Bantenekspose.com - Abah menembus rindunya perkebunan dengan truk. Disampingnya, ada gadis kecil yang selalu dijaganya. Sehari-hari gadi...
Bantenekspose.com - Abah menembus rindunya perkebunan dengan truk. Disampingnya,
ada gadis kecil yang selalu dijaganya. Sehari-hari gadis kecil ini dekat dan
lekat dengan hijaunya dedaunan, selalu menghirup udara segar setiap pagi, dan
mendengar nyanyian burung di ranting dan dahan.
Abah membentuk
karakterisitik gadis kecil cucunya ini dengan mengajak ‘sekolah’ di alam
terbuka, sejak dini, untuk belajar tentang kesederhanaan, kesalehan, dan
keprihatinan. Abah menyayangi cucunya itu, tetapi sama sekali tidak
memanjakannya, padahal abah terhitung orang ada dan berwibawa di desanya, Prabugantungan.
Tetapi, kalau kemudian
gadis kecil ini tumbuh dengan segala ke-jawaraannya, dan bahkan tidak jarang, main
gaplok kepada teman - temannya, boleh
jadi, itu di luar dugaan abah. ''Saya biasa main kelereng, main karet, main
gundu juga main gaplok kalau ada yang main curang,'' kata gadis kecil itu
kemudian, sambil tertawa lepas.
Semasa usia SMP,
pengakuan gadis kecil itu, kalau ada laki laki yang menggodanya, selalu ditantang
berkelahi. Kalau ada lelaki teman sekelasnya tampak cool dan kalem, tak mau
berjabat tangan dengannya, pasti diledeknya. ''ulah cicing teuing dia! Kudu
sasalaman heula jeung aing,'' kata gadis kecil itu lagi, lalu tertawa
lebih lepas. Soal berkelahi, semasa nyantri di pesantren wasilatul falah
Rangkasbitung, wah... Anak STM pun pernah dilabraknya, berkelahi sudah
jadi hobby-nya. ''saya ini
temperamental,'' kata Iti
***
Pedalaman Desa Prabugantungan
masih hijau, perkebunan karet masih tumbuh, abah telah tiada, tapi gadis kecil
pendamping abah dalam truk itu kemudian tumbuh dewasa, dan setelah melewati
rentang masa sekian panjangnya, gadis kecil itu kemudian jadi bupati Kabupaten
Lebak. Itulah Hj. Iti Octavia Jayabaya, SE, MM.
Abah, demikian Hj. Iti
Octavia Jayabaya memanggil kakeknya, Datu Jayabaya, selalu menjaga agar saya
tidak salah gaul. “Kalau ada pentas musik atau layar tancap di Cileles,
abah melarang saya keluar dari rumah,'' kata Hj. Iti Octavia Jayabaya
semasa kecil, demikian Hj. Iti Octavia Jayabaya pula, saya diajari hidup
sederhana. ''Saya baru bisa mendapatkan uang jajan setelah memungut butir demi
butir cengkeh yang pada berjatuhan,'' katanya.
Jadi pengembala sapi
atau kerbau, mengambil kayu bakar dari kebun, atau menimbang dan mencetak karet
sadap, adalah keseharian sosok Hj. Iti Octavia Jayabaya semasa tinggal di Desa Prabugantungan,
Kecamatan Cileles, Kabupaten Lebak.
Abah sangat
memperhatikan pendidikan sejak dini. Dinginnya Desa Prabugantungan selalu
ditembusnya. Subuh sudah di bangunkan untuk salat, kemudian di suruh
mandi, dan pergi sekolah. Tak ada uang jajan, tetapi di bekali makanan. ''Dibekelan ranginang sagede piring duralex,''
kata Hj. Iti Octavia Jayabaya sambil tertawa.
Kalau istirahat, disuruh
pulang, makan dan minum air kendi, sejuk sekali! Abah selalu mengingatkan, “kudu
sekolah, neng''
Semenjak kecil pula, Hj.
Iti Octavia Jayabaya mengikuti pendidikan agama, baik di pesantren salafy
seperti di Pandeglang maupun mengaji di beberapa guru pengajian al-quran.
Pernah pula belajar tahsiin al-quran (membaca dengan lagu).
''Saya pernah digurah agar merdu ketika membaca
al-quran. Saya selalu khatam (tamat) al-quran paling dulu dari kawan-kawan
mengaji,'' kata Hj. Iti Octavia Jayabaya.
Semasa di SMP, abah
selalu memberi uang untuk sekolah, tetapi sambil mengajarinya hidup dengan
catatan dan penghitungan. Abah selalu mengecek catatan pengeluaran dan
pemasukan uang setiap bulan.
