal atau demokrasi, kebebasan pers pada prinsipnya diarahkan untuk menuju masyarakat yang sehat, bebas berpendapat dan berdemokrasi.
Pendekatan filosofis barangkali bisa dipergunakan untuk melihat hubungan antarakebebasan dan manusia sebagai individu. John Stuart Mill dalam Jakob Oetama (1985) berpendapat, biarlah orang seorang mengembangkan kebebasannya yang absolut. Dengan menggunakan proses kebebasan itu pikirannya yang rasional akhirnya akan menemukan kebenaran. Singkat kata, apabila dipersoalkan kebebasan pers, maka inti masalahnya adalah hubungan pers dan pemerintah. Kekuasaan dan relasi-relasinya menentukan ada tidaknya kadar kebebasan tersebut. Pengertian klasik ini tetap berlaku.
Menurut Oemar Seno Adji, persoalan kebebasan pers terlalu disoroti dari segi hukum saja. Sedangkan dalam prakteknya, terutama di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia, persoalan kebebasan pers lebih merupakan masalah politik. Artinya masalah hukum yang diterapkan dan didalam penerapan itu politik ikut berperan dan berpengaruh terhadap hubungan kekuasaan dan kepentingan.
Objektivitas pers
Terkait dengan hal yang sudah diutarakan terkait kondisi saat ini yang berkaitan dengan simpang-siurnya informasi pada media, maka perlu adanya upaya pengembalian pada jati diriinya sebagai sumber informasi yang relevan. Karena jika kita merunut pada Westerstahl (1983), yang mengutarakan bahwa mengukur objektivitas media harus memiliki dua kriteria. Yaitu factuality dan Impartiality. Faktualitas berarti berita ditulis berdasarkan fakta. Jadi berita bukanlah sebuah show atau rekayasa. Terdiri dari tiga hal, truth, informatif dan relevan.
Truth disini maknanya bahwa nilai kebenaran komunikasi bergantung kepada nara sumber yang terpercaya dan dapat diandalkan. Harus sesuai dengan peristiwa nyata dan berguna di berbagai aplikasi atau lapisan. Tentu tidak kalah penting juga prinsip-prinsip kebebasan, kesetaraan, atau keragaman insan media sendiri. Kalau informatif bagaimana suatu informasi yang disampaikan media tujuannya adalah untuk mengurangi “ketidakpastian” dalam masyarakat, sehingga sedikit banyak masyarakat bisa paham tentang apa yang disampaikan media, apa yang terjadi di sekitar, dan justru dengan adanya informasi tersebut tidak menambah bingung masyarakat. Sementara relevan adalah bagaimana sebuah informasi itu bermanfaat untuk masyarakat. Relevan tidak untuk disajikan ke publik. Apa dampak sosial serta manfaatnya.
Kedua, aspek impartiality. Yaitu sebuah informasi atau berita yang tidak mengandung “keberpihakan” pada satu pihak. Hal ini terbagi dua aspek, balance dan netrality. Balance dipahami sebuah berita yang disajikan harus berimbang. Dalam satu topik atau peristiwa tidak boleh dilihat dari satu sudut pandang saja. Ada beberapa narasumber baik yang pro maupun kontra yang diwawancarai. Kalau netralitas maksudnya sebuah media itu harus netral, tidak boleh menjadi sumpalan kelompok tertentu.
Dua aspek itu menjadi ukuran media tersebut diketegorikan objektif atau sebaliknya. Selain itu, objektivitas berita juga membutuhkan prinsip kesamaan perlakuan antara ‘ekualitas’, yaitu sikap adil dan non diskriminatif terhadap narasumber dan objek berita. Dalam hubungan dengan komunikasi dan kekuasaan politik, kesamaan perlakuan menuntut tidak boleh adanya perlakuan khusus kepada pemegang kekuasaan (Morissan: 2009).
Melihat dua kriteria yang ada di atas, tentunya kita dapat melihat bagaimana objektivitas media saat ini. Saat ini banyak pelanggaran yang dilakukan oleh media. Mungkin ini terjadi karena media mempunyai agenda yang tersendiri. Media mempunyai ideologi yang berbeda antara satu media dengan media yang lain. Tetapi seyogyanya setiap media harus tetap menjunjung nilai-nilai obyektivitas yang ada.
Tidak ada Regulasi yang jelas mengenai kepemilikan media pun menyebabkan adanya patologi/penyakit sosial seperti yang diungkapkan Vincent Moscow dalam buku “The Political Economy of Communication” (1998). Lagi-lagi kapitalis bertanggung jawab dalam atas homogenisasi dan politisasi media. Masing-masing media mempunyai idelologi yang berbeda. Ideologi ini akan dijunjung tinggi oleh semua orang yang bekerja dalam media tersebut. padahal idelogi yang dianut ini sangat tergantung pada ideologi yang dianut oleh pemilik modal tersebut.
Pada akhirnya apa yang diberitakan oleh media merupakan refleksi dari ideologi yang di anut oleh pemilik modal. Apakah pemilik modal hanya menginginkan keuntungan yang besar? Atau keterpihakan kepada suatu politik tertentu semata? tentu saja akan sangat mempengaruhi apa yang tertuang dalam media tersebut.Nilai objektifivitas media saat ini mungkin masih ada dalam media, tetapi kadarnya berbeda dalam setiap media. Ada yang masih memegang teguh nilai objektivitas, misal majalah tempo. Tetapi juga banyak media yang telah mengabaikan nilai-nilai objektivitas dan hanya mengejar rating dan penjualan yang beroriantasi keuntungan atau masih banyak juga media yang menguntungkan satu kekuatan politik saja.
Hal itu mungkin terjadi, karena saat ini tidak ada regulasi yang tegas tentang tersebut. Dewan Pers yang bertugas mengawasai jalannya pers seolah hanya diam dan tidak bertindak dengan tegas mengenai pelanggaran yang terjadi.
Penulis: Tubagus Rahmat (Penulis Duta Kampanye Positif 2019, sekaligus Dosen di Universitas Serang Raya dan STISIP Setia Budhi Rangkasbitung)
COMMENTS