“Right wing commies Leftist Nazis Point their fingers Rumours linger” (Type O Negative – We Hate Everyone, 1993) Gonjang-ganjin...
“Right wing commies
Leftist Nazis
Point their fingers
Rumours linger”
Point their fingers
Rumours linger”
(Type O Negative – We Hate Everyone, 1993)
Gonjang-ganjing opini pasca Pilpres 2019
berseliweran, seharian penuh di tanggal 18 April 2019, Cebong dan Kampret asyik
bermain bersorak saling cari menang. Ditengah momentum Pilpres yang dinilai
penuh politik identitas dari kedua kubu, sehari setelahnya muncul sebuah narasi
cerita singkat dari Banyumas, Jawa Tengah yang dibingkai dalam sebuah film
berdurasi 107 menit dengan judul Kucumbu Tubuh Indahku (Memories of My Body),
oleh Garin Nugroho.
Film tersebut menampilkan seniman-seniman
ternama, Muhammad Khan (Juno), Raditya Evandra (Juno Kecil), Sujiwo Tejo (guru
lengger), Randy Pangalila (Petinju), Teuku Rifnu Wikana (bupati), Whani
Darmawan (warok), Quin Dorothea (istri bupati), Endah Laras (Bulik Juno), Mbok
Tun (pengurus lengger), Cahwati (pesinden bupati), Fajar Suharno (pakde Juno),
Dwi Windarti (guru tari), Anneke Fitriani (asisten istri bupati), dan Rianto
(penari) yang juga menjadi latar belakang film tersebut.
Jelasnya film ini dinilai menuai
kontroversi, terjadi banyak penolakan dari beberapa pihak. Tidak
tanggung-tanggung, penolakan ini diusung oleh pihak aparatur pemerintah
langsung – seperti bentuk penolakan secara langsung dari Walikota Depok dan
Bupati Garut dengan indikasi yang sama, yaitu LGBT.
Beberapa adegan dinilai menampilkan nuansa
LGBT, seperti saat Juno yang disukai oleh petinju, bupati, dan warok. Walaupun
pada dasarnya adegan-adegan tersebut dinilai Garin, bukan sebagai esensi dari
latar belakang film tersebut.
Walikota Depok Idris Abdul Somad –
dilansir dari berita merdeka.com, Sempat Tayang di Bioskop, Wali Kota Depok
Larang Film 'Kucumbu Tubuh Indahku', Kamis, 25 April 2019 19:47, ia menilai
bahwa film Kucumbu Tubuh Indahku mengandung unsur LGBT dan percintaan sesama
jenis. Setelah itu ia mengajukan surat keberatan pada Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) dengan nomor surat : 460/165-huk- DPAPMK tanggal 24 April 2019.
Bupati Garut Rudy Gunawan – dilansir dari
berita detik.com, Bupati Larang Penayangan Film 'Kucumbu Tubuh Indahku' di
Garut, Senin 29 April 2019, 13:50 WIB – ia menginstruksikan Kadiskominfo
Kabupaten Garut untuk mengganti film Kucumbu Tubuh Indahku dengan film yang
lainnya. Sama seperti Walikota Depok, Bupati Garut juga menganggap bahwa film
ini berindikasi LGBT.
Tanggapan Garin Nugroho Selaku Sutradara
Film Kucumbu Tubuh Indahku
Sang sutradara mengamini adanya perbedaan
pendapat atas film ciptaannya, ia menganggap itu sebagai dinamika belaka.
Menurutnya, film ciptaannya pun layak untuk didiskusikan – namun malah
menimbulkan penghakiman hingga munculnya petisi penolakan film Kucumbu Tubuh
Indahku kepada KPI. Seperti yang dilansir melalui kanal YouTube detikcom,
Blak-blakan Garin Nugroho: Kontroversi Kucumbu Tubuh Indahku, 2 Mei 2019
– Garin mengungkapkan keprihatinannya atas kejadian berupa penghakiman ini.
“Yang saya kritik dan prihatin adalah
penghakiman massa yang tidak dengan menonton filmnya,” ungkap Garin sambil
mengatur pola gestur tangan kirinya.
