Bantenekspose.com - Tuhan sebagai objek bahasan sebenarnya terlalu tinggi dan kajian tentang Tuhan tentu memerlukan ruang dan waktu yang s...
Bantenekspose.com - Tuhan sebagai objek bahasan sebenarnya terlalu tinggi dan kajian tentang
Tuhan tentu memerlukan ruang dan waktu yang sangat luas.Tak cukup tuntas
sekalipun dengan berjilid-jilid buku. Kajian Tuhan adalah terbuka bagi para
penganut agama manapun karena sifatnya aqliyah( rasional ) dan naqliyah (
firman Tuhan ) meski nalar keduanya sanggup mengantarkan kepada pemahaman.
Kemudian membedahnya itu, sama pula dengan membedah perasaan orang
beragama. Jika kita jujur untuk melepas dari ego iman kita, tentunya akan semakin
objektif mengenali dan memahami arti Tuhan, namun sebaliknya, kalau sudah
bersikap subjektif pembahasan Tuhan akan terlihat dari satu sisi yakni satu
agama. Maka yang terjadi, klaim kebenaran masing-masing penganut agama akan
muncul dan tentunya menggagalkan sikap objektifitas pemahaman atas Tuhan yang
sama-sama kita sembah.
Dalam cakupan tulisan singkat ini, sebenarnya ingin sekali mengajak kepada
pembaca bahwa memahami dan mengenali eksistensi Tuhan tidak terhenti di posisi
"percaya". Percaya yang didasari taklid tapi meningkat di
posisi percaya yang didasari taslim (mengakui konsep Tuhan dari ulama yang
pakar dibidang ketuhanan). Jelas tujuan dalam tulisan singkat ini menuntun
pada pemahaman atas Tuhan dengan perspektif teolog Islam. Dalam tulisan singkat
ini pun telah dibatasi dengan hanya membahas ke-esa-an Tuhan (Wahdaniyyat
Allah).
Memahami wahdaniyat (keesaan), dalam terminologi ilmu kalam atau tauhid
dari banyak pengertian tentang wahdaniyyat perpektif ulama sunny seperti dalam
Tijan al-Daruri, Kifayat al- Awwam, Jauhar al-Tauhid, Husunu al- Hamidiyah,
al-Sanusiyah, Fathu Al Majid dan yang terpuncak pada buku al-Dasuqi Ummu al-
Barohini, kesemuanya mengartikan wahdaniyyat sebagai صفة قديمة قاءمة بذات الله dengan arti harfiyyah-nya adalah tunggal.
Menarik untuk dicermati, ketika istilah wahdaniyat menjadi fokus bahasan
tauhid karena ia merupakan sifat yang wajib ada di diri Allah, wahdaniyat untuk
seterusnya telah menjadi wilayah pertikaian pemahaman para pengkaji ketuhanan.
Di titik inilah, penganut agama tak bertemu dalam kesamaan.Wahdaniyat seakan
menjadi kajian khusus Islam dan menjadi diskurusus dalam lapangan ilmu kalam
dan filsafat Tuhan.
Dalam hal ini, kita mengetengahkan konsep Kam Muttashil dan Kam Munfashil
sebagai bagain dari uraian tentang wahdaniyat. Ini sebenarnya jika diuji
sekalipun secara reseachakan selalu mengarah pada kesimpulan bahwa Tuhan itu
esa, pengujian secara ilmiah dan secara filsafat hampir pula dipastikan
mengarah kepada keyakinan kuat bahwa Tuhan sebenarnya satu. Keesaan Tuhan (
wahdaniyat ) dalam perspektif agama ardli sekalipun, dalam kaitan ini keyakinan
terhadap Tuhan yang maha besar ( grand of God ) selalu ada di ruang (space)
keimanan para penganut agama tersebut.
Dalam kajian ilmu kalam, uraian wahdaniyat punya konsepnya tersendiri yang
tentunya tak akan dipunyai oleh agama lain. Kam Muttashil sebagai segmen
pemahaman kesesaaan Tuhan dengan uraian bahwa Tuhan sendiri secara struktur
Dzat Muthlak ( zat mutlak )yang tak tercampuri oleh unsur zat manapun yang
bagian dari elemen-elemen penyusun alam raya, Tuhan secara dzatiyah adalah
satu, berdiri sendiri.
