"Betapa bahagianya menjadi seorang guru yang tampil penuh kharisma dihadapan siswanya. Sosok guru yang selalu dirindukan kedatangan...
"Betapa bahagianya menjadi seorang guru yang tampil penuh kharisma
dihadapan siswanya. Sosok guru yang selalu dirindukan kedatangannya, diamnya
disegani, tutur katanya ditaati, dan kepergiannya ditangisi.”
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya agar memiliki spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.”( UU Sisdiknas pasal 1 ayat 1 )
Pendidikan adalah sebuah dunia yang lahir dari rahim kasih sayang.
Pendidikan harus berlangsung dalam suasana kekeluargaan dengan pendidik sebagai
orang tua dan anak didik (murid) sebagai anak. Pendidikan dilakukan
dengan hati lewat ungkapan rasa kasih sayang (love), keikhlasan (sincerely),
kejujuran (honesty), keagamaan (spiritual), dan
suasana kekeluargaan (family atmosphere). Guru
tidak dibatasi waktu dan tempat dalam mendidik siswa, sebagaimana orang tua
mendidik anaknya. Guru harus ikhlas dalam memberikan bimbingan kepada para
siswanya sepanjang waktu. Demikian pula tempat pendidikannya tidak terbatas
hanya di dalam ruang kelas saja, dimanapun seorang guru berada, dia harus
sanggup memainkan perannya sebagai seorang pendidik yang sejati. Fenomena ini
yang kini hilang dari sistem pendidikan nasional kita sekarang.
Mulai meredupnya nuansa kasih sayang dalam interaksi antara guru
dengan siswa telah melahirkan sikap guru yang lebih suka menghukum daripada
tersenyum. Guru lebih suka menghardik daripada bersikap empatik. Guru yang baik
adalah guru yang melandasi interaksinya dengan siswa diatas nilai-nilai cinta
dan kasih sayang. Dengan cintalah akan lahir keharmonisan. Diera globalisasi
yang selalu mengedepankan emosi di sisi hati, ditengah mewabahnya kekeringan
sosial dan krisis kesantunan moral, maka sebuah keniscayaan bagi guru untuk
merevitalisasi penanaman sikap santun dan keramahan di sekolah sebagai lembaga
rekayasa sosial. Seperti yang katakan oleh pakar pendidikan kita Arif Rahman
bahwa diera reformasi yang serba kebablasan ini guru harus mengajar muridnya
dengan hati (cinta dan kasih sayang) bukan emosi.
Sikap cinta dan kasih sayang seorang guru tercermin melalui
kelembutan, kesabaran, penerimaan, kedekatan, keakraban, serta sikap-sikap
positif lainnya dalam berinteraksi dengan lingkungannya, khususnya dengan para
siswa. Sosok guru yang selalu menebar kasih sayang pada siswa akan melahirkan
sebuah kharisma. Siswa akan mencintai guru dengan cara mengidolakannya, serta
menempatkan dia sebagai sosok yang berwibawa dan disegani. Cinta adalah sikap
batin yang melahirkan kelembutan, kesabaran, kelapangan, kreativitas, serta
tawakkal. Jaring-jaring cinta yang kita tebar dengan penuh keikhlasan akan
tersambut positif oleh siswa. Sesuai dengan kalimat hikmah “Siapa menanam,
dialah yang akan memetik hasilnya.”
Respon balik dari rasa cinta siswa bisa terwujud melalui
sikap-sikap positif. Misalnya penghormatan, kepatuhan, motivasi belajar,
kecintaan terhadap tugas, dan rasa ingin selalu menghargai guru yang
dicintainya. Dengan sikap-sikap seperti ini maka siswa akan merasakan bahwa
belajar sudah bukan lagi sebagai kewajiban, tetapi sebagai kebutuhan bahkan
keasyikan. Maka akan muncul gairah untuk berprestasi didalam jiwa siswa. Namun
dalam realita dilapangan , ungkapan rasa cinta guru tidak mudah ditangkap oleh
siswa. Mengungkapkan kata cinta tidak semudah mengucapkan. Dibutuhkan kiat dan
seni tersendiri agar sinyal cinta guru dapat dipahami siswa.
Bagaimana mewujudkan Mengajar dengan hati di sekolah? Ada beberapa
langkah yang harus dilakukan oleh guru:
Kelembutan sikap
Modal utama cinta salah satunya adalah kelembutan sikap.
Kelembutan akan melahirkan cinta, dan perasaan cinta akan semakin merekatkan
hubungan antara guru dengan siswanya. Bila seseorang mencintai sesuatu, pasti
ia akan berperilaku lembut terhadap sesuatu yang dicintainya tersebut. Jika
siswa selalu menemukan kelembutan setiap kali berinteraksi dengan guru, maka
siswa akan meyakini bahwa gurunya memang mencintai mereka. Hampir semua guru
berkeinginan untuk mencintai dan dicintai siswanya. Namun tidak semua guru
berhasil melakukannya. Kiat-kiat untuk melembutkan hati guru: pertama,
jangan pernah ragu menyatakan “aku juga mencintaimu” terhadap siswa.
Menurut Gary Chapman, semua tingkah laku anak adalah “bahasa
cinta.” Dari tingkahnya yang beraneka rupa ,anak mengharap respon positif dari
orang dewasa. Oleh karena itu kita tidak boleh tergesa-gesa
menstempel/cap hitam terhadap anak yang bertingkah polah negatif, tetapi
segeralah kita menangkap pesan cinta dari anak tersebut. Disinilah muasal
hati menjadi lunak dan lembut. kedua, nyatakan “aku hadir demi
kamu.” Jika guru menganut filsafat ini maka, bagaimanapun karakter siswa yang
dihadapi, guru akan mampu menerima dan menghadapinya dengan bijak. ketiga,
nyatakan “akulah sahabatmu.” Apabila ada teman yang selalu setia bersama kita
di kala susah atau senang, maka dialah teman sejati. Guru jangan jadi model
“polisi” yang akan menjadi teman dinas bagi siswanya. Sebagai teman sejati guru
harus mampu menciptakan komunikasi “pemecah es” untuk memecahkan kebekuan
suasana dalam berinteraksi dengan siswa.
