BantenEkspose.com - Paska pengumunan hasil pemenang Pemilu 2019, kelas pekeja Indonesia dikejutkan dengan rencana pemerintah untuk melakuk...
BantenEkspose.com - Paska pengumunan hasil pemenang Pemilu 2019, kelas pekeja Indonesia dikejutkan dengan rencana pemerintah untuk melakukan Revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan atau Revisi UUK.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi - Dewan Nasional (LMND-DN), Muhammad Arira Fitra mengatakan, yang menjadi pertanyaan apakah Revisi UUK ini akan memperbaiki hak-hak dan kesejahteraan kelas pekerja atau malah semakin mengkebiri kelas pekerja itu sendiri?
"Jika usulan ini datang dari kelas pekerja, tentunya perbaikan atas hak-hak buruh yang belum diatur atau perlu direvisi dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan akan disempurnakan untuk meinimalisir dari mangkirnya kewajiban pengusaha dalam memenuhi hak-hak para pekerja," kata Birek sapaan akrab Arira Fitra dalam siaran persnya kepada bantenekspose.com, Selasa (6/8/2019).
Birek menyayangkan usulan Revisi UUK datang dari perwakilan APINDO, KADIN dan HIPMI saat bertemu dengan presiden Jokowi pada tanggal 09 Juli 2019 lalu. Secara khusus, dikatakan dia, perwakilan dari kelompok pengusaha ini mengeluhkan terkait besarnya upah minimum, penambahan jumlah sektor yang bisa di outsourcing, besarnya pesangon juga menginginkan semakin fleksibelnya tenaga kerja di Indonesia.
"Artinya secara otomatis para pengusaha mengingikan kehidupan kelas buruh dan keluarganya semakin menderita. Ini bukan kali pertamanya pemerintah Jokowi membuat resah kalangan kelas pekerja dengan kebijakannya," imbuhnya.
PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan
Birek menyebutkan, pada 2015 lalu rezim Jokowi-JK telah mengeluarkan kebijakan yang sangat tidak menguntungkan bagi kaum buruh yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Menurutnya, dalam perjalannaya PP ini membuktikan semakin meyengsarakan kelas buruh karena mengukur kenaikan upah hanya diukur dari tingkat inflasi pasar dan pertumbuhan ekonomi.
"Disamping itu hak-hak demokrasi buruh untuk berunding menyusun komponen kebutuhan hidup layak menjadi tidak ad alias dihilangkan," ujar dia.
Selanjunya, masih kata Birek, ada Peraturan Mentri Ketenagakerjaan Nomor 36 Tahun 2016 tentang Pemagangan yang membolehkan pengusaha memobilisasi calon pekerja untuk di tempatkan dalam sebuah perusahaan dan bisa membayarkan upahnya di bawah UMR (Upah Minimum Regional).
Menurut dia, sistem pemagangan yang dijalankan bahkan lebih menyengsarakan dari sistem kerja kontrak atau outsourching akibat tidak adanya kepastian kerja dan perlindungan jaminan kerja, sehingga sewaktu-waktu pengusaha dapat menendang para pekerja magang itu kapan pun.
"Kalau boleh kita bilang Peraturan Mentri Ketenagakerjaan Nomor 36 Tahun 2016 tentang Pemagangan adalah bentuk pelegalan perbudakan modern di Indonesia," ungkapnya.
Menurut Birek, rencana pemerintah dan pengusaha dalam mendorong Revisi UUK adalah bentuk politik upah murah yang coba dilanggengkan oleh negara. Upaya yang didorong dalam Revisi UUK untuk menghilangkan hak pekerja, seperti pesangon bagi karyawan, upah minimum sektoral, penambahan masa kerja buruh kontrak, yang sebelumnya maksimal tiga tahun menjadi lima tahun, fleksibilitas sistem kerja, perpanjangan pemberitahuan mogok kerja dari sebelumnya 7 hari menjadi 1 bulan, fasilitas kesejahteraan dihapus (THR, bonus, dll).