Sedangkan uraian Kam Munfashil sebagai segmen pemahaman keesaan Tuhan yang
kedua diartikan bahwa Tuhan yang secara dzatiyah menjadi Dzat Muthlak yang yang
tak terstruktur seperti tangan, wajah, kaki dan anggota struktur tubuh makhluk
yang berprinsip baru, dalam Kam Munfashil keesaan Tuhan dimaknai sebagai Tuhan
yang terbebas dari struktur-struktur yang bersifat baru yang menjadi ciri khas
makhluk seperti hewan, manusia, setan, jin dan malaikat. Keterbebasan ini
menjadi hal yang pasti di diri Tuhan yang tunggal.Satu yang tak berstruktur dan
satu yang tak tercampuri dalam sendirinya unsur-unsur yang bersifat baru dan bagian
dari unsur alam atau makhluk di alam.
Dua konsepsi tentang wahdaniyat Tuhan dalam kajian kalam sangat jarang
ditemukan dalam perspektif agama-agama lainnya. Jikapun ada tentunya secara
naratif akan mengarah kepada penolakan karena karakteristik pemahaman kajian
ketuhanan berakhir kepada segmen ta'arrudl( bertentangan satu sama lainya ).
Bukan kapasitasnya dalam penulisan ini men-devaluasi atau mereduksi keyakinan
agama tertentu hanya karena pembahasan ini menjadi fokus pembahsan wahdaniyat
dalam perspektif Islam.
Kita concern bahwa uraian tentang wahdaniyat ingin mengarahkan kepada
pemahaman yang benar di internal Islam, sementara kita pun memahami bahwasanya
keesaan Tuhan secara lintas agama akan mengarah kepada multi tafsir dan multi
makna.
Ibrahim Al Dasuqi, menjadi yang sendiri dengan kualitas pemahamannya yang
sangat mendalam mampu mengartikulasi wahdaniyatTuhan dengan menguarai sebuah
ide teologis tentangzat Tuhan dengan penggunaan episteme-episteme seperti kam
muttashil ( كم متصل ) dan kam munfashil ( كم منفصل ).
Dalam menyikapi hal ini kita banyak menelaah uraian-uraian dari Ulama ahli
ilmu Kalam yang mencoba menerjemahkan maksud penggunaan istilah kam muttashil
dankam munfashil dengan beberapa pendekatan. Ada penedekatan itu menggunakan
ilmu manthiq( ilmu logika ) ada pula yang menggunakan prangkat ilmu untuk
pemamahan dua istilah tersebut dengan menggunakan pendekatan sufistik, artinya
dalam sufisme dikenal dengan pendekatan suluk yang merupakan bagian dari
amaliyah toreqat( kegiatan tarekat ).
Suluk dalam tarekat bertujuan menemukan kesejatian paham dan pengertian
yang hakiki dan ada dalam kesejatian kebenaran. Ini pula yang ditempuh kaum
sufi dalam memahami Tuhan-nya sebagai subject oriented, dalam pandangan mereka
hidup hanya dari Tuhan, dengan Tuhan dan kepada Tuhan ( min Allah, bi Allah,
ila Allah) konsep sederhana prilaku sufi ini tentu tak bisa dibedah dengan
kesimpulan bahwa pemahaman sufi jelas berbeda dengan logika formil
manusia.
Sufi bukan sekedar pengkaji Tuhan semata melainkan sampai tahapan pencinta
Tuhan dengan mengenal secara khusus, mereka dianugrahi ilmu ladunni yang kita
kenal sebagai ilmu ma'rifat yang semua sufi pasti memilikinya, jika sang sufi
sudah meng-atas maqomat-nya. Kekuatan melihatnya sufi terhadap Tuhan jelas membedakan
sisi melihat yang dipunyai para pemikir, agamawan, dan kaum teolog
lainnya.
Maka dalam uraian singkat ini sebenaranya ingin sekali mengajak bahwa Tuhan
yang kita kaji ini terlalu besar untuk ditutup dengan kesimpulan hanya dengan
urian diatas, melainkan pembahasan Tuhan seperti wilayah yang tak bertepi,
seperti samudera yang tak berbatas, seperti kedalaman palung yang tak
menyentuh, dan seperti langit yang tak berujung. Keesaan Tuhan milik tuhan yang
esa, tak diawali dan tak berakhir.Untuk selama-lamanya.
Penulis: Hamdan Suhaemi
Ketua PW Rijalul Ansor Banten
Ketua PW Rijalul Ansor Banten
COMMENTS