Bantenekspose.com - Kemajuan suatu bangsa pada dasarnya tidak hanya diukur lewat gemerlap lampu jalanan dan seberapa banyak gedung pencaka...
Bantenekspose.com - Kemajuan suatu bangsa pada dasarnya tidak hanya diukur lewat gemerlap lampu jalanan dan seberapa banyak gedung pencakar langit. Akan tetapi, juga diperlukan penguatan sumber daya manusia yang merupakan human capital sebagai wujud dari pendidikannya. Peralihan kekuasaan Soeharto ketangan rezim BJ Habbie memasuki babak baru bagi bangsa ini untuk menggoreskan sejarahnya di bumi Indonesia. Namun, keterlibatan Indonesia dengan Internasional dalam rantai pertukaran yang timpang masih diwariskan oleh pemerintahan berikutnya. Misalnya, Indonesia masih berkiblat pada Amerika Serikat dan beberapa sukutu yang lainnya.
Penetrasi Kapitalisme Internasional bukan saja menggurita dalam hal ekonomi politik saja, tetapi telah merasuk ke dalam relung terdalam bangsa ini. Pendidikan sebagai bagian sendi-sendi yang terpenting bagi penciptaan karakter anak bangsa ternyata juga ikut terpolarisasi sejalan dengan doktrin Developmentalisme ala Orde Baru.
Realisasi dari konstelasi Kapitalisme Internasional misalnya terdapat dalam Putaran Doha yang merupakan seperangkat perundingan perdagangan untuk mereformasi, salah satunya dalam hal pembukaan pasar dan liberalisasi melalui penurunan hambatan perdagangan, termasuk tentang Hak Kekayaan Intelektual.
Sejak pemerintah mengikuti anjuran International Monetery Found (IMF), yaitu terlihat dari 12 sektor jasa yang diliberalisasikan dalam General Agrement on Tariff and Services (GATS) ala World Trade Organization (WTO). Artinya, pendidikan dijadikan sebagai barang komersial yang dapat diperjualbelikan sesuai dengan logika perdagangan.
Mirisnya, ini juga berdampak pada semakin terbukanya arus pergeseran kapital dalam dunia pendidikan, misalnya dengan masuknya sekian Perguruan Tinggi Asing di Indonesia. Secara otomatis bisnis pendidikan ini akan menguntungkan negara-negara yang memiliki fondasi kapital yang cukup kuat. Sedangkan implikasinya adalah, Negara-negara berkembang terus termarginalkan oleh kebijakan yang tidak sportif ini, misalnya Indonesia.
Sejalan dengan semangat liberalisasi sektor jasa, maka hadir pula lembaga pendidikan asing seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 17 tahun 2010. Selain itu, juga didukung oleh Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Secara otomatis bisnis pendidikan dalam bingkai GATS ini akan menguntungkan negara-negara yang memiliki fondasi kapital yang cukup kuat.
Grand Design dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang direalisasikan ditahun 2011-2025, dijabarkan dalam inisiatif strategik salah satunya adalah dengan mengundang investasi BUMN, Swasta Nasional dan FDI dalam skala besar. Dalam hal ini, pendidikan lagi-lagi juga menjadi alat legitimasi disamping untuk memuluskan proyek besar tersebut.
Misalnya, dengan pemberian beasiswa S2, terutama dengan jurusan yang mendukung dan tentunya sesuai koridor MP3EI. Padahal, model pembangunan tersebut telah masuk dalam relung ingatan kita terhadap rezim Developmentalisme sebagai pelajaran, sebuah ideologi yang diadopsi dari negeri Paman Sam dibawah kuasa presiden Herry S. Truman.
Di Indonesia sendiri, paham Developmentalisme yang selanjutnya diterjemahkan dalam pembangunan tersebut dikembangkan dengan mekanisme kontrol ideologi, sosial dan politik yang canggih. Misalnya, pembangunan yang dicanangkan rezim Soeharto melalui Pembangunan Lima Tahun (PELITA), sebagai landasannya adalah menggunakan apa yang dianjurkan dalam teorinya Rostow asal Amerika Serikat. Dalam bukunya, The Stage of Economic dijelaskan tentang lima tahapan dalam pembangunan. Indonesia sendiri, sejak tahun 1967 merupakan penganut dari teori pembangunan dan pertumbuhan tersebut.
