Oleh: Edy Mulyadi* Dualisme Asosiasi Kopi Bakal Berlanjut, Ini Harapan Pengusaha Dari Lampung . Begitu judul beberapa waktu silam. Is...
Oleh: Edy Mulyadi*
Dualisme Asosiasi Kopi Bakal Berlanjut, Ini Harapan Pengusaha Dari
Lampung.
Begitu judul beberapa waktu silam. Isinya, cerita tentang kisruh yang berujung
pecahnya di organisasi para pengekspor kopi yang tampaknya bakal berlanjut.
Sekadar menyegarkan ingatan bersama, sebelumnya pelaku ekspor kopi
bernaung di satu wadah, yaitu Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI). Namun
pada Rapat Umum Anggota (RUA) RUA ke-8 lima tahun silam, sejumlah anggota
hengkang. Kelompok yang dimotori AEKI Jawa Timur ini kecewa terhadap kinerja
pengurus pusat. Akhirnya mereka membentuk Gabungan AEKI (GAEKI).
Nah menurut berita tersebut, dualisme organisasi eksportir dan
industri kopi Indonesia itu tampaknya belum segera berakhir. Pasalnya, RUA AEKI
ke-9 yang digelar di Jakarta 10-11 Maret lalu sepertinya bakal mempertahankan
status quo. Indikatornya, RUA menerima laporan pertanggungjawaban pengurus
pusat masa bakti 2010-2015, dengan mulus.
Mulus? Ah, ternyata tidak juga. Sebagian (besar?) peserta mencium
gelagat bakal langgengnya status quo. Buktinya, mereka langsung meninggalkan
ruang sidang dan kembali ke daerah masing-masing sebelum perhelatan selesai.
Bahkan beberapa anggota dari daerah sudah tidak lagi tampak pasca
diterimanya laporan pertanggungjawaban pengurus pusat.
Mendag Murka
Status quo, pada mayoritas kasus, memang tidak elok. Apalagi kalau
kondisi itu berlumut jumud. Statis, mandeg! Nah, kondisi seperti
itulah yang membelit AEKI pada beberapa tahun terakhir.
Situasi diperparah dengan murkanya Menteri Perdagangan (waktu itu)
Mari Elka Pangestu terhadap AEKI. Semua bermula dari upaya Ketua Umum DPP AEKI
Hasan Wijaya yang mengumpulkan sejumlah asosiasi sektor pertanian dan menyurati
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mencabut pengenaan PPh 22 kepada
pedagang pengumpul.
Kalau Mari marah, tentu wajar saja. Pasalnya, dalam struktur
organisasi AEKI, Mendag bersama Menteri Pertanian dan Menteri Perindustrian
memang didapuk sebagai Pembina. Itulah sebabnya manuver Hasan yang tanpa
berkordinasi dengan Menteri Perdagangan itu dinilai banyak kalangan sebagai
‘langkah lancang’. Mosok untuk soal sepenting dan sestrategis
itu Pembina dicuekin?
Masalah lain yang cukup krusial, Mari beranggapan RUA
ke-8 melanggar AD/ART AEKI. Juga terdapat sejumlah pasal dalam
Anggaran Dasar AEKI yang ditolak Kemendag karena dianggap menyimpang dari visi
dan misi organisasi. Untuk itu, lewat surat yang Dirjen Perdagangan Luar
Negeri, Deddy Saleh, Mendag menegur pengurus. Mereka juga diminta
menyelenggarakan RUA ulang dengan agenda tunggal, memilih kepengurusan.
Sayangnya, bukannya menuruti permintaan pemerintah, Suyanto Husein
selaku ketua umum terpilih justru menyatakan Mendag tidak berwenang dalam
menentukan kebijakan AEKI.
Tentu saja Mari kian marah. Sejak itulah Kementerian Perdagangan
tidak lagi mengakui kepengurusan AEKI. Persoalan tidak berhenti di situ.
Puncaknya, Mari mencabut SK yang mewajibkan anggota AEKI menyetor iuran Rp30
per kg kopi yang diekspor ke organisasi. Padahal, kutipan ekspor itulah yang
selama ini menjadi aliran darah bagi AEKI, baik di pusat maupun di daerah.
Akibatnya sangat serius. AEKI yang pada 1990an eksis sebagai
organisasi yang berwibawa dan menjadi mitra utama Pemerintah dalam
berbagai perundingan internasional, langsung limbung. Tanpa sumber pemasukan,
praktis organisasi ini berjalan dengan ‘mantab’ alias makan tabungan. Kini, kabarnya,
di pundi-pundi AEKI tinggal Rp200 juta saja. Padahal, dulu duit belasan bahkan
puluhan miliaran rupiah mengendap di kas mereka. Dengan fulus berlimpah inilah
AEKI membiayai berbagai program kegiatannya. Termasuk bermacam perundingan kopi
di ranah internasional, pameran-pameran kopi nasional dan internasional,
pembinaan petani, dan lainnya.
Delapan Juta Jiwa
Baiklah, mari kita lupakan masa lalu. Sekarang yang lebih penting,
bagaimana ke depan. Sebagai komoditas ekspor, kopi memang tidak lagi semoncer
masa silam. Di kalangan komoditas pertanian, kopi kini menduduki posisi keempat
penghasil devisa terbesar setelah minyak sawit, karet, dan kakao.
