Provinsi Banten (Tanah Jawara) merupakan salah satu provinsi termuda dalam sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai isu dan a...
Provinsi Banten (Tanah Jawara) merupakan salah satu provinsi termuda dalam
sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai isu dan arus pemekaran
daerah yang terus dimunculkan dan menguat pasca reformasi 1998 melalui skema
otonomi daerah.
Provinsi
Banten akhirnya terbentuk pada tanggal 4 Oktober Tahun 2000 hasil dari
deklarasi rakyat Banten pada 18 Juli 1999 dan berdasarkan UU Nomor 23 Tahun
2000. Kemudian, pada 18 November Tahun 2000 dilakukan peresmian Provinsi Banten
dengan tujuan menghadirkan pemerintahan daerah yang dekat dengan rakyat, mampu
menghadirkan pelayanan publik yang maksimal, efektif, dan efisien, baik secara
filosofis, sosiologis, dan yuridis.
Tepat
pada tahun ini Banten akan berulang tahun yang ke-18, sebuah angka yang
merupakan batas usia remaja ke dewasa apabila kita menganalogikan sebuah daerah
dengan fase hidup manusia. Beberapa kepala daerah silih berganti mengisi
jabatan publik tertinggi yang secara konstitusi telah menggantikan kedudukan
raja/sultan di masa lalu, persis seperti banyak daerah di Indonesia lainnya.
Sepanjang
usianya, Banten terus mengalami dinamika, gejolak, termasuk kebimbangan
menentukan arah jalan. Semenjak provinsi ini berdiri pada tahun 2000, dua unsur
penyelenggara pemerintahan daerah yaitu eksekutif dan legislatif seakan belum
menemukan kemana arah jalan pembangunan Banten sesungguhnya, terutama
pembangunan kesejahteraan sosial.
Tentu
apabila pernyataannya seperti ini, para kepala daerah akan mudah menjawab bahwa
arah dan haluan kebijakan pembangunan Banten sesuai dengan RPJP dan RPJMN yang
telah disesuaikan ke dalam RPJPD dan RPJMD, dengan mengakomodir visi misi dan
program kerja kepala daerah terpilih setiap periode 5 tahun sekali. Tetapi
pertanyannya, kemana arah pembangunan manusia Banten sesungguhnya?
Banten memiliki segudang potensi kekayaan alam yang telah menjadi bukti kepada masyarakat dunia selama berabad-abad lamanya, batu bara, emas, semen, lada, kopi, dan banyak komoditas pertanian lainnya.
Banten memiliki segudang potensi kekayaan alam yang telah menjadi bukti kepada masyarakat dunia selama berabad-abad lamanya, batu bara, emas, semen, lada, kopi, dan banyak komoditas pertanian lainnya.
Pelabuhan
Banten telah menjadi saksi nyata bahwa daerah ini pernah menjadi pusat
perdagangan Nusantara dan salah satu yang termahsyur di dunia pada eranya.
Masyarakat Banten dikenal sebagai masyarakat yang memiliki kepribadian
religius, nasionalis, cerdas, pekerja keras, dan tekun. Masyarakat Banten
selalu memanfaatkan dan memaksimalkan potensi lokal sumber daya alamnya sebagai
sumber-sumber mata pencaharian, tentu dengan ciri khas kearifan lokalnya.
Lalu
mengapa saat ini Banten masih termasuk dalam 10 Provinsi termiskin di
Indonesia?
Angka
kemiskinan Provinsi Banten hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)
bulan September 2017 sebesar 5,59 persen. Angka ini berarti terjadi kenaikan
0,14 poin dibanding semester sebelumnya yang sebesar 5,45 persen (BPS Banten).
Kenaikan angka kemiskinan sebesar 0,14 poin sejalan dengan pertambahan jumlah
penduduk miskin sebanyak 24,79 ribu orang dari 675,04 ribu orang pada Maret
2017 menjadi 699,83 ribu orang pada September 2017. Persentase penduduk miskin
baik di daerah perkotaan maupun perdesaan mengalami peningkatan.
Persentase
penduduk miskin di perkotaan naik dari 4,52 persen menjadi 4,69 persen dan
persentase penduduk miskin di perdesaan naik dari 7,61 persen pada Maret 2017
menjadi 7,81 persen pada September 2017. Mengapa hal ini terjadi?bagaimana pula
dengan kesenjangan sosial yang ada saat ini?Kesejahteraan sosial dan penanganan
kemiskinan harus menjadi isu prioritas di tengah gencarnya pembangunan
infrastruktur di provinsi ini.
Berdasarkan
Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan
berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga
negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial,
dan perlindungan sosial.