Beranjak ke wilayah teman-teman sekolah (SD-SMA/SMK), tawuran antar pelajar, praktek perjokian atau bahkan pemalsuan ijasah dan berbagai kasus yang mencoreng dunia pendidikan akhir-akhir ini, menimbulkan keprihatinan cukup mendalam bagi masyarakat.
Melihat banyaknya kasus tawuran antar pelajar di negeri ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 3 Oktober 2012 menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) tentang pencegahan kekerasan dan tawuran pelajar serta penanganannya. Termasuk didalamnya juga mengatur soal sanksi yang dapat dijatuhkan kepada semua pihak, mulai dari murid, orangtua, guru, OSIS, hingga kepala sekolah. Pendidikan, satu-satunya tumpuan untuk penjaga nilai-nilai kejujuran, tetapi telah terserang virus yang cukup berbahaya.
Ditengah era globalisasi yang sarat dengan persaingan, memaksa Indonesia harus membuat sekian kebijakan sebagai konsekuensinya. Namun, ternyata kebijakan yang dikeluarkan tak dibarengi dengan penghayatan yang mendalam. Akhirnya, kualitas pendidikan hanya diukur dengan besarnya nilai yang didapat oleh peserta didik.
Belajar dari analisis ini, kapitalisme yg menjerat pendidikan bukan sekadar subversi kepentingan modal atas institusi pendidikan. Lebih dari itu, ia juga merupakan sebuah subversi atas praktik berpengetahuan yang dilakukan di areal produksi pengetahuan paling vital: Pendidikan. Dengan ditariknya tanggung jawab negara atas pendidikan tinggi, kepentingan-kepentingan privat mulai masuk pada praktik-praktik berpengetahuan dilingkup pendidikan.
Pendidikan yang berorientasi untuk mengabdi pada penindasan imperialisme dan feodalisme, sehingga berwatak pro-imperialis dan tuan tanah, anti ilmiah, anti demokrasi, dan anti massa rakyat. Dengan keadaan demikian, lembaga pendidikan menjadi benteng reaksi yang keras terhadap tuntutan demokratis, seperti kebebasan akademis, kebebasan berorganisasi, dan lainnya.
Maka untuk itu, kami sebagai Pengurus Pusat Nuansa Daerah Pendidikan Banten, mengucapkan selamat hari pendidikan nasional, dan menuntut mengembalikan peran dan tanggung jawab pendidikan kepada Negara tidak dilempar kepada mekanisme pasar!
Penulis : Abda Oebismillahi
Ketua umum PP NDP Banten.
Penetrasi Kapitalisme Internasional bukan saja menggurita dalam hal ekonomi politik saja, tetapi telah merasuk ke dalam relung terdalam bangsa ini. Pendidikan sebagai bagian sendi-sendi yang terpenting bagi penciptaan karakter anak bangsa ternyata juga ikut terpolarisasi sejalan dengan doktrin Developmentalisme ala Orde Baru.
Realisasi dari konstelasi Kapitalisme Internasional misalnya terdapat dalam Putaran Doha yang merupakan seperangkat perundingan perdagangan untuk mereformasi, salah satunya dalam hal pembukaan pasar dan liberalisasi melalui penurunan hambatan perdagangan, termasuk tentang Hak Kekayaan Intelektual.
Sejak pemerintah mengikuti anjuran International Monetery Found (IMF), yaitu terlihat dari 12 sektor jasa yang diliberalisasikan dalam General Agrement on Tariff and Services (GATS) ala World Trade Organization (WTO). Artinya, pendidikan dijadikan sebagai barang komersial yang dapat diperjualbelikan sesuai dengan logika perdagangan.
Mirisnya, ini juga berdampak pada semakin terbukanya arus pergeseran kapital dalam dunia pendidikan, misalnya dengan masuknya sekian Perguruan Tinggi Asing di Indonesia. Secara otomatis bisnis pendidikan ini akan menguntungkan negara-negara yang memiliki fondasi kapital yang cukup kuat. Sedangkan implikasinya adalah, Negara-negara berkembang terus termarginalkan oleh kebijakan yang tidak sportif ini, misalnya Indonesia.