Garin mengatakan bahwa dirinya ingin
mencari sisi lain untuk film karyanya – ia ingin menggambarkan bahwa polemik
feminim dan maskulinitas yang biasanya terjadi dikalangan menengah atas, tapi
ini juga terjadi dikalangan menengah kebawah di Indonesia. Tepatnya di Banyumas
yang merupakan salah satu pusat keresidenan di Jawa Tengah. Hal ini sebagai
indikator jika film karya Garin ini mendapat penghargaan Cultural Diversity
Awards 2019.
Walaupun film ini menjadi salah satu
bentuk prestasi anak bangsa, ternyata tidak memberikan pengaruh terhadap
sebagian khalayak yang menolak eksistensinya. Lantas Garin merasa heran,
mengapa film Bohemian Rhapsody yang justru memiliki kesamaan benang merah bisa
laku dipasaran – akan tetapi film Kucumbu Tubuh Indahku sulit diterima ditengah
khalayak – apalagi ada bentuk petisinya.
“Kita selalu munafik! Bohemian Rhapsody
boleh beredar dimana-mana, tapi yang ini malah diboikot,” tegas Garin seolah
yang memperjelas argumentasinya dengan gestur ditangannya.
Lagi-lagi ditengah penjelasannya, Garin
memaparkan sebuah fenomena konservatisme dan populisme yang terjadi – terutama
sehari pasca Pilpres 2019 di mana filmnya ditayangkan. Seakan ia menerangkan
tentang skema paranoia yang terjadi ditengah khalayak. Menurutnya, sebagian
khalayak terkait itu berani menarik asumsi tanpa sebelumnya menyaksikan film
tersebut. Ia pun mengingatkan khalayak untuk melawan ketakutan kolektif ini.
“Mereka hanya dengan informasi tanpa
kajian, tanpa melihat film itu – lalu merasa terancam, merasa ketakutan. Itulah
ciri dari abad ini yang harus kita lawan,” ajak Garin dengan nada yang agak
ditinggikan
Menurutnya, penghakiman massa yang
terkesan ekstrim mampu menjadi indikator terjadinya tindakan radikal. Dengan
lantang ia katakan bahwa hal ini terjadi pada karya film terbarunya.
“Perasaan terancam kalau menjadi ekstrim,
itu menjadi perilaku penghakiman massa yang radikal, itu terjadi pada Kucumbu
Tubuh Indahku,” tutupnya.
Fenomena Film “Kucumbu Tubuh Indahku” di
Tangerang
Berbarengan dengan tindakan-tindakan
pemboikotan film Kucumbu Tubuh Indahku, lantas bagaimanakah Tangerang
menanggapi fenomena film tersebut? Secara, Tangerang terkenal dengan Islam dan
“santriismenya”.
Belum lama, di tanggal 20 Juni 2019 –
salah satu Bioskop Indie, Cinespace yang bertempat di Gading
Serpong, Kabupaten Tangerang menayangkan kembali film yang sebelumnya diboikot
oleh Walikota Depok dan Bupati Garut. Pihak Cinespace menayangkannya selama
empat hari dengan rundown yang berbeda.
Di tanggal 19 Juni 2019, terlihat
antusiasme dari audiens yang datang. Secara tempatnya yang bernuansa edgy,
cozy, dan cenderung hipster ini mampu memikat para audiens. Belum
lagi mereka menyediakan teh dan kopi gratis untuk para audiens – ya, walaupun
dibarengi donasi sebesar Rp. 20.000 – murah dan terkesan efisien di kantong
mahasiswa.
Tepat pukul 18:30 WIB, film Kucumbu Tubuh
Indahku ditayangkan – terbingkai dalam sebuah layar yang minimalis. Sambil
menikmati teh dan kopi, audiens terdiam namun begitu antusias saat menyaksikan
pembukaan dari film tersebut. Terlihat muka-muka penuh rasa penasaran dari
mereka – mungkin saja hal itu muncul karena kabar-kabar pemboikotan itu. Dengan
saksama, mereka memperhatikan jalan alur cerita film itu.
“Wooooooooo, wah gila sih. Emang gara-gara
ini kayaknya,”
Sebagian dari mereka berbisik-bisik dan
bersorak kecil saat muncul beberapa footage yang menampilkan Juno
sebagai tokoh utama yang sedang mengenakan pakaian penganten perempuan adat
Jawa – berbarengan dengan Sang Petinju yang juga memakai pakaian adat penganten
laki-lakinya. Digambarkan dada Juno tertusuk peniti, karena sebelumnya Sang
Petinju ingin mempraktekan hal yang sama dengan calon istrinya. Saat darah
segar keluar dari dada Juno, dengan sigap Sang Petinju menghisap darah Juno.