Memenej Emosi
Guru harus pandai memenej emosinya secara baik dan canggih. Jangan
sampai mencampuradukan persoalan pribadi dengan masalah sekolah. Bila guru
ingin meluapkan emosi yang sulit dibendung dihadapan siswa, hendaklah dengan
cara duduk, jangan dengan berdiri apalagi dengan berkacak pinggang. Bila amarah
belum reda, cobalah dengan berbaring sejenak, dan bila dengan berbaring masih
belum mampu mengendalikan perasaan marah maka, hendaklah mengambil air wudhu
/cuci muka. Api amarah akan padam mereda bila disiram dengan air.
Hindari Prakonsepsi
Negatif ( Su’udzanisme)
Dalam menghadapi siswa yang bikin ulah dikelas, selaiknya guru
jangan mudah terbawa arus emosional yang bersifat negatif. Stempel atau cap
negatif akan menyebabkan hubungan guru dan murid menjadi tersekat, tidak
netral, bahkan penuh dengan prakonsepsi negatif. Untuk menghindari hal seperti
itu guru harus mampu menjadi sosok yang pemaaf. Seorang guru harus memahami
bahwa anak berbuat kesalahan lebih karena dorongan naluri kekanak-kanakannya
ketimbang pertimbangan rasionalnya. Buatlah kondisi interasi kembali netral
dengan maaf.
Hadirkan Mereka Dalam
Do'a
Guru adalah orang tua kedua bagi anak. Maka, hendaklah guru
berusaha berbuat sebagaimana dilakukan oleh orang tua kepada anaknya. Mendoakan
anak secara rahasia merupakan keniscayaan bagi guru yang kini banyak
terlupakan. Guru selain sebagai pengajar dan pendidik serta yang tidak kalah
pentingnya adalah menjadi pendoa bagi anak didiknya.
Sejalan dengan pemikiran diatas, sebenarnya ada tiga hal yang
sangat dibutuhkan siswa disekolah. Pertama lingkungan belajar
yang aman dan nyaman, kedua sekolah sebagai rumah kedua,
dan ketiga komunitas teman sebaya. Lingkungan belajar yang
aman dan nyaman meliputi sarana dan prasarana fisik serta suasana belajar
yang enjoy learning. Belajar akan efektif jika berada dalam keadaan
yang menyenangkan. Berangkat dari rasa kegembiraan itulah maka akan bangkit
minat, adanya keterlibatan penuh, tercipta makna, adanya pemahaman atau
penguasan materi serta munculnya nilai yang membahagiakan.
Guru sebagai sosok yang pantas digugu dan ditiru, penting menempuh
pendekatan yang disertai dengan kelembutan terhadap anak didik. Menurut Rudolf Dreikurs,
ada beberapa langkah yang harus ditempuh oleh guru untuk mengembangkan sekolah
ramah anak. Pertama, jadilah guru yang tidak lagi bertindak sebagai
penguasa kelas atau mata pelajaran, tetapi bertindaklah sebagi pembimbing kelas
atau mata pelajaran; kedua, kurangi kelantangan suara dan utamakan
keramahtamahan suara; ketiga, kurangi sebanyak mungkin nada
memerintah dan diganti dengan ajakan; keempat, hindarkan sebanyak
mungkin hal-hal yang menekan siswa; kelima, hal-hal yang menekan
diganti dengan pemberian motivasi terhadap anak sehingga bukan paksaan yang
dimunculkan, tetapi pemberian stimulus; dan keenam, jauhkan sikap
guru yang ingin”menguasai”siswa karena sikap yang lebih baik ialah
mengendalikan siswa. Hal yang terungkap bukan kata-kata mencela, tetapi
kata-kata guru yang membangun keberanian dan kepercayan diri siswa.
Sekolah merupakan miniatur kehidupan dalam masyarakat. Karena itu,
selain diberi pembelajaran dalam keseharian, para siswa juga diajak
mengembangkan aspek persaudaraan dan solidaritas antar teman sebagai bekal
kehidupan bersosisalisasi dalam hidup bermasyarakat. Pengembangan aspek kemanusiaan
ini bisa tercipta jika guru dapat menciptakan iklim pembelajaran dikelas yang
kondusif dengan menerapkan model-model pembelajaran yang menantang siswa
berfikir kritis dan kreatif. Lewat sekolah, siswa diajarkan rasa saling
menghormati dan mencintai perbedaan dalam segala bidang baik dengan teman, guru
dan masyarakat sekitar. Siswa tidak cukup hanya menerima perbedaan, tetapi
lebih penting lagi mencintai kebersamaan dalam perbedaan.
Mau dan mampukah guru menanam dan menyemai cinta di hatinya untuk
siswa-siswinya? Harus ! Karena keputusan seseorang menjadi seorang guru
haruslah memahami resiko-resiko yang akan ia hadapi sebagai orang yang
berprofesi sebagai pendidik, dengan semangat totatalitas kerja yang tinggi.
Selamat menebar pesona cinta untuk semua siswanya bagi sang pahlawan
cendekia.
Penulis :Ahmad Taufik,M.Pd
Guru IPS SMP Negeri 2 Jogoroto Jombang
COMMENTS