Akhir-akhir ini , kita sering mendengar di media elektronik, media online, media cetak, ataupun media sosial tentang kasus penarikan b...
Banyak sekali para debitur yang memang sukarela ataupun terpaksa memberikan kendaraannya, karena adanya intimidasi ataupun didatangi secara ramai-ramai oleh pihak suruhan leasing, bahkan tidak sedikit pula debitur yang di rampas kendaraanya di muka umum. Alasan klise dari para team penarikan ini, adalah kendaraan yang sedang dipakai dan menunggak tersebut sudah didaftarkan secara FIDUSIA atau secara sederhananya ketika debitur menunggak, maka dimana saja tempatnya kendaraan tersebut bisa ditarik secara langsung (Parate Eksekusi) oleh kreditor (perusahaan pembiayaan).
Apa itu Fidusia? tidak banyak yang tahu atau bahkan baru mendengar, secara singkat saya akan uraikan mudah-mudahan memberikan pencerahan untuk para pembaca. Perjanjian Fidusia adalah ”Perjanjian hutang piutang kreditor kepada debitor yag melibatkan penjaminan. Jaminan tersebut kedudukanya masih dalam penguasaan pemilik jaminan” atau menurut pasal 1 (satu) UU No.42 Tahun 1999, Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Sejatinya undang-undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dibuat untuk dapat melindungi kedua belah pihak yaitu antara kreditor dan debitor agar tidak ada yang dirugikan. Tetapi pada kenyataannya tidak demikian, fidusia ini menjadi alat untuk pembenaran dalam menarik kendaraan yang tertunggak pada debitor. Sebaliknya ketika UU fidusia ini dijalankan dengan baik, ini akan menjadi satu pegangan kekuatan hukum manakala seorang debitor memindahtangankan kendaraannya kepada pihak lain dengan atau tanpa seizin kreditor maka bisa dianggap melakukan tindakan pidana penggelapan yang diatur didalam pasal 372 KUHPidana dengan ancaman hukumanya empat tahun penjara.
Adapun tatacara pembuatan akta fidusia yang secara benar sebagai berikut: akta fidusia dibuat oleh notaris dan didaftarkan ke kantor pendaftaran Fidusia. Sedangakan pasal 13 UU No. 42 Tahun 1999 Pasal 13, yaitu Permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia dilakukan oleh Penerima Fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran Jaminan Fidusia
Selanjutnya, bagaimana dengan perjanjian fidusia yang tidak dibuatkan akta notaris dan didaftarkan di kantor pendaftaran Fidusia? Ini bisa kita sebut dengan akta dibawah tangan. Pengertian akta di bawah tangan itu sendiri, adalah sebuah akta yang dibuat antara pihak-pihak dimana pembuatannya tidak dihadapan pejabat pembuat akta yang sah yang ditetapkan oleh undang-undang. Akta di bawah tangan ini dikategorikan bukan sebuah akta otentik yang memiliki nilai pembuktian yang sempurna. Saat ini banyak perusahaan pembiayaan baik itu leasing ataupun bank yang memberikan kredit baik secara sewa guna usaha (leasing) ataupun dalam bentuk lainya menunjukan perusahaan pembiayaan didalam melakukan perjanjian pembiayaan mencantumkan kata-kata di jaminkan secara fidusia. Tetapi ironisnya, tidak dibuat dalam akta notaris dan tidak di daftarkan di kantor pendaftaran fidusia guna mendapatkan sertifikat. Jaminan fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat akan menimbulkan suatu akibat hukum yang kompleks dan beresiko. Kreditor dalam melakukan hak eksekusinya bisa di anggap sepihak oleh debitor dan dapat dikategorikan sewenang-wenang, karena debitur sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga dpat di katakana bahwa di atas barang tersebut berdiri hak sebagian milik debitur dan sebagian milik kreditur.
Lebih parah lagi, bila eksekusi dilakukan bukan melalui badan penilaian harga yang resmi atau badan pelelaangan umum. Tindakan tersebut bisa dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum(PMH). Mariam Darus Badrulzaman dalam bukunya “KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan”, seperti dikutip Rosa Agustina dalam buku “Perbuatan Melawan Hukum” (hal. 36) menjabarkan unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPer sebagai berikut:
a. Harus ada perbuatan (positif maupun negatif);
b. Perbuatan itu harus melawan hukum;
c. Ada kerugian;
d. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian;
e. Ada kesalahan.
Sedangkan, yang termasuk ke dalam perbuatan melawan hukum itu sendiri adalah perbuatan-perbuatan yang:
1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
2. Melanggar hak subjektif orang lain;
3. Melanggar kaidah tata susila;
4. Bertentangan dengan asas kepatutan ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.
Dalam konsepsi hukum pidana, eksekusi objek fidusia di bawah tangan masuk dalam tindakan pidana pasal 368 KUHP (Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagaian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara maksimum 9 tahun).
Selain dari pasal ini mungkin saja bisa dikenakan pasal-pasal pidana lainnya, mengingat bahwa eksekusi adalah bukan hal perkara yang mudah, untuk melakukan itu butuh jaminan hukum dan dukungan aparat hukum secara legal. Bahkan ketika debitor melakukan pemindahan tangan objek fidusia pun karena fidusianya tidak didaftarkan (bawah tangan) maka tidak dapat di jerat dengan UU No 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia tersebut, dikarenakan tidak sah atau legalnya suatu perjanjian jaminan fidusia yang di buat.
Biasanya kreditor melaporkan debitor yang memindah tangankan objek fidusia dengan pasal 372 KUHPidana padahal substansi daripada pasal 372 KUHPidana, yaitu barang siapa yang dengan sengaja melawan hukum memiliki barang sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain tetapi yang dalam kekuasaanya bukan karena kejahatan. Penerapan pasal ini biasa menjadi sebuah blunder karena bisa saja saling melaporkan antara pihak kreditor dengan debitor dengan dasar bahwa objek fidusia tersebut adalah sebagian milik dari pada keduanya, dibutuhkan keputusan perdata oleh pengadilan negeri setempat, untuk mendudukan porsi masing-masing pemilik barang tersebut.
Terakhir, kita patut menduga adanya pengemplangan pendapatan Negara yang berasal dari non pajak sesuai UU No. 20 Tahun 1997, Tentang Pendapatan Negara Non Pajak, karena ratusan bahkan jutaan atau lebih perusahaan pembiayaan baik bank atau pun leasing tidak mendaptarkan secara sah jaminan fidusianya sehingga berpotensi besar merugikan keuangan Negara. (*)
Penulis: H Wahyudi, SH
Advokat pada LKBH Sinar Madani dan LKBH Pemuda KNPI Provinsi Banten
COMMENTS