“Nah loh, mulai kan… Mulai,”
Makna konotatif muncul dalam susunan kata
yang dilontarkan oleh beberapa audiens. Tapi tidak hanya itu – beberapa adegan
juga menampilkan sang bupati yang mengelus tangan Juno didepan para
pendukungnya. Terlebih juga timbul kecemburuan diam-diam pada bupati terhadap
warok yang juga menspesialkan Juno dalam sanggar lengger dan reognya.
Salah seorang audiens bernama Kartika,
tetap memperhatikan film dari awal sampai akhir. Bahkan ia pun jarang berkedip
dan tak jarang audiens seperti dirinya – ia sama sekali tidak mengeluarkan gadget-nya.
Saat dimintai pendapat, ia mengambil sudut pandang berbeda dengan sebagian
audiens.
“Lho, gue yakin sih – itu semua muncul
karena traumatiknya Juno. Jadi dia semata-mata jadi feminim itu bukan maunya
dia, menurut gue itu muncul karena perjuangan batinnya. Kontradiksi dong
batinnya Juno. Notabene-nya kan Juno itu penyendiri, hanya saja ia
merasa dirangkul dengan lingkungan lengger lanang itu” ujar Kartika saat
berbicang sambil menyantap jajanan Pasar Lama, Kota Tangerang.
Ia mengutarakan persepsinya tentang
rata-rata orang Indonesia menanggapi sebuah tayangan film.
“Toh, orang Indonesia saat nonton film
bertema horor pun Cuma ngincar adegan vulgarnya,” lanjutnya sambil mengunyah
hidangan yang disantapnya.
Sudut Pandang Berbeda Muncul dari
Intelektual Banten
Mengamini bahwa skema plural masyarakat
Tangerang ini tidak jauh dari dominasi ‘santriisme’. Jika dikaitkan, mungkin
film ini akan bertendensi untuk diboikot. Setelah tayang, film ini ternyata
juga menarik asumsi dari para intelektual – salahsatunya Radjimo S. Wijono,
Ketua Masyarakat Sejarahwan Indonesia Cabang Banten – yang telah mengkaji
masyarakat Tangerang Raya. Ia menceritakan secara dialektika
historis, terlebih ia membawa suasana obrolan ke era Pakubuwono VI dan
Pakubuwono VII.
“Dalam Serat Chentini seperti itu sehingga
ini menjadi sebuah kemasan seni yang berkembang di masyarakat, jadi hadir
ditengah upacara syukuran masyarakat, hasi buminya berhasil. Yang membedakan
dari ritual kesuburan lainnya, lengger lanang ini penarinya adalah laki-laki
dengan pakaian perempuan,” paparnya sambil menyeruput kopi hitam.
Kajian historis ternyata tidak sampai
disitu saja, ternyata ia juga menceritakan tentang dongeng Gerakan September
Tiga Puluh (Gestapu) yang berimplikasi terhadap kesenian. Salahsatunya lengger
lanang yang hingga saat ini masih diperdebatkan dalam konteks percintaan sesama
jenis.
“Sampai pertengahan tahun 60’an,
perkembangan seni ini, terutama di Keresidenan Banyumas ini dilarang,” imbuhnya
dalam cerita dongeng pergolakan Gestapu.
Selengkapnya dalam dongeng Gestapu, ada
beberapa latar kejadian yang ia sebut-sebut sebagai penyebab utama dari
terdiskreditkannya lengger lanang. Mulanya dengan tindakan prejudice yang
muncul ditengah perkembangan kesenian rakyat.
“Itu karena rezim Orde Baru menganggap
bahwa seni-seni rakyat ini terafiliasi Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA).
Seperti kita ketahui bersama, PKI dituduh sebagai dalang Kudeta September 1965,
walaupun belum diketahui siapa pelaku sebenarnya. Zaman Gestapu
kesenian-kesenian itu tidak boleh ditampilkan, salahsatunya lengger lanang,”
begitulah ia bercerita sambil menghela nafas.
Gambaran-gambaran mengenai Gestapu, hal
ini tidak jauh dengan munculnya populisme Islam. Ia juga memunculkan pertanyaan
tentang keragaman seperti apa yang dimunculkan?