Penyelenggaraan
kesejahteraan sosial bertujuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan,
kualitas, kelangsungan hidup, memulihkan fungsi sosial dalam rangka mencapai
kemandirian, meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam mencegah dan
menangani masalah kesejahteraan sosial, meningkatkan kemampuan, kepedulian dan
tanggungjawab sosial dunia usaha dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial
secara melembaga dan berkelanjutan, meningkatkan kemampuan dan kepedulian
masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan
berkelanjutan; dan meningkatkan kualitas manajemen penyelenggaraan
kesejahteraan sosial.
Undang-Undang
RI No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin pada ketentauan umum,
definisi Fakir Miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata
pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai
kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau
keluarganya.
Penanganan
fakir miskin adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang
dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk
kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi
untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara. Kebutuhan dasar adalah
kebutuhan pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan,
dan/atau pelayanan sosial.
Dalam
melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah termasuk penyelenggaraan
kesejahteraan sosial dan penanganan kemiskinan, kepala daerah dan DPRD selaku
penyelenggara Pemerintahan Daerah harus membuat Perda sebagai dasar hukum dalam
menyelenggarakan Otonomi Daerah sesuai dengan kondisi dan aspirasi masyarakat
serta kekhasan dari Daerah tersebut. Perda yang dibuat oleh Daerah hanya
berlaku dalam batas-batas yurisdiksi Daerah yang bersangkutan. Walaupun
demikian Perda yang ditetapkan oleh Daerah tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya sesuai
dengan hierarki peraturan perundang-undangan.
Perda
sebagai bagian dari sistem peraturan perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan umum sebagaimana diatur dalam kaidah penyusunan
Perda. Daerah melaksanakan Otonomi Daerah yang berasal dari kewenangan Presiden
yang memegang kekuasaan pemerintahan. Lalu bagaimana dengan keberadaan Perda
Kesejahteraan Sosial/Penyelengaraan Kesejahteraan Sosial di level Provinsi dan
Kabupaten/Kota di Banten?
Sampai
saat ini keberadaan Perda baik berupa Pergub/Perbup/Perwalkot yang fokus pada
konteks kesejahteraan sosial/penanganan kemiskinan belum ada, sekalipun ada
baru 1 atau 2 kabupaten/kota yang memiliki. Padahal Perda sendiri merupakan
wujud komitmen dari penyelenggara Pemerintahan Daerah (Kepala Daerah dan DPRD)
untuk mewujudkan pembangunan kesejahteraan sosial dan mengurangi kesenjangan
sosial yang sangat tinggi saat ini di Banten. Itulah mengapa saya katakan bahwa
kemana arah pembangunan kesejahteraan sosial masyarakat Banten akan dibawa? Hal
ini harus menjadi agenda utama yang diperjuangkan menjelang Pileg 2019, dimana
peran legislatif (DPRD) dalam mengusulkan raperda menjadi cukup dominan
mengingat fungsi legislasi yang dimiliki. Apabila anggota DPRD memiliki keberpihakan
dan mengutamakan kepentingannya kepada kebutuhan masyarakat banyak (dan memang
sudah seharusnya seperti itu mengingat anggota DPRD adalah representasi
konstituen), maka jaminan dan kepastian keberlangsungan program-program
kesejahteraan sosial dan penanganan kemiskinan akan terjadi.
Dari
sisi anggaran daerah akan teralokasikan secara cukup, tidak selalu bergantung
kepada APBN, karena sejatinya di era otonomi daerah sekarang, penyelenggara
pemerintahan daerah memiliki kewenangan untuk menentukan urusan pemerintahan
prioritas, melakukan inovasi, serta mengutamakan kebutuhan riil masyarakatnya
dengan mengacu kepada kepastian regulasi.
Apabila
agenda tersebut bisa dikawal secara konsisten dengan terus menyerap aspirasi
masyarakat terkait kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan
kesejahteraan sosial, maka perbaikan kondisi dan taraf kesejahteraan masyarakat
Banten bukanlah hal yang mustahil. mutual needs dan mutual trust yang terjalin
akan menciptakan social capital yang sangat besar dan menjadi salah satu faktor
kunci keberhasilan jalannya pembangunan sampai di level desa.
Sudah
saatnya masyarakat Banten dilibatkan dalam pembangunan dari hulu ke hilir,
tidak lagi sekedar menjadi obyek tetapi menjadi subyek utama pembangunan.
Partisipasi dan keterlibatan publik, tanpa memandang status sosial-ekonomi
sangat diperlukan untuk menciptakan kesamaan rasa dan asa antara masyarakat
(konstituen) dengan calon anggota legislatif. Sehingga agenda pembangunan
kesejahteraan sosial dan pengentasan kemiskinan adalah kebutuhan bersama, milik
bersama dan untuk bersama, salam takzim!
Penulis : Usep Mujani (Ketua ICMI Kab Lebak)
COMMENTS