"Bagaimana mungkin hak pesangon bagi para pekerja mau dihilangkan, padahal daya tawar buruh dari tindakan PHK sewenang-wenang adalah pesangon, apa jadinya jika pesangon dihilangkan? Pastinya akan semakin masif tindakan PHK ilegal dari pengusaha, menurut data dari Survei Angkatan Kerja Nasional tahun 2008 menyebutkan 66 persen buruh tidak mendapatkan pesangon sama sekali sedangkan 27 persen buruh mendapatkan pesangon lebih kecil dari aturan yang berlaku," ujar dia.
Selain itu, lanjut Birek, banyak pengusaha yang masih membayarkan upahnya di bawah upah minimum. Menurut laporan International Labor Organisation (ILO) pada tahun 2014-2015 sebanyak 60 persen buruh di Indonesia masih dibayar di bawah upah minimum.
"Pada intinya kami berpendapat upaya pemerintah dan pengusaha merencanakan Revisi UUK untuk memberikan karpet merah bagi investasi modal asing yang sedang tarik ke Indonesia. Kekuatan utama dari percepatan akumulasi modal bagi kapitelisme adalah dengan memanfaatkan ekploitasi terhadap kelas pekerja demi mengejar produkifias kerja," cetusnya.
Janji kampanye Tri Layak Jokowi
Pada 5 Juli 2014 lalu, kata Birek, Jokowi menandatangani 9 Piagam Perjuangan Rakyat yang salah satunya dalam sistem perburuhan ada Tri Layak (upah, kerja dan hidup layak). Tapi lagi-lagi janji yang dulu digembar-gemborkan saat kampanye hanyalah ilusi untuk mendulang suara pada kontestasi Pemilu 2014.
"Nyatanya dibawah sistem ekonomi kapitalisme-neoliberalisme dan demokrasi borjuisnya, pemerintahan Jokowi tak mampu menyelamatkan kelas pekerja dan rakyat miskin lainnya dari penindasan," tuturnya.
Meski demikian, LMND-DN menganggap Jokowi-JK telah berhianat terhadap janjinya kepada seluruh rakyat Indonesia. "Kami mendesak rezim Jokowi segera wujudkan upah layak, kerja layak dan hidup layak sesuai dengan semangat UUD 1945 pasal 27 ayat 1 dan mencabut peraturan yang melanggengkan penghisapan yang dialami kelas pekerja di indonesia," tegas Birek. (emde)
Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi - Dewan Nasional (LMND-DN), Muhammad Arira Fitra mengatakan, yang menjadi pertanyaan apakah Revisi UUK ini akan memperbaiki hak-hak dan kesejahteraan kelas pekerja atau malah semakin mengkebiri kelas pekerja itu sendiri?
"Jika usulan ini datang dari kelas pekerja, tentunya perbaikan atas hak-hak buruh yang belum diatur atau perlu direvisi dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan akan disempurnakan untuk meinimalisir dari mangkirnya kewajiban pengusaha dalam memenuhi hak-hak para pekerja," kata Birek sapaan akrab Arira Fitra dalam siaran persnya kepada bantenekspose.com, Selasa (6/8/2019).
Birek menyayangkan usulan Revisi UUK datang dari perwakilan APINDO, KADIN dan HIPMI saat bertemu dengan presiden Jokowi pada tanggal 09 Juli 2019 lalu. Secara khusus, dikatakan dia, perwakilan dari kelompok pengusaha ini mengeluhkan terkait besarnya upah minimum, penambahan jumlah sektor yang bisa di outsourcing, besarnya pesangon juga menginginkan semakin fleksibelnya tenaga kerja di Indonesia.
"Artinya secara otomatis para pengusaha mengingikan kehidupan kelas buruh dan keluarganya semakin menderita. Ini bukan kali pertamanya pemerintah Jokowi membuat resah kalangan kelas pekerja dengan kebijakannya," imbuhnya.
PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan
Birek menyebutkan, pada 2015 lalu rezim Jokowi-JK telah mengeluarkan kebijakan yang sangat tidak menguntungkan bagi kaum buruh yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Menurutnya, dalam perjalannaya PP ini membuktikan semakin meyengsarakan kelas buruh karena mengukur kenaikan upah hanya diukur dari tingkat inflasi pasar dan pertumbuhan ekonomi.
