Bedjo Untung---ketua YPKP 65 - Tangerang sekaligus mantan tapol, sedang membelakangi tempat bekas kamp kerja paksa tahanan Gestapu di kal...
You see the stars when the night is done
You see the death when the life is gone
Confused by the rules who'll take control
There is no god
(Sodom – Genocide, 2001)
BantenEkspose.com - 54 tahun berlalu---para tahanan politik
(tapol) sisa-sisa Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu) 1965 atau Gerakan Satu
Oktober (Gestok) masih bernafas dipilar-pilar kemanusian yang belum
terselesaikan. Hal ini sering menuai kontroversi di kalangan elit maupun akar
rumput tentang kebenarannya. Tak heran, terkadang banyak yang mengkait-kaitkan
perihal ini dengan urusan politik. Tag line yang sering muncul di awal
Oktober---yakni “Bahaya Laten Komunisme”.
Bicara tentang Gestapu, banyak yang
bertanya-tanya tentang perihal status kemanusiaan. Apakah ini merupakan sebuah
kemenangan atau tragedi kemanusiaan---atau mungkin tepatnya genosida?
Menurut catatan M.C. Ricklefs melalui buku
A History of Modern Indonesia (1991), suatu komando keamanan angkatan
bersenjata memperkirakan antara 450.000 sampai 500.000 jiwa dibantai.
Beberapa sumber mengatakan – korban jiwa
terdiri dari siapa saja yang menjadi bagian dari Partai Komunis Indonesia
(PKI), simpatisan, underbouw, dan sukarnois. Beberapa sumber mengatakan,
selain dibunuh – banyak yang diasingkan ke Pulau Buru dan menjadi tahanan
politik.
Noam Chomsky dan Edward S. Herman dalam Counter
Revolutionary Violence (1973) mencatat, Pembantaian besar-besaran di
Indonesia 1965-69 memberikan demonstrasi AS yang paling mengesankan. Dimana
secara politis, pembantaian dianggap sebagai hal positif. Selama pertumpahan
darah kontra-revolusi, pada jumlah minimum---terdapat beberapa ratus ribu pria,
wanita, dan anak-anak disembelih secara singkat secara darah dingin, dengan
perkiraan mati rasa.
Campur Tangan Yankees
Ditengah pergolakan perang dingin antar
dua kutub terbilang membabi-buta---pertarungan sengit antara beruang cokelat
dan burung elang. Ada di pihak manakah Indonesia dipertengahan 1965?
Tanggal 1 Oktober 1965 merupakan sebuah
hari kiamat bagi kaum kiri dan simpatisannya. Dilansir dari Majalah San
Fransisco Examiner edisi 20 Mei 1990, Joseph Lazarsky---wakil kepala Central
Intelligence Agency (CIA) mengatakan bahwa konfirmasi pembantaian datang
langsung dari markas Soeharto.
“Kami memperoleh laporan yang jelas di
Jakarta mengenai siapa-siapa saja yang harus ditangkap. Angkatan bersenjata
memiliki ‘daftar tembak’ yang berisi sekitar 4.000 sampai 5.000 orang. Mereka
tidak memiliki cukup tentara untuk membinasakan mereka semua, dan beberapa
orang cukup berharga untuk diinterogasi. Infrastruktur milik PKI dengan cepat
dilumpuhkan,” lanjutnya
Ikut campur tangan Amerika Serikat dengan
CIA-nya dinilai dari diamandemennya UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing. Pengesahan undang-undang tersebut disinyalir sebagai keran terhadap
modal asing. Dilihat dari awal mula pendirian PT. Freeport Indonesia di Papua
tahun 1966. Terlebih, PT. Freeport Indonesia merupakan satu-satunya perusahaan
yang menandatangani kontrak di tengah kondisi gejolak kutub kanan dan kiri.
Penandatangan itu, “membuat Freeport
Sulphur perusahaan asing pertama yang menandatangani kontrak dengan pemerintah
baru dan satu-satunya perusahaan yang menandatangani kontrak di bawah kondisi
yang luar biasa seperti itu,” tulis Denise Leith dalam The Politics of
Power: Freeport in Suharto’s Indonesia.
Langit Kelabu se-Kota Tangerang
Kota Tangerang; sebuah kota di bagian
timur Provinsi Banten; terkenal dengan ke-Islaman dan santriisme-nya. Terlebih,
kota ini merupakan sebuah tempat urban dan penunjang daerah yang sebentar lagi
bukan ibu kota, yaitu DKI Jakarta. Segala jenis elemen masyarakat disini
beragam---mulai dari etnis sunda, jawa, tionghoa, dan sebagainya---sewajarnya
tempat urban.
