Khotbah Keadaban
0 menit baca
Narasi cemooh dan menghina begitu mudah dikatakan, hanya karena beda pandangan, beda organisasi dan beda perasaannya. Sekalipun orang itu salah tidak harus terlebih dulu dituduh, sebab fakta yang buktikan itu benar atau salahnya.
Kita, ini terkadang mudah memvonis orang salah, jelek perangai, buruk karakter, rendah martabat dan lain sebagainya. Ukuran akhlaq itu bukan hitam dan putih, tapi soal rasa. Yang ini baik dan itu jahat adalah tangkapan perasaan. Karena dari sumber rasa itulah disebut manusiawi. Agama itu intinya adalah memuliakan manusia, menyelamatkan manusia dari kesesatan, dari kesalahan, kekeliruan, kehinaan, kebinasaan, dan kerugian dunia serta akhiratnya.
Bagaimana agama menjadi mulia di mata manusia sementara mempraktikan ajaran agama jauh dari nilai kemanusiaan.
Kenapa yang ditiru selalu simbol, seperti jubah, sorban, gamis, jenggot panjang, cadar dan celana cingkrang. Padahal itu semua adalah aksesoris orang Arab dan sudah jadi kebudayaan mereka. dan itu bukan substansi ajaran Islam. Justeru yang disebut muslim itu adalah mereka yang totalitas menyerahkan dirinya untuk menyembah Allah SWT, Tuhan seru sekalian alam. Dari bangsa manapun di dunia ini mereka berhak dan berkewajiban menjalankan agamanya tanpa perlu diribeti simbol Arab.
Dalam berislam yang utama adalah akhlaq atau adab. Sebab Rosulullah Saw diutus untuk menyempurnakan akhlaq. Maka dari dasar itulah yang paling penting adalah menjalankan syariat Islam secara lurus dan benar, sesuai tuntunan ilmu fiqih. Dengan berperilaku sesuai akhlaq al-karimah yang sudah diajarkan dan dipraktikan oleh Nabi. Meski tidak semua tertiru, paling tidak kita terus berupaya meniru akhlaq Nabi Saw yang mulia, maka itu perlu dituntun oleh tasawuf dan tauladan yang dicontohkan oleh kaum sufi dan ulama yang mukhlis.
Kefanaan kita jangan lantas diperparah dengan keburukan perangai hingga kemudian kemuliaan yang dibangun oleh ilmu justeru runtuh dan hilang. Bukankah keabadian bisa dirasakan manakala cinta pada Allah sebagai dasarnya.
Untuk apa surga yang dicita-citakan tapi tersandung oleh perbuatan zalim kita pada orang lain. Sementara kezaliman itu akan dimintakan pertanggungjawabannya. Maka yang paling penting dan mendesak, merendahkan diri pada kekuasaan dan tenggelam dalam samudera marifat Allah hingga manusia tak mengetahui bahwa sesungguhnya manisnya asmara yang dituangi bersama zikir dan solawatan tersebut tidak perlu diketahui yang lainnya.
Sesungguhnya, ajaran kaum sufi telah banyak menyuguhkan dan memperaktikan akhlaq Rosulullah Saw. Hanya saja muslim yang masih tertarik pada simbol dan egoisme beragama hakikatnya merugi. Yang menjadi pemenang dalam kehidupan ini adalah mereka secara diam-diam mendekatkan dirinya pada Tuhan yang maha rahman dan maha rahim, tanpa sedikitpun ingin diketahui.
Banyak yang tertipu terhadap penampilan, sok agamis tapi justeru yang merusak agama. Sok suci tapi perangainya buruk, seburuk perilaku keledai.
Bangsa ini ( bangsa Indonesia ), harus terus bersikap benar dalam beragama, tidak emosional menyikapi isu-isu agama, tidak mudah diprovokasi oleh ayat-ayat Tuhan yang gemar dikhotbahkan, tetapi sebenarnya maksud ayat-ayat itu justeru tidak menghendaki kekerasan. Sungguh benar bahwa Islam adalah agama untuk rahmatan lil alamin.
Penulis: Hamdan Suhaemi
Wakil Ketua PW GP Ansor Banten
Ketua PW Rijalul Ansor Banten
Wakil Ketua PW GP Ansor Banten
Ketua PW Rijalul Ansor Banten