Sejalan dengan semangat liberalisasi sektor jasa, maka hadir pula lembaga pendidikan asing seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 17 tahun 2010. Selain itu, juga didukung oleh Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Secara otomatis bisnis pendidikan dalam bingkai GATS ini akan menguntungkan negara-negara yang memiliki fondasi kapital yang cukup kuat.
Grand Design dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang direalisasikan ditahun 2011-2025, dijabarkan dalam inisiatif strategik salah satunya adalah dengan mengundang investasi BUMN, Swasta Nasional dan FDI dalam skala besar. Dalam hal ini, pendidikan lagi-lagi juga menjadi alat legitimasi disamping untuk memuluskan proyek besar tersebut.
Misalnya, dengan pemberian beasiswa S2, terutama dengan jurusan yang mendukung dan tentunya sesuai koridor MP3EI. Padahal, model pembangunan tersebut telah masuk dalam relung ingatan kita terhadap rezim Developmentalisme sebagai pelajaran, sebuah ideologi yang diadopsi dari negeri Paman Sam dibawah kuasa presiden Herry S. Truman.
Di Indonesia sendiri, paham Developmentalisme yang selanjutnya diterjemahkan dalam pembangunan tersebut dikembangkan dengan mekanisme kontrol ideologi, sosial dan politik yang canggih. Misalnya, pembangunan yang dicanangkan rezim Soeharto melalui Pembangunan Lima Tahun (PELITA), sebagai landasannya adalah menggunakan apa yang dianjurkan dalam teorinya Rostow asal Amerika Serikat. Dalam bukunya, The Stage of Economic dijelaskan tentang lima tahapan dalam pembangunan. Indonesia sendiri, sejak tahun 1967 merupakan penganut dari teori pembangunan dan pertumbuhan tersebut.
Beranjak ke wilayah teman-teman sekolah (SD-SMA/SMK), tawuran antar pelajar, praktek perjokian atau bahkan pemalsuan ijasah dan berbagai kasus yang mencoreng dunia pendidikan akhir-akhir ini, menimbulkan keprihatinan cukup mendalam bagi masyarakat.
Melihat banyaknya kasus tawuran antar pelajar di negeri ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 3 Oktober 2012 menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) tentang pencegahan kekerasan dan tawuran pelajar serta penanganannya. Termasuk didalamnya juga mengatur soal sanksi yang dapat dijatuhkan kepada semua pihak, mulai dari murid, orangtua, guru, OSIS, hingga kepala sekolah. Pendidikan, satu-satunya tumpuan untuk penjaga nilai-nilai kejujuran, tetapi telah terserang virus yang cukup berbahaya.
Ditengah era globalisasi yang sarat dengan persaingan, memaksa Indonesia harus membuat sekian kebijakan sebagai konsekuensinya. Namun, ternyata kebijakan yang dikeluarkan tak dibarengi dengan penghayatan yang mendalam. Akhirnya, kualitas pendidikan hanya diukur dengan besarnya nilai yang didapat oleh peserta didik.
Belajar dari analisis ini, kapitalisme yg menjerat pendidikan bukan sekadar subversi kepentingan modal atas institusi pendidikan. Lebih dari itu, ia juga merupakan sebuah subversi atas praktik berpengetahuan yang dilakukan di areal produksi pengetahuan paling vital: Pendidikan. Dengan ditariknya tanggung jawab negara atas pendidikan tinggi, kepentingan-kepentingan privat mulai masuk pada praktik-praktik berpengetahuan dilingkup pendidikan.
Pendidikan yang berorientasi untuk mengabdi pada penindasan imperialisme dan feodalisme, sehingga berwatak pro-imperialis dan tuan tanah, anti ilmiah, anti demokrasi, dan anti massa rakyat. Dengan keadaan demikian, lembaga pendidikan menjadi benteng reaksi yang keras terhadap tuntutan demokratis, seperti kebebasan akademis, kebebasan berorganisasi, dan lainnya.
Maka untuk itu, kami sebagai Pengurus Pusat Nuansa Daerah Pendidikan Banten, mengucapkan selamat hari pendidikan nasional, dan menuntut mengembalikan peran dan tanggung jawab pendidikan kepada Negara tidak dilempar kepada mekanisme pasar!
Penulis : Abda Oebismillahi
Ketua umum PP NDP Banten.
COMMENTS