Pemerintah Kota Tangerang memberikan
julukan kota “Akhlakul Karimah” pada Kota Tangerang. Akhlakul Karimah sendiri
memiliki arti akhlak yang baik atau terpuji. Seperti ada semangat kebaikan yang
digelorakan untuk membangun pribadi Kota Tangerang. Akan tetapi, apakah gelora
kebaikan tersebut dirasakan oleh korban maupun tahanan politik Gestapu 1965 di
Tangerang?
Salah seorang warga Cikokol, Kota
Tangerang, Bedjo Untung yang juga ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan
(YPKP) 1965---ia tidak merasakan sifat Akhlakul Karimah Kota Tangerang sedari
1971. Dirinya mendekam di Lapas Kelas 1 Kota Tangerang. Momen tersebut
menggoreskan mimpi buruk di sepanjang masa mudanya---walaupun ada beberapa
orang lain yang bernasib sama dengannya.
“Saya yang tahu presis---saya berada di
Tangerang sejak tahuh 1971 sampai 1979---sebagai tahanan politik untuk kerja paksa
di wilayah ini,” ujar Bedjo, seraya menunjuk ke arah belakang Taman Gajah
Tunggal, Kota Tangerang.
Menurut keterangannya, di seberang Taman
Gajah Tunggal; dulunya kamp kerja paksa; disebut-sebut sebagai area-2---di
sebelah kanannya merupakan area-1.
"Di seberang situ namanya area-2; memiliki
luas sebesar 60 Hektar dan di sebelah kanan disebut area 1; itu ada lahan
seluas 110 Hektar---itu dijadikan sebagai kamp kerja paksa bagi orang-orang
yang dituduh PKI,” terangnya
Bedjo menaksir jumlah tahanan yang berada
di Kota Tangerang---semua pindahan dari Rutan Salemba; “Saya taksir; sejumlah
6,000 orang; dengan asumsi yang di Salemba sekitar 10,000---dipindahkan kemari
karena sudah terlalu penuh---secara bergelombang. Ada yang nanam padi, nanam
jagung, ketela---sekaligus peternakan ayam, ikan, kerbau, kemudian kambing”
Namun sayang, semua hasil kerja tapol
dikuasai oleh tantara. Bedjo terlihat geram saat ia memaparkan bagaimana
represifitas tantara saat itu; ia dan yang lainnya dikontak secara fisik. Hasil
kerjanya pun tak diupah dan makan yang mereka dapat pun terbilang tidak layak.
“Semua hasil kerja dari tapol, itu
dikuasai oleh tantara. Nah, karena dulu kami sebagai tapol; tidak punya hak
menjawab ataupun melawan; itu kami digebuk, disiksa, dan dipaksa untuk bekerja.
Kami tidak diupah dan tidak diberikan makan secara layak,” jelasnya [nada
bicara Bedjo geram]
Bedjo menambahkan rasa geramnya saat ia
mengingat apa yang ia dan tapol lainnya makan---seakan lukanya ditabur garam;
“saya masih ingat, saat pertama kali saya masuk---paginya, kami cuma dapat
bubur; itu hanya air saja; mirip seperti air tajin (air rendaman beras).
Karena, saking banyaknya tahanan politik---bubur dikasih air
sebanyak-banyaknya---mungkin berasnya hanya satu sendok barangkali,”
Site Plan Kota Tangerang
Selain itu, Bedjo juga bilang---sebagian site
plan Kota Tangerang merupakan hasil kerja dari tapol. Sebelum dijadikan
bangunan, ada lahan pertanian yang dikelola oleh tapol saat itu.
“Semua site plan ini; itu dibuat oleh
tapol---dulunya masih berbentuk lahan pertanian,” tegasnya
Pada umumnya, lahan pertanian sangat
membutuhkan kesuburan dan kegemburan tanah---terlebih kadar air yang mencukupi.
Bedjo mengaku jika pembukaan lahan tani dilakukan oleh tapol dengan tangan
kosong; menggemburi dan menyuburkan tanah yang tandus.
“Dulu, area 1 dan area 2 itu
tandus---pertama saya datangi, itu dulu ditumbuhi rumput-rumput liar
berduri---tapol disuruh untuk membuka lahan itu tanpa peralatan; hanya tangan
kosong saja,” Bedjo menunjukkan bekas kapal di telapak tangannya.
