Strategi Bisnis Musik Ala Jimi Multhazam
0 menit baca
![]() |
Jimi Multhazam (kiri) dan Ricky Malau (kanan), saat mengisi acara NGOBRYLS, membahas terkait album solo Dodo Zakaria yang berjudul Malissa di Pamulang, Tangsel (foto:Gilang/BE) |
BantenEkspose.com
- Salah satu vokalis indie legendaris, Jimi Multhazam dari The Upstairs/MORFEM
menerangkan beberapa kajian literasi tentang musik dengan kemasan ringan.
Bersama partner-nya, Ricky Malau keduanya membahas tentang album solo Dodo
Zakaria, Malisa (1986) yang dinilai ‘ngentrik’ dan sensasional pada eranya
dalam acara NGOBRYLS, bertempat di Earhouse, Pamulang, Tangerang Selatan. Hal
ini membuat Jimi dan band-nya terpengaruh dengan Dodo Zakaria secara musikal.
“Bagi gue
kita harus mendapat sesuatu yang baru, kita harus back to roots. Contoh paling
dekat Dodo Zakaria. Kebetulan gue suka punk rock waktu itu. Kala gue
menghasilkan sesuatu yang baru, gue nggak mencari apa yang ditemukan
Descendents, apasih yang dicari Descendents? Gue nggak mengikuti mereka, tapi
gue sejajar dengan lo, jadi gue back to roots,” ujar Jimi saat diwawancarai
BantenEkspose.com, Rabu (22/05/2019).
Menurut dari
kabar-kabar yang terdengar di Tangerang, ia menerima kabar dari personil band
Hong!, unit punk rock Tangerang, bahwa skena musik independent di Tangerang ini
cukup besar.
“Kalau gue
dengar dari anak-anak Hong!, mereka cukup besar disini, itu buat musik
indie-nya, kalo pop gue kurang ngikutin. Kalau indie-nya gue liat sekarang
sedang bergeliat, hanya saja mereka kekurangan venue, klasik lah ya. Skena
Tangerang cukup ok lah ya, temen gue produser The Rang-Rangs (unit punk rock
Tangerang) bilang kalau Tangerang cukup enak buat main lah ya, gue apresiasi
musik mereka,” lanjutnya.
Kolektif
gigs terbilang sebagai salah satu cara alternatif untuk mendompleng eksistensi
sebuah band untuk berkarya. Melalui perbincangan Jimi dengan BantenEkspose.com,
Jimi mengingatkan agar setiap band yang memiliki kesan idealis bahwa mereka
harus berkembang. Ia juga menekankan untuk beberapa band yang masih berkutat di
kolektif gigs.
“Untuk
langkah awal konsep kolektif gigs cukup oke. Cuma kalau berdedikasi untuk itu,
gue sih nggak. Cuma kalau siap buat babak belur disana ya nggak apa-apa, level
lo mesti up terus,” imbuhnya.
Ia juga
menerangkan beberapa cara untuk memasarkan karya musik, baik dalam format fisik
maupun digital. Selain itu ia juga menceritakan beberapa tips untuk orang-orang
yang baru atau sudah memiliki band yang sifatnya independen. Disesuaikan dengan
pengalamannya saat melakukan distribusi dan pemasaran hasil karyanya.
“Ketika
bikin musik, gue nggak mikirin pasar. Gue pasar pertamanya! Makanya saat gue
memproduksi musik, saat produksi kelar tinggal gue mememutuskan kalau gue suka
sama hasilnya atau nggak. Gue harus bisa jual ke orang lain. Perkara untung itu
belakangan. Buat memasarkannya gimana sih? Itu juga udah jadi akal-akalan anak
zaman sekarang. Sekarang udah banyak tools marketing yang sifatnya gratis.
Disitulah kita main bagian keduanya, bagian pertama emang bikin musik, kita
pasarnya. Mulai dari yang kecil-kecil, pasar itu diciptakan. Ketika lo membuat
sensasi dan sensasi,” jelasnya.
Jimi juga
berpesan kepada orang-orang yang menggiati musik independent di Tangerang Raya,
bahwa setiap musisi tidak bisa bertahan jika lebih mendahulukan bisni ketimbang
musiknya. Selain itu, ia juga menyarankan untuk berkolaborasi dengan pihak
dengan bentuk disiplin yang beragam.
“Saat lo
ngomongin musik, lo malah ngomong bisnis dan belum nehasilin apa-apa, lo kelar.
Saat lo berkarya dan selesai, lo distribusi ke orang lain. Ini yang akhirnya
membuat lo berkembang, setelah itu terserah. Baik itu kolaborasi dengan pihak
lain, disiplin lain yang bikin lo tambah besar, setelah itu amplifikasi. Itu
strategi seni gue, soalnya sebagian besar komunitas hanya mati di komunitas,”
tutupnya. (Gilang)