“Kalau dilihat dari populisme kan yang
paling populer itu kan gerakan agama sebagai solusi segala hal,” katanya sambil
mengerutkan dahi.
Beberapa hal yang jarang disadari khalayak
juga dimunculkan olehnya – yang mulanya berangkat dari pola pikir konservatif
dalam sebagian masyarakat Islam. Ia merasa bahwa indikator pemasalahan yang
timbul adalah bagaimana bentuk perputaran modal yang terjadi dalam populisme
Islam.
“Ini bukan konservatisme dalam sisi agama
saja, tapi juga ada arus modal yang berjalan. Jadi dibelakang munculnya
populisme Islam, misalnya pergerakan-pergerakan Islam dengan jargon ‘hijrah’,
kaffah, dan khilafah – ada arus modal yang bermain disitu,” jelasnya
Salah satu hal yang disayangkan olehnya
kenapa hal ini terjadi adalah sifat-sifat kompetitif dalam fenomena
konservatisme dan populisme Islam. Menurutnya, salah satu contoh terbesarnya
adalah UU No.1 Tahun 1967 tentang penanaman modal asing. Dalam perbicangan yang
sedang berlangsung, ia mengutarakan bahwa fenomena yang diwakili produk
undang-undang ini merubah skema kehidupan dalam skala besar – mulai dari seni,
politik, dan kehidupan yang lain.
Disela-sela perbincangan, matanya terlihat
agak lelah dengan sisa kopi yang sudah menuju ampas – dibarengi dengan beberapa
pesan, asumsi, dan review-nya terkait film Kucumbu Tubuh Indahku.
“Dengan adanya film ini, saya kira ini
menjadi tawaran yang menarik dalam beberapa waktu,” imbuhnya
Dengan lantang ia mengutarakan pendapatnya
bahwa film ini tidak berbahaya dan layak menjadi bahan diskusi. Apalagi
ditengah banyak pihak yang menganggap film ini membawa nilai-nilai LGBT. Untuk
kedua kalinya ia menyatakan bahwa film ini tidak mengandung unsur LGBT.
Selebihnya, ia menuturkan bahwa film ini mengandung unsur perjuangan batin
seorang seniman. Ia juga menerangkan bahwa ada beberapa unsur utama yang coba
ditampilkan oleh Garin tentang pergolakan batin Juno.
“Garin ketika menampilkan sebuah karya itu
ada hal yang dia itu mengingat sesuatu dengan cara yang lirih, ada goresan
darah disitu. Selalu begitu, ada tragisme – itu bagaimana menceritakan tentang
pergulatan batin Juno bisa eksis,” terangnya dengan sedikit tersenyum.
Dalam perbincangan yang berdurasi 21 menit
29 detik ini, di menit ke 19 – tutur kata tegasnya mengarahkan pembahasan ini
pada rangkaian kalimat penutup berupa pesan yang diselipkan tanda tanya.
“Juno ini bisa menjadi kaca bagi kita, ia
yang punya kelenturan tubuh dalam masyarakat yang sudah plural. Saya kira itu
menjadi sesuatu yang menarik, jangan hanya menilai bahwa film itu LGBT – itukan
sebatas asumsi. Jadi kalau mau mencari kebenarannya, orang kan bisa berubah
hanya ketika setelah melihat film. Kita melihat kelenturan tubuh dan orientasi
seksnya Juno semata-mata kita akan berubah?,” tegasnya sambil menegakkan
badannya dan sedikit beranjak dari sandarannya di tembok.
Dengan rasa penuh apresiasi pada film ini,
antusiasmenya mengutarakan argumen mencuat untuk kedua kalinya disela-sela
perbincangan. Ia menutupnya dengan rasa apresiatif yang tinggi pada karya
Garin.
“Ada proses disitu yang sebetulnya ingin
ditawarkan oleh Mas Garin. Bagiku film ini patut menjadi tontonan, menjadi
bahan belajar kita – masyarakat Indonesia itu sekarang ada dimana sih? Itu saja
mengapa film ini patut diapresiasi,” tutupnya, lalu beranjak membawa teko ke
dapur untuk nantinya diisi dengan air teh. (Gilang Prabowo)
Ketemu kan benang merahnya, Orba. Hahahaha.
BalasHapus