Keberadaan intelektual yang dituduh PKI
pun---dimanfaatkan oleh tantara dalam melaksanakan side plan. Semua
tapol dipaksa menyuburkan daerah terkait; seperti halnya cacing yang secara
alami menyuburkan tanah.
“Dari tanah yang tandus itu bisa dirubah
oleh tapol jadi daerah subur---karena, tapol itu ada banyak insinyurnya juga;
lulusan dari Moskow, ITB, UI; sehingga memanfaatkan kali Cisadane untuk
mengairi lahan tandus,” terangnya
Tidak sepenuhnya tangan kosong, penggunaan
pompa diesel masih dapat ditolerir. Nantinya, air akan dialiri ke
tanah-tanah yang dinilai gersang dan tandus---disulap menjadi produktif; “Itu
air disedot pakai pompa, saya masih ingat---ada dua diesel---air disedot,
ditampung, kemudian dialirkan ke saluran tersier hingga masuk ke area 2. Itu
luar biasa, yang tadinya gersang---sekarang jadi subur,”
Agenda Bertahan Hidup
Banyak dari tapol disuruh menanam padi dan
hasil pertanian lainnya---Bedjo menyayangkan; tapol tidak bisa menikmati hasil
kerjanya. Maka dari itu, ia mengatakan jika mereka hanya bisa makan apapun
selain dari hasil tani yang ada. Jika ada sebagian yang diambil tapol---katanya
akan dipukul.
“Meskipun banyak padi, tapol tidak
menikmati---karena kata penjaganya nggak boleh---ketahuan bisa dipukul,”
terangnya
Dalam rangka untuk bertahan hidup, Bedjo
dan yang lainnya memanfaatkan hewan-hewan lain; sumber makanan selain dari
hasil pertanian dan ternak. Dengan lugas, ia menyebutkan jenis hewan apa saja
yang ia dan tapol lain makan di kamp kerja paksa---karena kurang makanan.
“Nah, karena kekurangan
makanan---seringkali tapol memanfaatkan hewan lain; misal ular, tikus ‘cindil’;
nyari di pematang-pematang gitu---kami malah jadi lebih kuat setelah itu.
Selain itu, makan keong racun juga; itulah dalam rangka untuk survive,” papar
Bedjo sambil menatap ke arah kali Cisadane.
Tangerang Kota Penjara
Di Kota Tangerang, terdapat 8
penjara---diantaranya; Lapas Pemuda, Lapas Wanita, Lapas Kelas I, Lapas Kelas I
A, Lapas Kelas II A, Lapas Anak Pria, Lapas Anak Wanita, LPKA Kelas I. Presiden
Soekarno sudah merancang kota ini sebagai salah satu lembaga pemasyarakatan
terbesar se-Asia Tenggara. Namun, hal ini memiliki kaitan dengan kamp kerja
paksa; area-1 dan area-2.
“Hubungannya dengan area 1 dan area 2 yang
dijadikan kamp konsenterasi---karena tanahnya luas, makanya diperuntukan untuk
penjara---di mana mereka bekerja secara paksa,” terang Bedjo
Bedjo menambahkan cerita pada reporter
BantenEkspose.com jika tanah-tanah penjara itu dulunya milik Tionghoa (Pao An
Tui); Konon, tanah itu milik tuan tanah Tionghoa (Pao An Tui) yang disita
tantara---dulu banyak orang-orang kampung yang menyewa tanah tersebut.
Namun, sesuai pengakuan Bedjo; warga
sekitar yang menyewa tanah tersebut tidak diperbolehkan berinteraksi dengan
tapol. Hanya saja, pada hari-hari tertentu---tapol dan warga bisa berinteraksi.
Hal tersebut selalu ditekankan oleh tantara terhadap warga sekitar. Bedjo dan
beberapa tapol yang lainnya berjualan rumput.
“Pada hari-hari tertentu, kami bisa
berinteraksi dengan mereka. Saya juga berinteraksi dengan mereka dalam rangka
berjualan rumput; untuk survive. Kami berjualan rumput---kami panggul
dan salah satunya saya jual kepada orang yang punya kuda; dari situ kami barter
dengan garam, gula, ada nasi juga,” jelas Bedjo
Ide Tangerang Sebagai Memorial Park
Sepanjang obrolan Bedjo dengan reporter
BantenEkspose.com, sebagai korban---ia menginginkan jika setiap tempat yang ia
tunjuk sebagai (bekas) kamp kerja paksa sebagai tempat pariwisata. Baginya,
tolok ukurnya adalah amanat Komnas HAM dan International People’s Tribunal untuk
penuntasan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia saat tahun 1965.