"Disamping itu hak-hak demokrasi buruh untuk berunding menyusun komponen kebutuhan hidup layak menjadi tidak ad alias dihilangkan," ujar dia.
Selanjunya, masih kata Birek, ada Peraturan Mentri Ketenagakerjaan Nomor 36 Tahun 2016 tentang Pemagangan yang membolehkan pengusaha memobilisasi calon pekerja untuk di tempatkan dalam sebuah perusahaan dan bisa membayarkan upahnya di bawah UMR (Upah Minimum Regional).
Menurut dia, sistem pemagangan yang dijalankan bahkan lebih menyengsarakan dari sistem kerja kontrak atau outsourching akibat tidak adanya kepastian kerja dan perlindungan jaminan kerja, sehingga sewaktu-waktu pengusaha dapat menendang para pekerja magang itu kapan pun.
"Kalau boleh kita bilang Peraturan Mentri Ketenagakerjaan Nomor 36 Tahun 2016 tentang Pemagangan adalah bentuk pelegalan perbudakan modern di Indonesia," ungkapnya.
Menurut Birek, rencana pemerintah dan pengusaha dalam mendorong Revisi UUK adalah bentuk politik upah murah yang coba dilanggengkan oleh negara. Upaya yang didorong dalam Revisi UUK untuk menghilangkan hak pekerja, seperti pesangon bagi karyawan, upah minimum sektoral, penambahan masa kerja buruh kontrak, yang sebelumnya maksimal tiga tahun menjadi lima tahun, fleksibilitas sistem kerja, perpanjangan pemberitahuan mogok kerja dari sebelumnya 7 hari menjadi 1 bulan, fasilitas kesejahteraan dihapus (THR, bonus, dll).
"Bagaimana mungkin hak pesangon bagi para pekerja mau dihilangkan, padahal daya tawar buruh dari tindakan PHK sewenang-wenang adalah pesangon, apa jadinya jika pesangon dihilangkan? Pastinya akan semakin masif tindakan PHK ilegal dari pengusaha, menurut data dari Survei Angkatan Kerja Nasional tahun 2008 menyebutkan 66 persen buruh tidak mendapatkan pesangon sama sekali sedangkan 27 persen buruh mendapatkan pesangon lebih kecil dari aturan yang berlaku," ujar dia.
Selain itu, lanjut Birek, banyak pengusaha yang masih membayarkan upahnya di bawah upah minimum. Menurut laporan International Labor Organisation (ILO) pada tahun 2014-2015 sebanyak 60 persen buruh di Indonesia masih dibayar di bawah upah minimum.
"Pada intinya kami berpendapat upaya pemerintah dan pengusaha merencanakan Revisi UUK untuk memberikan karpet merah bagi investasi modal asing yang sedang tarik ke Indonesia. Kekuatan utama dari percepatan akumulasi modal bagi kapitelisme adalah dengan memanfaatkan ekploitasi terhadap kelas pekerja demi mengejar produkifias kerja," cetusnya.
Janji kampanye Tri Layak Jokowi
Pada 5 Juli 2014 lalu, kata Birek, Jokowi menandatangani 9 Piagam Perjuangan Rakyat yang salah satunya dalam sistem perburuhan ada Tri Layak (upah, kerja dan hidup layak). Tapi lagi-lagi janji yang dulu digembar-gemborkan saat kampanye hanyalah ilusi untuk mendulang suara pada kontestasi Pemilu 2014.
"Nyatanya dibawah sistem ekonomi kapitalisme-neoliberalisme dan demokrasi borjuisnya, pemerintahan Jokowi tak mampu menyelamatkan kelas pekerja dan rakyat miskin lainnya dari penindasan," tuturnya.
Meski demikian, LMND-DN menganggap Jokowi-JK telah berhianat terhadap janjinya kepada seluruh rakyat Indonesia. "Kami mendesak rezim Jokowi segera wujudkan upah layak, kerja layak dan hidup layak sesuai dengan semangat UUD 1945 pasal 27 ayat 1 dan mencabut peraturan yang melanggengkan penghisapan yang dialami kelas pekerja di indonesia," tegas Birek. (emde)
COMMENTS