''Kalau ada yang memberi
uang, harus di catat dalam pemasukan, lalu di laporkan kepada abah. Saya selalu
melaporkan catatan keuangan kepada abah setiap bulan ketika pulang ke Desa Prabugantungan,
'' kata Hj. Iti Octavia Jayabaya
Kalau kemudian ia
memilih kuliah dengan spesialisasi analisis keuangan, itu boleh jadi akibat ruh
dan pengaruh abah.
***
Bagi anak panah yang melesat
dari busurnya, Hj. Iti Octavia Jayabaya keluar dari desa prabugantungan, lalu
mengembara ke dunia pendidikan formal yang lain, seperti SMP, juga masuk ke
beberapa pesantren tradisional dan pesantren modern: pesantren Daar El-qalam
(gintung) dan pesantren Wasilatul Falah (Rangkasbitung).
Hj. Iti Octavia Jayabaya
mengaku sangat menikmati dunia pesantren, dengan segala suka dan dukanya. Makan
bersama santri yang lain dalam satu hamparan daun pisang, hanya nasi di campur
mie instan.
Kalau ingin
tenang menghafal, harus menyendiri di sawah atau di bawah pohon. Sewaktu -
waktu Hj. Iti Octavia Jayabaya membaca buku sambil ngadapang di masjid.
Sering dihukum jemur,
karena tidak berbicara dengan bahasa arab atau bahasa Inggris.
Mandi ''berjamaah'' (tentu saja dengan sesama santriwati-red) jadi kebiasaan karena kamar mandinya terbatas, sedangkan santrinya cukup banyak. ''semua mengajari saya hidup sederhana,'' kata Hj. Iti Octavia Jayabaya
Setelah ''kenyang''
nyantri dan sekolah, Hj. Iti Octavia Jayabaya mengembara ke Jakarta, kuliah di
Universitas Jayabaya, lulus strata satu tahun 2000. Betapa bangganya keluarga
karena punya anak sarjana. Maka, sang ayah, H. Mulyadi Jayabaya, menghadiahinya
kendaraan roda empat, kijang krista,ia sangat aktif di kampus IPK - nya cukup
bagus 3,84.
Sebetulnya, ketika itu,
Hj. Iti Octavia Jayabaya sudah siap meneruskan jenjang pendidikan ke New South
Wales Universitas (NSWU) Australia. Bahkan sudah mengikuti tes kemampuan bahasa
Inggris (TOEFL) ''meski sudah daftar, ternyata kuliah di Australia akhirnya
batal,'' kata Hj. Iti Octavia Jayabaya
Pendidikan strata dua
selesaikan di Universitas Trisakti (2005). Hj. Iti Octavia Jayabaya pernah jadi
pengusaha, anggota legislator juga pekerja seni di perusahaan Setiawan Jodi,
Jakarta. Pekerja seni? Ya, setidaknya Hj. Iti Octavia Jayabaya pernah jadi
seniman dari saat waktu di SD. Ketika menari, Tangan lembut gemulai, jauh dari
kesan tangan tukang ''main gaplok''
Desa Prabugantungan
selalu terkenang, selalu terbayang di tengah-tengah kehidupannya kini sebagai
Bupati Kabupaten Lebak. Ada senandung rindu yang di nyanyikan senja hari saat
sang surya kembali ke balik malam.
Dahan dan
Ranting perkebunan prabugantungan berbisik, burung burung disini masih tenang
mendendangkan kebebasan di tengah tengah ''burung burung'' lain yang mau
membuka mulutnya hanya untuk tersenyum atau menjawab pertanyaan.
Kerinduan ke desa tempat
kelahirannya itu selalu tumbuh, desa prabugantungan ternyata kini dirasakan
banyak mengajarinya tentang kehidupan.,dunia pesantren dirasakan sebagai tempat
melatih kebersamaan dan hidup sederhana. Tentang ''full Day school'' oh, Hj.
Iti Octavia Jayabaya sudah merasakannya selama nyantri.
Prabugantungan,
dalam benak Hj. Iti Octavia Jayabaya kemudian, tak sekedar lahan perkebunan
dengan padang rumput hijau tempat menggembala sapi atau kerbau.
Prabugantungan adalah ''sekolah''
ketika abah mengajarinya jadi cucu yang berkarakter dan jadi anak sekolahan, ''kudu
Sekolah Neng'' nasihat abah ini selalu terngiang dan tertanam kuat. Ada
kerinduan yang menyilap di tengah deret pohon karet perkebunan Prabugantungan.
(jaf/har)
Sumber: Humas Pemkab
Lebak
COMMENTS