“Dengan ini saya tertarik, dalam rangka
ingin meningkatkan pariwisata Kota Tangerang---supaya lokasi kamp konsenterasi
bisa dijadikan memorial park---seperti di Dresden, Guang Ju, kemudian di
Jeju---tempat dulu pembantaian orang-orang yang dituduh kiri oleh Amerika, itu
sekarang menjadi tempat-tempat wisata,” saran Bedjo dengan ide tentang edukasi
kemanusiaannya
Menurutnya, hal tersebut merupakan sebuah
ide cemerlang bagi Pemerintah Kota Tangerang untuk mendompleng
pariwisata---khususnya yang bertema tentang tragedi kemanusiaan 1965. Sebagai
saksi, ia mengatakan jika tragedi tersebut pernah terjadi---tidak bisa
dipungkiri.
“Ini kesempatan baik untuk meningkatkan
pariwisata---pemerintah Kota Tangerang harus bisa menjadikan Kota Tangerang ini
sebagai tempat wisata kemanusiaan---tidak bisa dipungkiri, dulu di tempat ini
pernah terjadi kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Ini
sudah menjadi keputusan Mahkamah Internasional,” usul Bedjo
Ia menambahkan dengan membandingkan kosep
Taman Gajah Tunggal yang menurutnya hanya untuk promosi produk pabrik; “ini
harus dijadikan---sekarang ada Taman Gajah Tunggal---ini nggak ada
misinya---pesannya cuma men-introduce tentang pabrik ban; nggak ada
nilai-nilai sejarahnya,”
“Jangan alergi dengan mantan tapol---ini
dalam rangka pelurusan sejarah---kita tidak boleh membungkus kebohongan,”
lanjutnya
Jika memang bisa, Bedjo mengusulkan
bentuk-bentuk kerya seni seperti; patung, mural, ataupun mural. Ia mau setiap
karya seni itu mengilustrasikan kejadian dan bentuk represifitas aparat saat
menangani para tapol di Tangerang.
“Saya mengusulkan, nanti di dalam memorial
park itu ada ilustrasi; apakah itu berupa patung, mural, atau diorama;
bagaimana dari tahanan Tanah Tinggi; kami dibariskan, kalau jalannya sempoyongan;
kami ditendang, dan tantara dengan laras panjangnya,” usulnya [ditegaskan
dengan gestur]
Selain penjara dan Taman Gajah Tunggal,
ternyata skate park juga pernah dijadikan sebagai salah satu tempat
kerja paksa tapol 1965. Mungkin akan jadi sesuatu yang mengherankan jika
didengar oleh para skaters.
“Itu, ada perapatan dekat Kodim itu; nggak
boleh masuk---sekarang jadi skate park. Di situ dulu ada sawah yang
sampai sekarang itu ada kolam menggenang---itu bagus kalau dilestarikan. Skate
park bisa dijadikan tempat memorial juga---ini dalam rangka untuk
mengungkap kebenaran---terus,” papar Bedjo [sedikit tertawa]
Pesan Bedjo Untung untuk Pemkot Tangerang
Ditengah maraknya kabar distorsi sejarah
dalam kurikulum sejarah di tingkatan sekolah menengah, Bedjo dengan sigap
meminta reporter BantenEkspose.com mencatat keinginan dan usulnya, yakni;
membuka diri atas sejarah alternatif. Ia menjadikan transparansi dokumen
keterlibatan Amerika Serikat sebagai salah satu indikatornya.
“Pemerintah Kota Tangerang harus sudah
mulai membuka diri dengan sejarah alternatif. Berilah kesempatan bagi anak
didik untuk membuka pustaka diluar versi resmi pemerintah. Ini sudah
berlangsung 54 tahun---Amerika sudah membuka dokumen rahasianya; mereka memang
terang-terangan merekayasa,” tegasnya
Bedjo menambahkan jika YPKP 1965 –
Tangerang sudah menemukan bukti terkait siapa yang memberontak; “kami sudah
menemukan novum; 65, bukan PKI yang berontak---justru Soeharto sendiri
lah yang berontak; mengkudeta Bung Karno dan bekarjasama dengan CIA,”
Perbincangan antara Bedjo dan reporter
BantenEkspose.com diakhiri dengan iringan shalawat menuju waktu sembahyang
Jum’at. (Gilang Prabowo)
COMMENTS