Data 2015 menyebutkan luas perkebunan kopi Indonesia sekitar 1,24
juta ha. Jumlah itu terdiri atas 933.000 ha perkebunan robusta dan 307.000 ha
perkebunan arabika. Lebih dari 92% dari total perkebunan dibudidayakan para
petani skala kecil, dengan luas lahan kurang dari 2 ha. Jumlah petani yang
terlibat mencapai 1,92 juta kepala keluarga (KK). Jika diasumsikan tiap keluarga
terdiri atas ayah, ibu, dan dua anak, maka artinya ada sekitar 8 juta jiwa yang
menggantungkan hidupnya pada kopi.
Dengan peta seperti ini, Pemerintah memang tidak bisa
main-main dengan kopi. Bukan saja karena kopi adalah salah satu komoditas penghasil
devisa, tapi karena ada sekitar 8 juta jiwa yang terlibat di sana. Tidak bisa
tidak, Pemerintah harus kembali cawe-cawe secara aktif
dalam urusan perkopian nasional.
Langkah itu bisa dimulai dengan membenahi organisasi para
eksportir dan produsen kopi. Membiarkan benang kusut terus membelit AEKI dan
GAEKI jelas bukan langkah bijak. Kita setuju, bahwa kini bukan lagi era semua
harus serba seragam, harus serba satu wadah. Pasca reformasi, para wartawan
saja kini emoh ‘dikandangkan’ dalam satu organisasi. Itulah
sebabnya tumbuh puluhan organisasi tempat para jurnalis berhimpun.
Tapi pada konteks kopi, pemeritah benar-benar tidak boleh
berpangku tangan. Sebagai penyelenggara negara, Pemerintah tidak boleh
duduk manis, menonton ‘pertarungan’ AEKI-GAEKI yang bisa jadi tidak
berkesudahan.
Pemerintah harus punya mitra yang jelas dalam mengembangkan
dan memanfaatkan kopi bagi kepentingan petani dan perekonomian nasional secara
maksimal. Rekonsiliasi AEKI-GAEKI tentu langkah ideal. Lebih ideal lagi kalau
mereka mau melebur diri dalam satu wadah seperti dulu. Tentu saja, maksud saya,
jika hal itu masih memungkinkan.
Memilah dan Memilih
Bahwa lumayan banyak anggota yang hengkang dari AEKI dan
mendirikan GAEKI, itu adalah fakta. Bahwa hengkangnya mereka dipicu ketidakpuasan
kinerja pengurus, juga fakta. Sayangnya, banyak anggota yang hengkang dari AEKI
ke GAEKI ternyata justru para the real exportir. Mereka
berasal dari Jatim, Lampung, dan Medan. Kinerja ekspor mereka selama ini
juga cukup bagus. Sebaliknya, anggtoa yang tertap bertahan di AEKI banyak yang
sudah tidak aktif.
Fakta lain yang tidak kalah pentinganya adalah, memburuknya
hubungan AEKI dengan Kemendag sebagai Pembina sekaligus regulator. Ini jelas
fakta penting yang tidak boleh diabaikan begitu saja.
Runyamnya hubungan asosiasi pengusaha dan penguasa jelas perkara
teramat serius. Angin demokrasi yang berhembus kencang memang tidak lagi
menempatkan Pemerintah sebagai pusat segalanya. Peran Pemerintah
kini lebih banyak sebagai fasilitator dengan risiko ‘cengkraman’ yang
kian kendur. Tapi, lagi-lagi, dalam banyak hal Pemerintah tetap saja
masih vital. Lagi pula, dalam unggah-ungguh budaya timur,
tidak elok juga kalau pengusaha berseberangan apalagi berseteru dengan
Pemerintah.
Pada saat yang sama, dalam usianya yang masih seumur jagung, GAEKI
justru sudah bergandeng mesra bersama Pemerintah menembus barikade
ekspor kopi ke Jepang karena dituding mengandung carbaryl, residu
kimia pada biji kopi. GAEKI juga yang ditunjuk mendampingi pemerintah pada ICO.
Bukan hanya dengan kementerian Perdagangan, organisasi baru ini juga banyak
memberi masukan kepada Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian.
Tampaknya ke depan agak sulit melahirkan kembali peran-peran
sinergis AEKI-Pemerintah pada sidang-sidang International Coffee
Organization (ICO) bak masa lalu. Di sinilah kemampuan memilah dan memilih
Pemerintah diuji. Untuk membangun perkopian nasional,
Pemerintah memang tidak boleh membedakan mana kelompok yang baik dan mana
yang buruk. Meski demikian, berdasarkan perjalanan organisasi yang cukup
panjang, Pemerintah semestinya bisa membaca dan menganilisis fakta yang
ada untuk kemudian mengambil sikap.
Akhirnya, semua terpulang pada sikap arif Pemerintah. Satu hal
yang pasti, kopi dan jutaan petaninya terlalu berharga untuk Pemerintah
abaikan. (voa-islam.com)
*penulis *Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)
COMMENTS